Memaafkan

1712 Words
Joe menghela nafas, memandangi beberapa murid yang sedang berlalu lalang di halaman sekolah, ya kalian benar, istirahat ini Joe memilih duduk didepan kelas sambil mendengarkan lagu dengan earphone yang selalu ia bawa kemana-mana setiap harinya. Ia terlalu mager untuk pergi ke kantin siang ini walaupun Arga dan Satya sudah memohon kepadanya agar Joe ikut mereka berdua, tapi gadis itu tetap menolak. Oh iya semenjak pembagian warisan dua hari yang lalu, dan memilih Justin untuk mengurus semuanya, lelaki tua itu mau tidak mau harus melihat keadaan disetiap perusahaan dan membuat dirinya menghilang selama kurang lebih seminggu, bukan menghilang sih hanya saja pergi untuk sementara. Ditambah kejadian dimana Joe kemarin memberi pelajaran kepada Justin dengan cara mengajak laki-laki itu memutari pusat perbelanjaan di salah satu mall ternama akhirnya Justin menjelaskan kesalah pahaman yang telah Joe telak mentah-mentah. Difikir-fikir memalukan juga ya, bagaimana bisa Joe bersikap sebodoh itu? Lagian Justin aja yakin tidak akan menyakiti dirinya, lah kok bisa Joe malah berfikir yang macam-macam. Ngomong-ngomong Joe sedikit merindukan lelaki aneh itu, hingga ia harus menepisnya perasaan itu berkali-kali namun tetap saja ia rindu akan kehadirannya. Joe yang tidak sadar akan seseorang yang sudah duduk disebelah tubuh mungilnya lelaki itu tersenyum dan memandang Joe lembut, membuat warga kelas dua belas di lantai tiga kepo akan kedekatan mereka kembali, sebenarnya sih tidak dekat ya, hanya saja netizen kan kalo liat sesuatu selalu salah perkiraan. Gisha mengambil satu earphone milik Joe ditelinganya lalu memasangkan ke telinga lelaki itu, mendengar lagu tersebut Gisha sedikit terkekeh pelan. “Gak berubah,” Ucap Gisha saat lagu dari salah satu boyband pretty much terdengar diindera pendengarannya. Joe menoleh, tetapi tidak menjauh seperti biasanya, ia memperhatikan setiap inci wajah lelaki itu, dan sadar disana terdapat beberapa bentuk yang sama persis dengan Justin. Yaitu iris mata dengan warna coklat madu terang, dan sama-sama memiliki kedua mata yang tajam. “Tumben gak nongkrong di kantin?” Tanya Gisha. “Mager,” Joe mengalihkan pandangannya dari Gisha, sebagiamana ia sudah jatuh hati dengan Justin entah mengapa kalau Joe menatap Gisha detak jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat. “Lo belum makan kan?” tanya Gisha kembali, Joe menggeleng pelan, memang dia belum makan sejak tadi pagi, namun rasa laparnya tidak melanda sedikit pun. “Kenapa? Gak ada duit?” Recehnya karena ia tahu sejak dulu Joe selalu minta gratisan sebagaimana uangnya setiap minggu banyak banget, buktinya barang-barangnya merk ternama semua. Joe melotot, sedikit menoyor kepala lelaki itu,”Gila kali ya! Lo kata gue gelandangan apa?” Ucapnya tidak terima. Gisha tertawa, membuat beberapa siswi yang melihat itu sedikit memekik pelan karena Gisha terlihat tampan berkali-kali lipat, Joe yang sadar akan kelakuan siswi-siswi caper itu hanya diam. Gisha memang mempunyai daya tarik yang kuat, tidak heran kalau banyak para gadis yang gampang mleyot hanya dengan melihat Gisha saja, gimana kalau Gisha salto makin pingsan kali mereka. ”Sensi amat kalo dikataiin gak ada duit,” Joe berdecih, keheningan kembali menyelimuti mereka, namun tiba-tiba Gisha mengambil ponsel Joe yang sedari ia pegang, jarinya sengaja mematikan lagu yang sedari tadi berputar. “Maafin gue,” ucapnya tiba-tiba sambil memberikan ponsel itu kembali, Joe menerimanya seraya memandang Gisha dengan ekpresi “Apasih?” “Apapun yang gue lakuiin dulu ke elo maafin gue, dan juga kasih gue kesempatan kalo bisa,” Mendengar itu Joe diam, ia tahu arah pembicaraan ini kemana, ia tidak mau menjawab karena takut Gisha berfikir yang tidak-tidak. Dan juga saat ini Joe sudah memiliki Justin, Walaupun hubungan mereka masih tidak jelas kedepannya, Joe nyaman dengannya dan Juga Justin pernah bilang bukan kalo ia jatuh cinta pada pandangan pertama. “Sepertinya hal kaya gini gak perlu untung di bicarakan lagi deh, padahal lo udah tau kalau gue sekarang udah sama siapa,” Jelas Joe tanpa memandang kearah Gisha sedikit pun. Gisha memejamkan kedua matanya sebentar, rasanya beda jika itu di lontarkan oleh Joe sendiri sebagaimana ia tahu bahwa Joe benar-benar memilih kakak sulungnya. “Gu-“ Gadis itu mengalihkan pandangannya dan memotong perkataan Gisha. Ia tidak ingin pembicaraan ini berlanjut lebih jauh lagi, “Anterin gue yuk Gish,” Ucap Joe. Gisha menghela nafas kasar, lelaki itu tahu, Joe sengaja mengubah obrolan ini, tapi yasudah lah setidaknya kata maaf sudah diterima oleh Joe, mungkin. Ya walaupun ia tahu bahwa kesalahannya kemarin tidak bisa di maafkan secara cepat. “Kemana?” Tanyanya sekaligus raut wajah Gisha berubah menjadi bingung, “Ketemu nyokap,” Jawabnya dengan senyuman tulus yang baru saja Gisha lihat kembali. Degup jantung Gisha tidak beraturan melihat senyuman manis milik Joe, tanpa sadar ia pun membalas senyuman tersebut. “Tapi,” Gisha menggantungkan ucapannya laki-laki itu sedikit berfikir dua kali untuk menanyakan hal ini kepada Joe. Iya, itu tentang Justin. Gisha hanya ingin memastikan bahwa amankah dirinya jika jalan dengan Joe, karena bagaimanapun Gisha tau watak Justin seperti apa. Ia bisa melakukan hal nekat sebagaimana itu adiknya sendiri apalagi berhubungan dengan orang yang sudah menjadi daftar list hidup Justin. Bukannya ia takut kepada Justin, hanya saja ia ingin bersikap waras disini dan Gisha ingin menghargai Justin sebagai kakak juga. Walaupun sejak kejadian masa lalu rasa respectnya hilang kepada Justin, akan tetapi tetap saja seburuk dan sebrengseknya hidup laki-laki itu, Justin masih tetap kakak sulungnya dan saudara satu-satunya yang ia punya. Joe yang sadar akan ke khawatiran Gisha gadis itu hanya terkekeh pelan. “Lo tenang aja, Justin gak bakalan tau kok,” Dan Gisha hanya tersenyum tipis karena Joe saat ini peka akan situasi sulitnya. Atau jangan-jangan Joe sudah mengetahui semuanya? Entahlah, Gisha tidak ingin ambil pusing sekarang. Hal yang dibutuhkan Gisha sekarang hanya ingin dekat kembali kepada gadis itu dan Ingin menjadikan Joe tempat untuk ia pulang seperti sedia kala. =========== Walaupun Gisha ragu untuk mengantarkan Joe kerumah sakit jiwa sore ini, bukan berarti Gisha tidak mau, lelaki itu hanya tidak ingin bertemu dengan Om Candra yang selalu stay di rumah sakit untuk mengontrol karyawannya yang bekerja disini, begitu pula para pasien. Om Candra yang notabene nya adalah ayah dari Alin dan juga pemilik rumah sakit jiwa ini. Mereka berdua berdiri tepat didepan lobby rumah sakit, memandangi perawat dan juga pasien yang berjalan kesana kemari, Joe menghela nafas, gadis itu melirik kearah Gisha yang sudah menatapnya dengan senyum hangat seperti biasanya, memberi semangat dalam tatapan yang selalu bisa membuat Joe merasa special. “Sekarang?” tanya Gisha dengan nada lembut yang membuat kedua alat indera pendengar Joe seraya nyaman mendengar suaranya, lantas mengangguk ragu, langkahnya melaju pelan, diikuti Gisha dari belakang yang juga sedikit khawatir bila Om Candra sedang berada di rumah sakit juga. Sekitar 5 menit akhirnya mereka berdua berada di depan pintu perawatan Rani, gadis itu menarik knop pintu dan membukanya, sedikit mengintip apakah orang itu masih ada apa tidak disana, karena jujur setelah Joe dan Gisha menyelesaikan hubungan ini,ia sudah lama tidak menjenguk Rani seperti biasa. Dan memang benar Rani ada disana, Ibunda Joe yang hampir belasan tahun mendekap disini, di tempat yang tidak ada ventilasi sama sekali, hanya ada kasur berukuran size king dan toilet pribadi, menyedihkan memang melihat orang yang Joe sayangi ditempat ini, tapi yang jelas ini semua bermula akibat masa lalu yang sudah diluruskan kemarin. Tetapi tetap saja bukan itu tidak membuat Ibunda Joe kembali seperti semula, seperti halnya tersenyum hangat kepada Joe ataupun memberikan pelukan hangat dikala Joe ketakutan akan sesuatu? Bodoh! bisa-bisanya Joe meneteskan air mata, cepat-cepat Joe menyekanya dan berharap Gisha tidak melihat itu. Langkah Joe mendekat kearah Rani yang duduk di kursi roda dan menatap kearah tembok dengan tatapan kosong, gadis itu duduk tepat dipinggir kasur dan menatap Rani dengan tatapan sendu. Cuma satu yang dia sayangkan sejak dulu, kenapa ini semua harus terjadi? Dan membuat Joe dan Rani menjadi korban akan keegoisan sang Ayah? Joe menghela nafas, tangannya menyentuh lengan Rani yang begitu pecat namun hangat. Rasa sakit menjalar ketubuhnya, demi apapun Rani benar-benar seperti mayat hidup, diam saat orang datang, dan juga diam saat orang mengajak ngobrol, entah dia mendengarkan atau tidak yang jelas Joe tau kalau Rani masih setengah sadar. Diambang pintu cowok itu masih menatap kearah dua orang wanita yang hanya saling diam bila bertemu, yang satu selalu memandang wanita itu dengan pandangan sendu, yang satu lagi hanya memandang kearah objek lain dengan pandangan kosong. Gisha tahu, kalo Joe adalah gadis rapuh segimana diluar itu dia selalu pura-pura kuat, dengn sikap slengean, dan bar-bar nya dia, Gisha paham gadis itu sedang menutupi perasaannya rapat-rapat. Sebenarnya selama setahun mereka menjalin hubungan belum pernah dia melihat Joe menangis, ya kalaupun melihat raut wajah sedih Gisha selalu memergokinya, tapi saat Justin bilang pekan lalu bahwa Joe menangis dan itu karenanya, memang sulit dipercaya. "Pulang yuk," suara itu membuyarkan lamunannya, sehingga Gisha tersenyum kikuk kearah Joe yang sudah menutup pintu. "Mau makan dulu gak?" Tawarnnya seraya menghibur gadis dihadapannya. "Lo yang traktir ya?" Jawab Joe tanpa melihat kearahnya, gadis itu masih terus menatap kearah depan selagi berjalan ke parkiran. "Masih aja miskin ya lo," Joe menoleh, gadis itu memukul kepala Gisha pelan, membuat Gisha tertawa senang. "Gue pengen makan Sushi," Pinta Joe yang sudah membayangkan menu-menu Sushi yang selalu ia makan. Sial! Perutnya sudah keroncongan. "Mau apalagi?" "Pengen makan es krim," "McD?" Tebak Gisha karena sudah hafal semua favorit Joe. Joe mengangguk seraya tersenyum kearah Gisha, melihat senyuman gadis itu hatinya menghangat, bersyukur Joe masih bisa bersikap seperti itu kepadanya, karena sejujurnya ini yang diharapkan Gisha lagi, kebersamaan. “Thank you ya Gish,” Joe membuka suara disaat motor melaju membelah jalan raya. Gisha yang mendengar suara samar-samar milik Joe hanya tersenyum tipis, “For what?” “Semuanya“ “Semuanya?” Tanya Gisha bingung, semua gimana sih maksudnya? Perasaan laki-laki itu tidak pernah melakukan hal yang sangat luar biasa kepada Joe. Mengapa ia bersikap seperti tadi walaupun faktanya Gisha tIdak pernah melakukan hal-hal yang mampu membuat Joe bahagia. Joe yang mendengar pertanyaan balik Gisha hanya menghela nafas panjang, emang ya sepintar-pintarnya otak laki-laki di hadapan Joe tetep aja bego kalau masalah perasaan. “Iya, semuanya. Karena lo udah bisa jaga rahasia terbesar gue dengan baik,” Gisha mendengar hal itu terdiam, tidak tahu harus menjawab seperti apa dan bagaimana, karena pada dasarnya rahasia ini sudah ada orang lain yang tahu yaitu Alin. Dengan Joe yang bersikap seakan-akan Gisha melakukan hal baik selama ini, justru itu membuat dirinya merasa ada beban yang sangat berat. Gisha benar-benar tidak ingin mengecewakan gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD