Aletta dan Satya sedang makan malam di ruang makan. Kali ini mereka hanya makan malam berdua tanpa ada Regan. Pria itu pergi ke acara ulang tahun rekan kerjanya, tadinya Aletta mau ikut. Namun keadaan tidak memungkinkan dan Regan tak memaksanya untuk ikut.
Di satu sisi Aletta senang karena alasan sakit, ia bisa menghindar bertemu dengan banyak orang lalu berpura-pura. Satu hari ini Aletta hanya di rumah saja, keadaannya cukup lebih baik saat sore hari. Di saat Satya memberikannya air jahe hangat untuk dikonsumsi.
“Apa kamu capek?” tanya Satya tiba-tiba ketika mereka selesai menghabiskan makanan tersebut.
“Capek kenapa?” taya Aletta bingung.
“Hampir setiap pagi kamu akan mual, kamu harus bolak balik ke kamar mandi. Lalu kamu akan lemas dan nggak bisa apa-apa karena kamu hamil, kamu capek?” tanya Satya membuat Aletta melihat sekeliling takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.
“Jangan menyebutkan itu lagi di sini, kamu bisa hanya mengatakannya tanpa menyebutkannya. Aku sudah langsung paham arah pembicaraannya kemana, aku hanya nggak mau ada orang yang nggak sengaja dengar. Kita belum benar-benar tahu ada apa di rumah ini begitu juga dengan orang-orangnya,” kata Aletta membuat Satya menganggukkan kepalanya paham.
“Jadi bagaimana? Kamu capek?” tanya Satya lagi karena Aletta belum menjawab pertanyaannya.
“Aku nggak tahu. Jujur, siapa yang mau mengalami hal itu? Orang yang benar-benar menginginkan hal itu saja belum tentu mau mengalami mual, apa lagi aku yang tak benar-benar menginginkannya. Hanya saja aku tak bisa menyalahkan, aku akan menjadi orang bodoh jika seperti itu. Aku hanya bisa melaluinya bukan?” tanya Aletta sambil menatap Satya lekat.
“Apa kamu emang sangat nggak mau memilikinya?” tanya Satya lirih.
“Bagaimana denganmu? Apa kamu menginginkannya?” tanya Aletta balik.
“Ya, jelas aku menginginkannya. Orangtua bodoh mana yang tak menginginkan anaknya, itu darah daging sendiri. Dia nggak pernah memilih untuk hadir di dunia dengan orangtua yang seperti apa, kalau dia hadir itu berarti anugerah. Tidak semua orang bisa seperti itu, lalu kenapa disaat kita diberikan kesempatan lalu kita menolaknya? Bukankah kita akan menjadi orang yang jahat? Bagaimanapun caranya dia hadir, dia tetap tidak pernah bisa memilih untuk hadir dengan cara seperti itu. Kita yang salah, kita yang buat dia hadir dengan cara seperti itu,” tegas Satya.
“Lalu kenapa saat itu kamu juga mau melakukannya? Kamu nggak benar-benar menghentikannya, kamu juga ikut menikmatinya dan terbuai. Apa aku salah?” tanya Aletta denga tegas membuat Satya terdiam. Pria itu menghela napasnya karena bingung ingin menjawab seperti apa. “Kalau sudah seperti ini aku tidak tahu mau menyalahkan siapa. Aku juga tidak bisa membenarkan perbuatan kita, tak pernah terpikirkan sedikitpun kalau kehidupanku seperti ini. Aku nggak menyangka kalau aku akan punya anak denganmu,” ucap Aletta pelan di akhir kalimat membuat Satya mendongakkan kepalanya menatap Aletta lekat.
“Apa punya anak denganku suatu hal yang sangat buruk untukmu?” tanya Satya lagi lirih.
“Bukan seperti itu maksudku. Kita hanyalah orang asing, aku mengenalmu hanya karena kamu bekerja denganku. Kamu pengawalku, aku tak pernah sedikitpun akan be—“
“Tapi kamu juga menginginkanku, bahkan di saat kamu mabuk kamu memujiku. Kamu mengatakan aku tampan dan kamu penasaran denganku, alam sadar kamu mengatakan bahwa kamu juga suka dengan aku yang menatapmu dengan teduh. Lalu apa maksudnya itu? Bukankah kamu menyukaiku?”
“Bagaimana denganmu? Apa kamu juga menyukaiku? Apa kamu kagum padaku?” tanya Aletta balik membuat Satya kembali bungkam karena tak bisa menjawab.
“Sepertinya pembicaraan kalian sangat serius, aku melihat kalian dari kejauhan sepertinya ada hal penting yang sedang kalian bahas,” kata Regan yang tiba-tiba saja datang membuat keduanya terkejut. Mereka takut kalau Regan mendengarkan apa yang mereka sedang bicarakan.
“Kami sedang bahas untuk agenda besok saja. Bagaimana acaranya? Apakah berjalan dengan baik? Kenapa lo pulang cepat? Bukannya biasanya acara puncak itu agak malam?” tanya Aletta mengalihkan, sebenarnya ia tak mau tahu. Hanya saja demi mengalihkan ia harus mencari topik pembahasan dengan berpura-pura ingin tahu. Benar saja Regan tersenyum senang karena Aletta mau tahu apa yang terjadi.
“Semuanya berjalan dengan baik. Aku ketemu sama Papa dan Mama aku juga di sana, mereka tanya kenapa kamu nggak ikut. Aku terpaksa bilang kalau kamu kurang enak badan, karena nggak alasan lain yang nggak memungkinkan kamu nggak datang. Tapi aku bilang kalau hanya sakit biasa aja nggak perlu sampai datang. Jadi aku pikir nggak perlu lama di sana, gimana bisa aku ikut acara pesta di saat istriku sedang sakit. Bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanya Regan sambil mendekati Aletta dan mengelus bahu wanita itu. Sebenarnya Aletta hendak menghindar dan sedikit mual ketika Regan mengatakan ‘istriku’ namun Aletta cukup menahan dirinya.
“Sudah lebih baik, kami juga baru selesai makan. Lo udah makan?” tanya Aletta. Regan menghela napasnya kasar.
“Mau sampai kapan kamu panggil aku dengan seperti itu? Apa kamu nggak bisa mengubah panggilan kamu itu? Kenapa dengan pengawalmu, kamu bisa melakukannya,” kata Regan sedikit kesal sambil menatap Satya. Regan memilih duduk di samping Aletta membuat wanita itu menghela napasnya.
“Apakah sepenting itu?” tanya Aletta malas.
“Ya, dimulai dari panggilan. Bagaimana bisa kita memulainya dari awal dan mencoba dekat, sedangkan kamu aja nggak mau mengubah panggilan kita. Aku bukan teman kamu, tapi suami kamu,” tegas Regan membuat Aletta menatap Regan malas.
“Oke fine, aku malas ribut. Sudah puas?” tanya Aletta sarkas membuat Regan tersenyum senang.
“Terima kasih istriku,” ucap Regan tulus sambil mengusap puncak kepala Aletta. Wanita itu langsung saja menatap Regan tajam karena melakukan hal itu. Lalu Regan menarik tangannya dan menatap Satya. “Saya baru tahu kalau ternyata kamu sarjana, kenapa mau menjadi pengawal? Kamu lulusan terbaik di universitas yang baik pula. Jurusan kamu juga yang bagus, bagaimana kalau kamu bekerja dengan saya? Berhenti menjadi pengawal dan saya akan berikan jabatan yang bagus untuk kamu. Pengalaman kerja kamu juga bagus, sangat berbeda dengan pekerjaan kamu sekarang. Bagaimana? Kebetulan di kantor saya ada tempat yang kosong, kamu tidak perlu kirim surat lamaran atau ikut test. Kamu bisa langsung bekerja besok kalau kamu mau,” kata Regan memberikan tawaran membuat Aletta menatap pria itu dengan lekat. Aletta baru tahu mengenal hal itu sekarang, Satya menatap Regan dengan tajam.
“Anda mencari tahu latar belakang saya?” tanya Satya tak suka membuat Regan tertawa.
“Maaf kalau itu membuat kamu tidak nyaman. Saya memang mencari latar belakang kamu, bagaimanapun kamu tinggal di rumah saya. Kamu juga pengawal istri saya, wajar bukan seorang suami mencari tahu latar belakang pengawal istrinya sendiri?” tanya Regan sambil tersenyum.
“Jika anda ingin tahu tentang saya, lebih baik anda bertanya langsung pada saya tanpa harus menyelidiki saya di belakang. Anda memperlakukan saya seperti orang yang jahat, kenapa anda tidak langsung bertanya? Anda takut pada saya?” tanya Satya sarkas membuat Regan tertawa dengan keras.
“Jangan bicara seperti itu, saya tidak bermaksud apa-apa. Saya minta maaf kalau sikap saya kurang baik, saya akan bertanya langsung nanti sama kamu kalau ada hal yang ingin saya tahu. Saya harap kamu tidak akan membahasnya lagi nanti, saya hanya berniat membantu kamu. Sepertinya kamu orang yang pintar dan bertanggung jawab, saya suka dengan orang yang seperti itu. Maka itu saya menawarkan hal itu smaa kamu, bagaimana? Apa kamu bersedia bekerja di kantor saya?” tanya Regan serius.
“Tidak, saya tidak akan bekerja dengan anda. Saya menikmati pekerjaan saya saat ini, kalau saya ingin bekerja di kantor saya sudah melakukan itu dulu empat tahun yang lalu dengan Pak Rudi. Tapi saya menyukai pekerjaan saya yang sekarang,” tegas Satya membuat Regan tertawa.
“Ternyata kamu sangat mencintai pekerjaanmu, saya jadi penasaran apa yang membuatmu sangat nyaman dengan pekerjaan sebagai seorang pengawal,” kata Regan seolah bertanya sambil tertawa. Pria itu langsung saja bangkit berdiri. “Mungkin saya akan tahu nanti jawabannya,” kata pria itu lagi sambil tersenyum. “Aku akan mandi, aku akan meninggalkan kalian. Segara masuk ke kamar, kamu masih butuh istirahat,” kata Regan sambil menepuk bahu Aletta. Lalu pria itu meninggalkan mereka dan naik ke atas. Aletta langsung saja menatap Satya dengan lekat.
“Aku baru tahu kalau kamu sarjana, lalu pernah bekerja di kantoran. Kamu nggak pernah cerita tentang itu sebelumnya,” sindir Aletta membuat pandangan keduanya bertemu. “Kenapa kamu mau bekerja jadi pengawal seperti ini?” tanya Aletta lagi karena Satya tak menjawab pertanyaannya.