BAB 1
"Ray! Sini lo!" Teriak Jovanka, gadis yang biasa dipanggil Joe.
Gadis dengan perawakan kulit putih bersih disertai rambut hitam yang sengaja ia urai itu memanggil lelaki berkacamata yang menyandang ketua kelas di kelasnya.
Joe yang sedang duduk dengan segerombolan lelaki di meja kantin itu menahan tawanya saat melihat mimik wajah Ray yang sudah sedikit ketakutan saat berjalan kearahnya.
"Joe, kasian anak orang. Gitu-gitu juga dia yang sering nyontekin lo kalo ulangan kimia,” tutur Arga, teman sebangku Joe selama 3 tahun belakangan ini.
Joe tidak menghiraukan omongan Arga yang terdengar oleh indera pendengarannya, gadis itu terus menatap Ray yang sudah berdiri di hadapan Joe.
Lantas Joe bangkit dari duduknya lalu berdiri dan menyentuh pundak Ray lembut.
"Ray, gue kan dari tadi diteriakin mulu tuh sama toa sekolah, disuruh kekantor. karena gue mager terus pak Pras bacot mulu bikin sekolah berisik, mending lo samperin deh, bilangin gue lagi di WC, nyetor hadas besar,”
Mendengar tuturan Joe yang sedikit gesrek itu, membuat teman segerombolannya tertawa terbahak-bahak. Dengan sikap Joe yang asal jeplak seperti itu membuat dirinya banyak disukai banyak orang, terutama para lelaki di sekolahnya.
Sesudah mendengar pernyataan Joe, Ray langsung mengangguk dan berjalan menjauh dari mereka yang masih tertawa akibat perkataan Joe.
"Lo cakep-cakep, otaknya miring. Heran gue," cetus Satya teman sekelasnya itu yang juga sedikit terhibur dengan Joe.
"Ya gimana bawaan dari lahir, masa iya mau di tolak,"
"Dan yang bikin heran, kenapa banyak yang tergila-gila sama lo, yang jelas-jelas satu sekolah tau lo itu playgirl cap gayung sekaligus cewek jadi-jadian," sambung Reon.
"Halah! bilang aja kalian semua juga demen sama gue, mngkanya seneng temenan sama gue!!!" ucap Joe bangga.
"Iyaiin aja, dari pada ngamuk, kalo ngamuk udah kek macan kelaparan,"
"Woy! Ngomong apa lo Ar!!" ketus Joe membuat yang lainnya ikut tertawa.
Namun beberapa menit saat mereka berbincang, Ray kembali datang dengan ekspresi sedikit ketakutan sekaligus prihatin.
Melihat sesosok Ray yang sudah ada dihadapan Joe, membuat gadis itu berbalik dan menunggu jawaban dari Ray.
"Anu....Joe, pertama gue turut berduka cita, terus kedua lo kudu atur emosi lo," tutur Ray ragu, karena ia tahu bagaimana Joe kalo sudah brutal, membuat semua orang terkadang takut dan panik.
"Ngomong apa sih lo ngaco!"
Dengan hembusan nafas panjang Ray menyentuh pundak gadis itu lembut, walaupun Ray sering di bentak seperti tadi dan terkadang dimanfaatkan saat ada ulangan atau PR. Ray tidak pernah dendam sedikitpun dengan Joe, karena ia dan semua orang tahu, bahwa gadis itu korban Broken home dari keluarganya.
"Kenapa lo dari tadi dipanggil lewat saluran radio sekolah, karena bokap lo meninggal, “ jelas Ray, membuat Joe dan teman-temannya diam lalu menatap prihatin kearah Joe yang sudah diam mematung dengan pandangan kosong.
Tanpa berbicara apapun, Joe melangkah lebar meninggalkan mereka yang terdiam, sedangkan Arga mengejar gadis itu dengan perasaan khawatir, karena ia tahu emosi Joe tidak akan stabil saat ini.
"Bilangin ke pak Adnan, gue ikut anterin Joe kerumah sakit!" teriak Arga membuat teman-temannya langsung bangkit dan segera menuju kekantor guru.
Sedangkan di waktu yang berbeda, pria berjas putih yang akrab dipanggil semua orang Dokter Justin itu menatap sedih kearah pria tua yang terlihat kurus berbaring kaku sambil menunggu ajalnya tiba.
Pria yang sudah 4 tahun lamanya ia rawat dan sebisa mungkin menyelamatkan hidupnya, namun tuhan berkehendak lain, ia ingin segera memanggil beliau ke dalam sisi Tuhan.
"Terimakasih," ucapnya serak sambil memegang tengan kekarnya
Sedangkan pria itu hanya tersenyum tipis dengan perasaan berkecamuk.
"Justin.....karena kamu adalah orang yang saya percaya sekaligus sudah saya anggap seperti anak saya sendiri selama 4 tahun terakhir ini, hanya satu kemauan saya,"
"Tolong cari anak saya yang sering saya ceritakan kepadamu selama ini, dan juga jika kamu tidak keberatan, saya ingin kamu menikahi dia, karena gadis itu butuh sesosok seseorang untuk merangkulnya,” sambungnya, namun sesudah pria itu berbicara, beliau langsung menghembuskan nafas terakhirnya dan Justin yang sedari tadi menemani dan mendengarkan, tanpa ia sadari setetes air mata mengalir di pipinya, dan sesegera mungkin Justin menghapus lalu menoleh kearah Jessica, suster sekaligus asisten pribadi Justin
"Ada pasien lain?" tanya Justin dengan nada dingin seperti biasa.
Wanita itu mengangguk dan memberikan laporan pasien yang akan Justin periksa.
Saat tangan kekar itu mengambil dan membolak-balikan kertas tersebut dan sedikit membacanya, matanya berhenti pada nama pasien tersebut lantas mengerutkan keningnya.
"Posisi pasien saat ini dimana?"
Mendengar pertanyaan sang bos, Jessica segera melangkahkan kakinya kearah ruang UGD, dan Justin mengikuti gadis itu dari belakang dengan perasaan yang masih diselimuti duka.
Saat langkah mereka berhenti, tatapan Justin jatuh kepada seorang lelaki yang sudah terkapar lemas di brankar yang sudah diberi keselamatan utama dan didorong kearah ruang UGD oleh karyawannya.
Tanpa babibu Justin segera ikut mendorong brankar. Tatapannya pada si lelaki muda itu menyiratkan kekhawatiran, membuat perempuan yang juga ikut mengantarkan pasien tersebut sedikit bertanya-tanya.
"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Justin, menatap perempuan dengan raut wajah serius.
"Saya menemukannya sudah dalam keadaan seperti ini, dan tidak tahu apa penyebabnya, Dok... ter?" jawabnya sedikit ragu, takut salah mengenali profesi lawan bicaranya ini.
"Saya, Dokter Justin. Sahabat sekaligus tetangganya,” respon Justin cepat, mengetahui keraguannya
Ia mengangguk paham, dan tak ada lagi pembicaraan setelahnya.
Kini mereka sudah sampai di depan ruang UGD. Petugas rumah sakit dan dokter Justin membawa korban masuk ke dalam ruangan, meninggalkan perempuan itu dan pria tua di depan pintu. Sebelum pintu tertutup sempurna, Justin kembali membukanya, dan menatap mereka bergantian.
"Terimakasih, Dek...” Justin sedikit menaikkan alisnya, seperti menuntut sesuatu.
"Saya Abisha dan ini Pak Rahmat," ucap Abisha memperkenalkan diri.
"Terimakasih, Dek Abisha dan Pak Rahmat sudah menolongnya. Untuk administrasi, akan menjadi tanggungjawab saya," kata Justin tulus.
"Selow aja Dok, sudah menjadi tugas sesama untuk saling bantu, kok." Abisha menghela nafas, dan kembali santai, setelah melewati masa-masa tegang sebelumnya.
Justin terkekeh pelan mendengar respon Abisha, dan kemudian pamit pada keduanya untuk memeriksa pasien, sekaligus sahabatnya itu.
••••••
Gadis itu menatap kosong kearah bankar yang sudah didorong oleh pegawai rumah sakit dan terlihat juga keluarga baru lelaki itu sedang menangis sedih dan juga tersedu-sedu sambil berjalan mengikuti arah bankar tersebut.
Joe terus menatap kearah sana tanpa berniat untuk menghampiri mereka dan juga ayahnya yang sudah terkapar tanpa nyawa.
Arga yang sedari tadi berdiri di samping perempuan itu, tanpa permisi menyentuh pundak Joe dan menariknya dalam d**a bidang Arga.
"Nangis aja kalo lo mau nangis Joe, gak baik lo pendam begitu, karena jujur selama 3 tahun kita berteman dan gue sama anak-anak tau semua permasalahan lo, lo gak pernah nangis sedikit pun-"
"Kalo pun lo nangis, gue sama anak-anak gak bakal bully lo kok serius! Dan gak gue bilang ke yang lain juga,” sambung Arga, membuat Joe menoleh dan menatap lelaki itu dingin sehingga Arga meringis pelan dan mengacungkan dua jari kearah udara.
Pandangan Joe kembali melihat mereka, namun sesuatu yang tidak Joe inginkan datang.
Di ujung sana, lelaki sekitar umur 20 tahun dengan rambut sedikit gondrong sedang menatapnya.
Lelaki yang bisa dibilang kakak tirinya semenjak ayahnya menikah lagi dengan janda beranak satu yaitu David.
Mereka saling tatap, tetapi berbeda dengan tatapan mereka berdua.
Joe dengan tatapan dinginnya seperti biasa, sedangkan David, tatapan hangat dan senyuman tipis kearah Joe.
"Cabut Ga," cetus Joe yang sudah membalikan badannya dan masuk kedalam mobil.
Dan pagi ini setelah kejadian kemarin siang, Joe berjalan di koridor sekolah sambil mendengarkan lagu di iPod yang sudah terpasang di kedua telinganya dengan sikap yang biasa-biasa aja bahkan terlihat bodo amat.
Dengan santainya Gadis itu sibuk menggumamkan lirik lagu dan sedikit menganggukan kepalanya asik.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh pundak Joe, membuat Joe menoleh tanpa ekspresi.
Satya yang tau apa yang kemarin terjadi, sungguh prihatin dengan keadaan gadis disebelahnya yang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
"Gimana? Hari ini kan ulangan kimia, udah siap?” tanya Satya basa basi, dan sengaja tidak mempertanyakan bagaimana keadaan gadis itu, karena Satya tau, Joe tidak suka ditanya tentang keluarga.
Joe menaikan kedua pundaknya acuh, "Bodo amat! Lagian ada Ray di depan gue, selow aja!” ujarnya santai membuat Satya tertawa geli.
Namun beberapa detik kemudian Joe menoleh, membuat Satya memberhentikan tawanya.
Dengan ekpresi Joe yang mengulas senyuman nakal, lelaki itu tau apa yang ada dipikiran Joe saat ini.
"Cabut yuk! Gue pengen ke MCD,"
Seperti dugaan Satya, Joe mengajaknya bolos seperti biasa.
Tanpa bisa menolak, lelaki yang mempunyai lesung pipi itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Chat Arga gih, biar dia nyusul," sambungnya lagi dan Satya pun mengiyakan permintaan gadis disampingnya.
Sebagaimana mereka telah menginjak kelas akhir di tahun ini, mereka tetap bersikap santai, seolah-olah ujian yang sudah didepan mata bukan lah hal yang mengharuskan kesenangan mereka tertunda.
Terutama bagi Joe, gadis dengan perasaan masa bodoh tentang masa depan, ia pun sejak kecil hingga sekarang tidak terlalu bersemangat bila ditanya profesi apa yang diinginkan olehnya.
Karena baginya, bila masa depan bisa membuat rusak generasi seterusnya untuk apa?
Memang tidak semua anak mendapat keberuntungan, contohnya seperti Joe. Yang sudah lama tidak merasakan kehangatan keluarga seperti teman-temannya, terutama sahabat SMP Joe yang hampir keempatnya mempunyai keluarga yang harmonis bagi Joe.
Sial! Ngomong-ngomong berbicara tentang sahabatnya, Joe lupa menghubungi mereka bahwa hal buruk kemarin baru saja terjadi di kehidupan Joe.
Sebelum naik motor matic Satya, yang akan berjalan menuju MCD tempat biasa dia dan teman-teman sekolahnya nongkrong, gadis itu merogoh ponselnya dan mengetuk app Line dan mencari ruang obrolan grup yang dibuat saat mereka masih bersama dan pisah sekolah.
Dengan helaan nafas panjang, gadis itu mengetik beberapa pesan dan segera menekan pojok kanan atas untuk mengirim ke room chat.
Jovanka.L
Bokap gue meninggal kemarin.
Abyyyy alim
Serius Joe? Kalo ini seriusan, aku sama temen-temen turut berdukacita. Kalo ngga, kematian bukan untuk becandaan, Joe.
Farsya klm
Astagaaa! Tenang Joe, atur emosi jangan nekat buat bertindak.
Niru bct
Ngprank kan lo? Ngaku! Coba pap,
Vira mak lampir
Segimana gue sama anak-anak tau kelakuan lo kek gimna, gue turut berdukacita, jangan aneh-aneh! Inget kita jauh gak bisa langsung dateng ke apartemen kaya dulu.
Jovanka.L
Niru bct Abyyyy alim segimana gue hobi ngeprank kalian, Kalo masalah keluarga gue serius nyet!
Untuk yang kedua kalinya Joe menghela nafas panjang saat membaca semua pesan dari mereka, dan membiarkan pesan masuk dari mereka yang sudah heboh akan kematian ayahnya, lantas gadis itu mendongak dan penglihatannya dihadiri oleh pemandangan MCD, senyuman gadis itu melebar dan segera melepas seltbeat yang ia kenakan.
Melihat pergerakan Joe yang langsung keluar dan melangkah masuk, membuat Satya buru-buru menghampiri gadis itu.
"Mas, Macflurry pakai toping matcha sama oreo ya, lo apa Sat?" tanya Joe kepada lelaki yang sudah berdiri disampingnya.
"Biasa, nasi sama dadanya, ditambah minumnya s**u milo," namun sayang, barista yang mencatat pesanan mereka sedikit berdehem pelan saat mendengar ucapan Satya yang typonya keterlaluan.
"Anu mas, maksud teman saya, d**a ayamnya," cengir Joe, sehingga mas-mas barista tersebut tersenyum kikuk dan melanjutkan pekerjaannya.
"Ditunggu sebentar ya kak," ucapnya membuat Joe dan Satya mengangguk bersamaan, setelah mereka menunggu beberapa menit, pesanan mereka datang, dan barista tersebut menyebutkan harga pesanan mereka dan Satya dengan sigap mengeluarkan ATMnya, melihat pergerakan Satya membuat Joe menoleh kearah lelaki itu,
"Gue aja yang bayar, next time lo yang traktir gue lagi," ucapnya, membuat Joe mengangguk.
Karena memang biasanya kalo Joe yang mengajak mereka bolos kesini, Joe yang bayar. Tapi entahlah, Joe tidak mau berfikir panjang, lagi pula gadis itu sangat beruntung bila uang di ATM nya terkuras abis lagi, walaupun tiap minggunya selalu ada transferan di ATM gadis itu.
“Gue yang nunggu makananya, apa lo nih?” Satya berucap, Joe menoleh menatap bola mata berwarna coklat itu yang sedang menatapnya.
“Gue aja yang nungguin, lo nyari tempat duduk aja,”
Satya mengangguk, sedikit mengacak-ngacak rambut Joe pelan, gadis itu sedikit mendengus sebal akibat perlakuan Satya.
Terkadang Joe berfikir, dari sekian banyak teman cowoknya Satya sedikit lebih perhatian ketimbang yang lainnya. Memang awalnya Joe pernah hampir kebawa perasaan karena sikap Joe yang gampang banget oleng karena labil.
Tetapi melihat Satya selalu ramah dengan gadis lain juga membuat Joe tidak jadi menyukai cowok itu, ya karena pikirnya, Satya baik pada semua orang.
Saat Satya sudah menemukan tempat duduk dan Joe membawa makanan juga tiba-tiba saja Arga datang dengan tampang bahagianya,membuat Joe menggeleng pelan melihat kelakuan temannya yang satu itu. "Gila! Makan enak nih!" serunya sambil mencomot kulit ayam milik Satya, sampai membuat Satya reflek menimpuk cowok tersebut dengan tangan kekarnya.
"Lo cari mati nyet?!" ujarnya,membuat Arga masa bodoh dan menoleh kearah Joe yang sudah asik memakan es krimnya. Sadar bahwa Arga menatapnya, Joe sengaja memberikan ekspresi tengilnya saat menikmati es krim yang ia pegang, sambil sesekali melirik kearah lelaki itu. Melihat kelakuan Joe membuat Arga berdecak dan merebut es krim Joe secara paksa.
"Woy! Si kunyuk, itu es krim gue!" teriak Joe, sehingga mereka menjadi pusat perhatian dadakan akibat perseteruan Joe dengan Arga.
"Bentar, gue mau,"
"Ogah! Lo beli aja sih! Ambil ATM gue didompet, gue tau lo kaga ada duit mangkanya cilimit!"
Satya yang ada didekat mereka, tersenyum kaku kearah orang-orang yang melihat kearah Joe dan Arga, dengan sesekali berbicara, "Bukan teman saya mbak, mas,"
Sial! Benar-benar kacang lupa kulitnya kalo kata pepatah. Masih adegan rebutan es krim, hal yang tidak diinginkan terjadi, es krim tersebut jatuh kedalam rok abu-abu Joe, sehingga Joe memusatkan pandangannya kepada Arga yang juga panik dengan apa yang barusan terjadi.
"Mati gue mati! Tissue Sat, buru ih! Tissue," ucapnya kepada Satya, sedangkan Satya menggeleng tidak mau tau karena bukan urusan dia, lantas Arga kembail menatap Joe yang sudah bangkit sambil menyambar tas hitamnya, "Kalian berdua, habis ini gue sidak!" Ancam Joe sambil melangkah menjauh menuju kamar mandi.
Dengan perasaan was-was dan masih menjadi pusat perhatian, mereka saling pandang dan tiba-tiba Satya menoyor kepala Arga, sehingga lelaki itu meringis kesakitan, "Sakit g****k!"
"Gara-gara es krim sepuluh ribu, lo buat si Joe ngamuk, t***l banget dah!"
"Lo t***l," jawab Arga karena tak terima disalahkan menjadi beang keroknya Joe marah, walaupun memang benar adanya, bahwa lelaki itu yang memicu kemarahan primadona disekolah nya.
Sesudahnya, Joe keluar kamar mandi, sebelum menghampiri kedua temannya lagi, gadis itu melihat kearah kaca dan sedikit membenarkan seragam dan rambutnya yang biasa ia urai, lalu tiba-tiba ada om-om tepat disebelah Joe yang sedang mencuci tangan sambil melihat dirinya kearah kaca juga, namun pandangan lelaki itu jatuh kearah Joe yang tadi sekilas memperhatikannya.
Saat sadar kedua bola matanya melihat kearah Joe, gadis itu panik dan berbalik sambil segera melangkahkan kakinya dengan cepat, "Mampus! Lagian ngapain gue ngelirik tuh orang," ujarnya dalam hati
Namun baru beberapa langkah, seseorang menggenggam tangan Joe, sehingga Joe memberhentikan langkahnya dan berbalik, dan benar dugaan Joe, lelaki tua itu saat ini memegang lengan Joe dengan ekpresi datar, membuat Joe yang juga menatapnya sedikit menarik bibirnya paksa menjadi bulan sabit, "Anu om tadi saya cuma ngelirik aja kok, gak ada maksud lain,"
Lawan bicara Joe diam, memandang Joe dari atas sampai bawah dan juga melirik kearah name tag yang tertempel di baju seragam milik Joe, merasa diperhatikan Joe memicing kan kedua matanya curiga, "Om, lo m***m ya? Gila! Woy! TOLONG GUE MAU DICULIK!" teriak Joe tiba-tiba membuat lelaki tua itu melotot dan segera melepaskan tangan Joe, karena ia tidak ingin hal yang tidak diinginkan terjadi disini.
Saat tangan Joe dilepas dan ada kesempatan untuk kabur, gadis itu segera berlari sekencang mungkin keluar dari situ dan menuju parkiran, sedangkan lelaki itu, berdiam diri sambil melihat punggung gadis itu yang secara perlahan hilang dari pandangannya, lantas garis bibir lelaki itu naik disertai kekehan kecil, "Jadi itu cewek yang bakal gue nikahin?" ucapnya pada diri sendiri, dengan ponsel yang berdering di saku milik Justin pandangan laki-laki itu beralih kelayar ponselnya yang sudah berada digenggaman tangan Justin.
“Kenapa Jesicca?”
Terdengar suara di serbang sana masuk keindera pendengaran Justin, asistennya itu memberi tau bahwa Farras sudah sadar sekitar 15 menit yang lalu. Tanpa pikir panjang Justin pun mematikan sambungannya dan bergegas kembali kerumah sakit.
Tidak menghabiskan waktu yang lama Justin pun tiba dirumah sakit, dengan jas putih yang sudah ia kenakan didalam mobil dan stetoskop yang tergantung di lehernya, Justin melangkah masuk kedalam ruangan pasien yang notabene nya adalah sahabat lelaki itu, melihat kehadiran Justin, lelaki yang jauh lebih muda dari Justin sedikit merubah posisinya menjadi duduk.
"Gimana udah enakan?” tanya Justin sambil sedikit melihat riwayat laporan kesehatan lelaki itu, Farras berdehem lantas mengangguk malas, "Drama banget gak sih gue, sampek segininya gara-gara Vania," katanya kepada Justin membuat dokter tampan itu tertawa geli dan memberi aba-aba kepada Jesicca agar keluar dari ruangan.
Karena mereka butuh privacy. Paham dengan maksud Justin perempuan itu mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan meninggalkan mereka berdua.
"Masih ngebet mau nikah sama tuh cewek?" tanya Justin, membuat Farras menghela nafas kasar dan mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan, "Frustasi nih gue!" serunya membuat Justin tertawa kencang, sedangkan Farras yang melihat kelakuan om-om gaul sekaligus sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan melirik sinis kearah Justin.
“Udah gue bilang, berkomitmen itu hanyalah dusta belaka, mangkanya gue gak mau nikah lagi,”
“Itu mah emang lo nya aja kali yang masih demen kesana kesini cicip sana sini,”
Justin terkekeh, “Btw, kemaren yang nganterin lo kesini cewek, gue kira cewek baru elo, lumayan tuh cakep, berhijab pula," cetus Justin sengaja mengalihkan pembicaraan mereka berdua, membuat Farras menyipitkan kedua matanya menandakan bahwa lelaki itu sedang berfikir, "Cewek? Berhijab? Dih kenal juga kaga, mungkin malaikat utusan Tuhan buat gue kali," jawab Farras tak peduli, sehingga Justin langsung menoyor kepala lelaki itu.
"Astaga! Kepala gue masih bengkak nih gara-gara bogeman orang gak bertanggung jawab,"
"Ck! Lemah, udah deh lo istirahat lagi, udah siang gue mau jemput anak gue dulu," Justin bangkit dari duduknya lantas berjalan kearah pintu, membiarkan Farras kembali sendiri didalam ruangan.
"Heran ya gue, betah banget sih lo jadi single parents selama dua tahun, bukannya cari bini lagi buat nyokapnya Jazzy sekaligus buat ngurus keseharian lo juga, lagian ya tuh tampang masih keliatan muda, ga keliatan tua-tua banget," jelas Farras.
Membuat Justin memberhentikan langkahnya dan menoleh kearah Farras yang masih menunggu jawaban lelaki itu.
"Muka gue emang baby face coy! Umur 26an gini cewek-cewek ngantri buat tidur sama gue," godanya, sehingga Farras yang mendengar itu langsung melemparkan bantal kearah Justin, namum usahanya sia-sia akibat Justin sudah buru-buru keluar dari ruangan.
"Gila ya, ada aja om-om narsis di dunia ini, tanda-tanda akhir jaman emang,"