Si Monster dari Utara

1575 Words
"Pikirkan ulang, Yang Mulia!" seru seorang pria berusia tengah baya. "Gadis itu adalah anak dari Marquis Fullmeir. Ia punya banyak sekali rumor dan... dan..." Victor memberikan tatapan yang menantang pria itu untuk melanjutkan kalimatnya.  Johan menyambar kertas yang berada di meja Victor lalu mengangkatnya di udara dekat sekali dengan wajah Victor. "Yang Mulia sudah lihat sendiri laporan yang Damien buat." Mata Johan berapi-api. "Dia terlibat skandal demi skandal. Perempuan itu adalah granat, Duke! Kerajaan Elysseria sengaja mengirimnya sebagai bentuk penghinaan untuk Kekaisaran Montserra. Dan Kaisar yang diam saja melihat ini menunjukkan pendapatnya tentang dirimu." Victor menaikkan kedua alisnya. Ia masih duduk bersandar di atas kursi kerjanya. Sikapnya santai menanggapi perkataan Johan. "Yang Mulia!" seru Johan, "Persepsi publik akan semakin menginjak nama keluarga Maraina bila kau membiarkan Kaisar dan Raja Elysseria bermain denganmu seperti ini!"  Nada Johan meninggi. Wajahnya penuh keputusasaan. "Aku tahu kau tidak suka berpolitik dan bersosial. Tetapi kau adalah pemimpin warga Maraina. Bila kau dengan mudahnya diinjak seperti ini, rakyatmu yang akan membayar nantinya. Belum lagi, faksi Marquis Ferinde dapat memanfaatkan situasi ini untuk semakin menoreh nama baikmu." Pemimpin Maraina itu memasang wajah malas. Ia memainkan pena yang terbuat dari emas di antara jemarinya. Sebuah insignia terukir di bagian tutup pena itu, tiga pedang yang membentuk huruf M dihiasi oleh rambat mawar.  Huh? Mawar ... Kenapa aku lupa bahwa ada mawar di insignia Maraina?, pikir Victor. Jemarinya dengan lihai memutarbalikkan pena itu.  "Johan," kata Victor akhirnya, "dia melarangku untuk memukul, menjambak, dan melukainya." Johan menatap Victor seakan tidak percaya. "Apa hubungannya denga–" "Kenapa seorang perempuan dari keluarga terhormat seperti Fullmeir berkata seperti itu, Johan?" Wakil jenderal Maraina itu mengacak-acak rambut untuk menunjukkan kegusarannya.  "Kata-katanya mengindikasikan adanya penyiksaan rumah tangga. Tapi bila memang ia adalah strategis di balik kesuksesan Marquis Fullmeir, bisa saja dia bersandiwara, bukan? Apa Yang Mulia akan memercayainya?" Victor tidak dapat menjawab hal itu.  "Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Yang Mulia?" Tanya Johan dengan pasrah.  Victor berhenti memainkan pena itu. Matanya berkilau dengan kejahilan tepat ketika satu sudut mulutnya melengkung ke atas. Johan mengenal betul tatapan itu. Itu adalah tatapan Victor tiap kali menemukan mata-mata pasukan lawan dalam peperangan. Victor akan melakukan interogasi mata-mata itu sendiri. Seperti binatang buas yang mempermainkan mangsanya. Pada akhirnya, tiada rahasia yang tidak terungkap.  Johan tahu betul bahwa julukan 'Monster dari Maraina' mengandung kebenaran, meski tidak sepenuhnya. Melihat tatapan itu pada majikannya, Johan yang dari tadi berusaha membuat Victor menolak Mawar kini menjadi prihatin pada Mawar.  Kendati demikian, Johan juga tahu bahwa kemahiran Victor dalam mempermainkan pasukan lawan hanya terbatas dalam perperangan. Dalam ranah sosial ... Johan tidak tahu, apakah ia harus berdoa untuk keselamatan Mawar atau ... keselamatan majikannya sendiri.  "Pierre memercayainya," kata Victor, "Dan aku ingin tahu mengapa." *** Mawar merasa seperti seorang utusan dewa ketika berjalan di lorong kediaman Maraina. Ke manapun ia berjalan, lautan pelayan akan membelah dan para kesatria yang berlatih akan berhenti. Ya ... mungkin lebih tepatnya bukan utusan dewa, tetapi seperti seorang dengan kutukan penyakit menular yang harus dijauhi semua orang. Mawar tidak mau besar kepala ... meski Adrian, Si Kepala Pelayan berjalan di depannya, sudah pasti perhatian para pelayan dan kesatria itu tertuju pada Mawar. Pada gadis bertopeng dengan reputasi terburuk daru kerajaan sebelah dan akan menjadi majikan mereka mulai sekarang.  Tidak hanya satu, tapi puluhan pasang mata seakan menghujam tubuh Mawar dari segala arah. Beberapa menatap dengan rasa penasaran, tetapi kebanyakan menatap Mawar dengan kritik dan amarah. Mawar juga dapat mendengar bisikan-bisikan para pelayan ketika ia melewati mereka.  'Dia memakai topeng, seburuk itukah penampilannya?' 'Aku dengar dia menghasut Duke Cornohen untuk membunuh ayahnya sendiri.' 'Mengapa perempuan jahat seperti dia akan menjadi majikan kita? Aku prihatin dengan Duke.' 'Bagaimana nasib Maraina bila Duchess adalah perempuan seperti dia?' Mawar melihat telinga Adrian berkedut dari belakang. Sudah jelas pria tua itu sengaja tidak mendiamkan bisikan para pelayan padahal dirinya mendengar betul majikannya sedang dihina.  Ya ... Bila aku adalah dia, aku juga tidak akan senang jika diwajibkan membantu majikan baru dengan rumor-rumor buruk Ada dua alasan mengapa Adrian memilih tidak melakukan apapun pada para pelayan. Satu, menunjukkan bahwa pria tua itu tidak ada niat untuk memanggil diri Mawar sebagai Duchess. Atau dua, pria tua itu sedang menguji Mawar.  Entah kenapa, Mawar condong pada penjelasan nomor dua. Mawar pikir Adrian haruslah orang yang objektif dan berwibawa bila dirinya dapat menjabat sebagai Kepala Pelayan di daerah terbesar di Montserra. Posisi Kepala Pelayan adalah tangan kanan majikan dalam urusan internal. Maka, Adrian haruslah menjadi pribadi yang dipercayai oleh Victor.  Bila demikian, Mawar harus memikirkan cara agar dapat lolos dari ujian Adrian.  Bermain kuat atau lemah? Bertangan besi atau ... bermulut mutiara? Lamunan Mawar terbuyarkan oleh suara Adrian. "Ini adalah sayap barat, kediaman mendiang Duchess Maraina." Ah, untuk sesaat aku lupa bahwa aku bukanlah istri pertama Duke Maraina.  Istri pertama dari Duke Maraina dirumorkan meninggal karena tidak tahan dengan  "Dan ini adalah kamar beliau dulu." Adrian memutar kunci pada salah satu pintu dan membukanya. Dengan sigap, Adrian berdiri di samping pintu, mempersilahkan Mawar untuk memasuki kamar barunya.  Hal pertama yang Mawar perhatikan adalah betapa luasnya kamar itu. Sebuah kasur yang luas berada di tengah dan sebuah lemari besar berdiri hampir menguasai satu dinding kamar. Di ujung kiri, terdapat sebuah pintu yang terbuka menunjukkan kamar mandi yang luas pula. Lalu di sebelah kanan ruangan terdapat balkoni dengan meja kecil. Kamar itu bernuansa krem, biru muda, dan sedikit emas. Terdapat corak-corak bunga dan tanaman rambat menghiasi dinding serta berbagai perabotan.  Itu adalah kamar terindah yang pernah Mawar lihat.  Tak lama seorang pelayan lain menghampiri Adrian dengan membawa sebuah tas kulit besar. Pelayan itu mengangguk pada Adrian dan Mawar lalu meletakkan tas itu di dalam kamar.  "Tsk," Adrian mendecak tidak suka, "Tanganmu ada dua, Tom. Kenapa tidak kau gunakan keduanya untuk menghemat waktu? Kalau kau membawa barang Nona Mawar satu per satu, kapan kau akan selesai?" Pelayan itu menjadi kikuk ketika Adrian menceramahinya. Pemuda itu melirik Mawar sebelum akhirnya menjawab Adrian, "Ta– tapi ... Nona Mawar hanya memiliki satu tas ini saja." Wajah Adrian menjadi kaget mendengar hal itu. Kemudian Adrian menatap Mawar lurus. Ia pasti tidak mengira seorang putri bangsawan hanya dibekali satu tas kulit yang usang untuk kepindahannya.  Ketika Mawar melihat tas miliknya, sebuah perasaan malu merambati dirinya. Pakaiannya tidak akan mengisi lemari besar di kamar itu. Ia tidak pernah memiliki pakaian yang banyak dari awal ... tetapi beberapa pakaiannya sudah cukup usang dan perlu perbaikan. Pasti akan terlihat janggal bila digantung di dalam kamar yang indah ini. "Ha– hanya satu tas ini?!" Tanya Adrian tidak percaya pada Mawar.  "Apa ada masalah?" Tanya Mawar balik. "Ta– tapi ...," Adrian yang gelagapan harus berdeham beberapa kali untuk mengatur ekspresinya kembali. Kemudian ia merentangkan tangannya ke arah para pelayan perempuan yang sudah berbaris di depan piintu.  "Perkenalkan, Nona," kata Adrian, "ini adalah Lisa. Ia akan menjadi dayang utamamu."  Seorang perempuan berambut pirang dan memiliki bintik-bintik cokelat di wajah melakukan curtsy pada Mawar. "Senang bertemu dengan Anda, Nona Mawar." Mawar lagi-lagi mengangguk tanda ia telah mengakui Lisa sebagai dayang utamanya. Di belakang Lisa, terdapat tiga pelayan perempuan lainnya. Tidak seperti Lisa yang berpakaian serba hitam, tiga perempuan itu memakai celemek dan kap putih di atas gaun hitam. Dari pakaian tersebut, jelas bahwa tiga perempuan itu berasal dari kelas pelayan yang lebih rendah daripada Lisa. Mereka adalah pelayan umum. "Ini adalah Mary, Kit, dan Sandra, yang akan membantu saya melayani Anda." Satu per satu pelayan itu memberikan curtsy pada Mawar. Mawar mengangguk kembali pada mereka. Satu pelayan yang diperkenalkan sebagai Mary melangkah untuk mengambil pakaian dari tas kulit Mawar. Perempuan itu mengerutkan keningnya melihat isi dari tas itu.  Mary melirik pada Mawar sebelum akhirnya melirik Lisa, memberitahukannya bahwa sesuatu telah membuatnya bingung. "Ha– hanya ada ... empat gaun di sini." Hal itu tentu saja membuat semua pelayan di ruangan terkejut. Bagaimana bisa seorang putri bangsawan hanya membawa pakaian yang sangat minim?  "Aku hanya mengemas pakaian untuk cuaca dingin. Kupikir pakaian lainnya tidak akan berguna di Maraina," kata Mawar dengan nada datar. Untuk pertama kalinya, Adrian benar-benar memperhatikan Mawar dari ujung kepala hingga kaki. Gaun Mawar yang berwarna hitam berlengan pendek dan sedikit tipis dibandingkan pakaian warga Maraina umumnya. Sejujurnya, gaun itu adalah gaun paling hangat yang Mawar miliki. Sepertinya Adrian juga dapat menyadari hal itu setelah bertukar tatapan dengan Mary yang sedang memindahkan pakaian Mawar ke dalam lemari. Mawar dapat mengenali tatapan prihatin dari wajah Wiseman. Bermain lemah kalau begitu.... "Tentu saja Nona," lanjut Adrian, "Cuaca di Maraina sangatlah berbeda dari Elysseria. Apakah anda ingin untuk saya mengontak desainer untuk membuat gaun-gaun musim dingin untuk anda?" Mawar mengangguk. "Aku akan berterima kasih untuk itu." "Baiklah, kalau begitu saya akan meninggalkan anda untuk beristirahat. Lisa akan membantu anda. Silahkan bertanya padanya tentang apapun." "Terima kasih," kata Mawar.  Setelah Adrian keluar dan menutup pintu kamar, Lisa mendekati Mawar untuk membantu melepaskan gaun Mawar. Tetapi Mawar menghentikannya.  "Aku terbiasa membersihkan diri dan berpakaian sendiri," kata Mawar, "Kalian siapkan saja air untuk mandi." Ketika Lisa masih terperangah mendengar perkataan itu, Mawar sudah duduk di meja rias di samping tempat tidur. Ia mulai melepaskan jepitan-jepitan rambutnya, membuat rambut panjang bergelombangnya menutupi pundak dan punggungnya.  Melihat Lisa dan para pelayan lain belum bergerak pula, Mawar memberikan tatapan dingin dari balik topengnya. "Apa perkataanku tidak jelas?" "Ah, tentu sudah jelas, Nona." Lisa langsung menginstruksikan ketiga pelayan lainnya untuk mengisi bak air mandi.  Setelah selesai, Mawar mengusir mereka keluar. Mereka sempat protes karena tidak pernah menemui bangsawan yang membersihkan dirinya sendiri. Tetapi Mawar memberikan tatapan dingin sekali lagi dan keempat perempuan itu akhirnya menurut. Akhirnya sendiri, Mawar menanggalkan topengnya. Ia menatap dirinya sendiri di depan cermin. Mata merah yang besar, wajah yang tirus, dan kulit yang putih seperti salju di Maraina. Kemudian Mawar menanggalkan gaun hitamnya secara perlahan. Hingga akhirnya seluruh kulitnya menyentuh udara Maraina yang dingin meski terdapat perapian di ruangan itu. Lalu ia memasuki bak air mandi yang dapat menampung tiga orang.  Sensasi air hangat yang menyentuh kulitnya terasa begitu nikmat. Ia merendamkan seluruh tubuhnya dan akhirnya ... ia dapat bernapas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD