Cara Terbaik Mencari Informasi

1201 Words
Rasa sakit menjalar di sekujur tubuh Mawar. Bara api membawa perih yang membakar seluruh permukaan kulitnya. Mawar berteriak seketika rasa perih itu sudah tak tertahankan. Ia berusaha menghindar tetapi lidah api itu mengejarnya. Kemanapun ia berlari, hanya ada kegelapan yang tak berujung dan api itu mulai melingkari Mawar. Semakin lama semakin menjalar menuju tubuh Mawar.  Rasanya panas sekali.  Di balik bara api itu, suara tawa yang menggelegar berkumandang. Seorang pria melangkah memasuki lingkaran api tanpa terbakar. Sebuah senyuman licik terpajang di wajahnya. Dan darah menetes dari lehernya yang memiliki luka sayatan. Mawar menggigil ketakutan. Ia tahu betul siapa orang di depannya. Kakinya menjadi lemah sehingga dirinya bersimpuh di lantai. Ketika pria itu melangkah mendekat, Mawar merangkak mundur. Namun tangannya dengan cepat menangkap lidah api di belakangnya. Rasa sakit yang tak terukur merayapinya kembali seraya bau usang tercium. Ia menarik tangannya kembali dengan cepat. Matanya berair karena rasa sakit.  "Kau mengutus bocah itu untuk membunuhku," kata Rendre masih tersenyum, "Sekarang kau akan merasakan akibatnya!" Tepat saat itu juga, Rendre merentangkan kedua tangannya untuk mencekik Mawar. Di saat yang sama lidah-lidah api mulai merayapi tubuh Mawar.  Tidak dapat menghindar, Mawar hanya dapat menutup matanya dan berharap semuanya berakhir dengan cepat.  Tidak. Tidak. Bila aku akan mati, setidaknya aku harus menatap pembunuhku.  Dengan segala tekad, Mawar mengesampingkan rasa terbakar di sekujur tubuhnya. Sebelum rasa sesak di tenggorokannya menghalanginya untuk bernapas secara permanen, ia membuat sebuah tekad.  Dunia sudah terlalu sering membakarku. Meski ini adalah satu-satunya yang dapat kulakukan, aku akan menatap penjemput ajalku. Aku akan menerima kematianku dengan mata terbuka. Mawar membuka matanya.  Seketika itu juga, tekanan di tenggorokannya terangkat. Secara insting, Mawar mengambil udara sebanyak-banyaknya menggunakan mulut. Ia perlu mengisi paru-paru di dadanya dengan udara.  Rasa panas serta sakit di sekujur tubuhnya pun hilang begitu saja, seperti tidak pernah ada. Hal pertama yang ia sadari adalah ia sudah tidak berada di ruangan gelap itu. Ia dapat melihat langit-langit kamar yang berwarna putih. Sebuah kandelir kecil bergantung di atasnya dan tertutup oleh kelambu tempat tidur. Cahaya matahari membuat garis terang di kamar yang temaram itu melalui celah gorden. Mimpi. Sebuah suara isakan muncul di tenggorokannya. Mawar mengangkat satu tangannya ke atas wajah. Ia menutup kedua matanya rapat-rapat, berusaha menghalau air mata yang memaksa keluar.  Dalam situasi lain, ia akan membiarkan dirinya untuk menangis. Namun tepat ketika matanya sudah terbiasa dengan pencahayaan kamar, ia juga mencium sesuatu yang seharusnya tidak ada di kamar itu. Bau tembakau dan asap.  Mawar menelan ludahnya susah payah. Ia mengerjap beberapa kali untuk membatalkan air matanya. Masih dengan satu tangan di wajahnya, ia berkata pada udara, "Apakah memerhatikan seseorang tidur adalah kebiasaanmu, Duke?"  Suara Mawar terdengar lebih serak dari yang Mawar mau, tapi ia tidak begitu peduli. Dari sisi kanan tempat tidur, Mawar samar-samar mendengar seseorang menghembuskan napas. Kemudian ia mendengar suara sepatu menyentuh lantai dan derik kursi. Victor berdiri dan mulai melangkah ke arah tempat tidur Mawar. Namun berhenti dua langkah dari ujung tempat tidur.  "Kau bermimpi buruk," kata Victor, tidak menggubris pertanyaan Mawar sebelumnya.  Entah bagaimana, Mawar merasakan aura yang begitu mendominasi menguar dari sisi kanan ranjangnya. Pria itu, Victor, memiliki efek maskulinitas yang begitu dominan hingga kau hampir dapat menciumnya.  "Apa kau memerhatikan semua tahanan perangmu selama mereka tidur? Untuk menginterogasi mereka?" "Hanya bagi mata-mata yang licin." Mawar sudah menduga Victor tidak akan memercayainya. Tetapi ia tidak menyangka Victor akan secepat ini berusaha menginterogasinya. Apalagi, pria itu melihatnya mengalami mimpi buruk. Rasanya Victor sudah melihat satu kelemahan Mawar, dengan demikian kedudukan pria itu lebih unggul daripada Mawar.  Tetapi satu hal yang Victor lupa, kehidupan bukanlah peperangan. Dalam perang, tidak ada aturan. Namun kehidupan memiliki aturan, lebih seperti permainan catur. Sehingga tidak masalah bila Victor unggul satu langkah. Mawar hanya perlu menjalankan gilirannya bermain dan menyetarakan kedudukan.  "Kalau begitu aku merasa terhormat seorang dengan kedudukan tinggi sepertimu merelakan jam tidurnya untuk mengawasiku tidur." Victor tertawa sinis. "Aku bisa saja membunuhmu kapanpun, Mawar." Nama Mawar yang disebut Victor membuat bulu kuduk Mawar berdiri. Nada Victor begitu rendah, ia mengancam Mawar. "Kau sendiri yang meminta tinggal di Maraina sebagai istriku." "Ah, tapi membunuhku hanya akan menghancurkan reputasimu lebih dalam, sebutan 'Monster dari Maraina' akan semakin melekat padamu," lanjut Mawar, "Dan kau hanya menginterogasi mata-mata yang kau pikir akan berguna untuk rencanamu." Mawar dapat merasakan alis Victor menaik mendengar ucapan Mawar. "Jadi, apa yang kau butuhkan dariku hingga tidak dapat menunggu waktu sarapan?" Bau tembakau dapat lebih tercium. Victor baru saja menghembuskan kepulan asap rokoknya. Lalu Mawar menebak suara samar-samar yang muncul berikutnya berasal dari gerak-gerik Victor yang memadamkan tembakaunya di meja samping tempat tidur Mawar.  "Apa kau punya pengalaman untuk ekstraksi informasi?" "Kau mencurigaiku sebagai mata-mata tetapi memintaku menjadi mata-mata milikmu?" Victor tidak menjawab secara langsung. Pria itu membiarkan keheningan memanjang di antara mereka hingga akhirnya berkata, "Kau tidak seperti mata-mata." Aku tidak tahu apakah aku harus merasa terhina atau terhibur dengan pernyataan itu .... "Lagipula kau sendiri yang menawarkan kontrak untuk membantuku menjatuhkan Marquis Ferinde." "Bila kau ingin menanyakan apa rencanaku, tentu aku punya, Duke. Apa kau tahu cara terbaik untuk menggali informasi?" Lagi-lagi keheningan yang menjawab Mawar. Bisa Mawar rasakan pria itu mulai memikirkan berbagai penyiksaan, pemerasan, spionase, dan berbagai taktik perang lainnya. Sebelum Victor sempat menjawab, Mawar sudah berkata lebih dulu, "Jawabannya adalah istri mereka." "Istri?" "Hanya karena seorang istri diam bukan berarti mereka tidak mengerti berbagai hal yang mereka dengar," kata Mawar, "Dan perempuan berbicara dengan perempuan lain." "Rencanaku adalah untuk mengumpulkan informasi melalui jejaringan sosial para istri bangsawan." "Bagaimana kau akan melakukan hal itu?" "Pesta teh. Sebulan dari sekarang." Victor mengerutkan keningnya. "Kenapa sebulan?" Kali ini Mawar yang tidak langsung menjawab. Ketika pria itu mengulang pertanyaan yang sama, Mawar akhirnya menjawab, "Aku tidak bisa menemui mereka dengan wajah seperti ini." "Seperti?" Tentu saja. Victor pasti berpikir bahwa wajah Mawar selalu buruk rupa sehingga gadis itu harus menyembunyikannya dengan topeng setiap hari. Namun sebenarnya, wajah Mawar tidak selalu seperti ini.  Kendati demikian, keheningan Mawar tentu memberi sugesti yang berbeda pada Victor. Tak lama pria itu akan menyadari kebenarannya. Victor pun akhirnya berkata, "Rupamu yang buruk itu sebenarnya hanyala kedok, bukan?" "Bila bukan kedok, apa kau akan kecewa?" Tangan kiri Mawar meraih ke dalam bantal.  "Aku tidak peduli tampangmu. Tapi aku tidak akan dikelabui oleh istriku sendiri." Mawar dapat mendengar Victor mulai melangkah menuju tempat tidur. Suara derik kasur mengindikasikan pria itu menaiki tempat tidur. Sebelum Victor dapat meraih Mawar, gadis itu sudah terlebih dahulu memutar badannya. Tangannya meraih topeng yang ia selipkan di bawah bantal. Dalam sekejap ia sudah memakai topeng itu. Sehingga ketika Victor mencengkeram pundaknya dan memutarnya kembali menghadap Victor, wajah gadis itu sudah tertutup kembali.  Victor menindih kedua pundak Mawar di atas kasur, mencegah gadis itu untuk dapat kabur. Pandangannya penuh rasa penasaran. "Kenapa kau menyembunyikan tampangmu?" Menggunakan topeng, hanya bibir ranum Mawar dan manik mata merahnya yang terlihat beserta sedikit kulitnya yang pucat. Untuk pertama kalinya Victor menyadari bahwa baju tidur Mawar terasa sangat tipis. Terlalu tipis untuk cuaca Maraina meski terdapat perapian dalam kamar.  Hal lain yang Victor sadari adalah ... betapa kecilnya Mawar dibandingkan dirinya sendiri.  Melihat Victor yang memerhatikan pakaian tidur Mawar, gadis itu berpikir Victor tertarik dengan tubuh Mawar. "Kau akan kecewa," kata Mawar pelan. Victor menautkan kedua alisnya. Butuh sesaat bagi Victor untuk mengerti perkataan Mawar. Pria itu menunduk, hembusan napasnya seperti membakar kulit Mawar. Anehnya, Mawar tidak merasakan sakit dari sensasi terbakar yang disulut Victor.  "Itu adalah bagiku untuk memutuskan," kata Victor.  Lalu menggunakan satu tangan besarnya, Victor mulai mengangkat topeng Mawar perlahan. Jemari Victor yang menyentuh kulit wajah Mawar membawa sensasi yang menggelitik. Mawar menahan napasnya sementara Victor menikmati waktunya membuka topeng Mawar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD