Irene memekik kaget saat merasakan tubuhnya melayang di udara.
"Maaf, di mana letak toiletnya?" tanya Zayn sopan, pada seorang pelayan.
"Di sebelah sana, Tuan!" pelayan pria itu pun menunjuk suatu tempat.
"Baiklah. Terima kasih ya."
Tanpa dikomando, Zayn pun menggotong tubuh Irene menuju tempat yang dimaksud.
"Turunkan aku Zayn! Kau membuatku malu," cicit Irene dalam dekapan suaminya.
"Lalu menjadikan dirimu sebagai sumber perhatian orang-orang, begitu?"
Zayn memilih mengabaikan perintah istrinya dan tetap membawa Irene menuju toilet.
Sesampainya di sana, Irene tidak langsung masuk ke dalam toilet begitu Zayn menurunkan tubuhnya. Gadis itu terlihat gugup dan juga bingung, terbukti dari bahasa tubuhnya.
"Kenapa masih berdiri di sini? Cepat masuklah!" titah Zayn, sedikit mendorong tubuh Irene.
"Zayn, aku ...,"
Irene ragu untuk mengatakannya. Ia meremas bagian bawah gaunnya sambil menggigit kecil bibirnya. Mana mungkin dia menyuruh Zayn untuk membelikan keperluan pribadinya, seperti pembalut misalnya.
Zayn tertawa kecil. Dia merogoh kantong celananya lalu menyerahkan sehelai sapu tangan untuk Irene.
"Gunakan ini dulu," ucapnya pelan.
"Hah?" Irene terbengong, cukup lama dia membiarkan tangan Zayn menggantung di udara.
"Zayn, bajuku? Lalu ...,"
"Aku yang akan mengurusnya. Kau masuklah ke dalam."
"Zayn," panggil Irene.
"Apa?"
"Pembalutnya juga," lirih irene, gadis itu menundukkan kepalanya karena merasa malu.
"Iya. Baju, pakaian dalam, pembalut. Ada lagi?" tanya Zayn.
Irene menggeleng.
"Aku pergi sekarang, kau tunggulah di sini."
Zayn mulai mengayunkan kakinya, tapi baru beberapa langkah dia pergi dari sana, panggilan Irene kembali menginterupsinya. Pria itu pun membalikkan badannya.
"Apa ada lagi yang kau butuhkan?"
"Pembalutnya ...,"
"Iya, aku akan membelinya kau tenang saja!" potong Zayn, cepat.
"Bukan itu," sergah Irene.
"Lalu?"
"Beli pembalutnya ...," Irene menjeda sejenak kalimatnya. "Kalau bisa yang ada sayapnya, yang night," imbuhnya.
Kening Zayn berkerut. Ia menggaruk pelipisnya, lalu detik berikutnya Zayn mengangguk meskipun tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Irene.
"Ada lagi?"
"Ya. Kalau bisa ... jangan menyuruh orang-orangmu untuk membelinya, aku malu."
"Tentu saja tidak! Kau kan istriku jadi aku sendiri yang akan membelikannya untukmu."
Zayn pun berlalu dari sana.
"Tuan, Anda mau kemana?" tanya Albert yang ternyata sejak tadi menunggu Zayn.
"Ke mini market sebentar."
"Biar saya saja, Tuan!" cegah pria itu.
"Tidak perlu, saya bisa sendiri," tolak Zayn. "Kalian duduk saja dan pesan makan lebih dulu, jangan menungguku," sambungnya.
"Tapi, Tuan."
"Sudah sana!"
"Baik,Tuan." Albert pun menyingkir dari hadapan Zayn.
Pria itu mendekati kedua rekannya yang masih setia berdiri dibelakangnya layaknya bayangan, lalu mengajak mereka untuk makan.
Zayn hanya perlu berjalan kaki menyeberang jalan karena kebetulan tempat yang hendak dia tuju memang berada persis di depan restoran.
Sesampainya di sana, Zayn dibuat bingung dengan banyaknya jenis pembalut yang tersusun rapi di atas rak. Ada banyak benda dengan kegunaan sama tapi dengan merk yang berbeda.
Zayn mulai meraih satu kemasan pembalut dan membacanya sekilas. Pria itu nampak tenang meskipun saat ini dia menjadi pusat perhatian para pengunjung mini market tersebut. Zayn bergeser pelan, dia mengambil satu kemasan pembalut, lalu menaruhnya lagi, begitu seterusnya.
"Hm, Mbak ...," panggilnya, melambaikan tangan pada petugas jaga mini market.
Zayn menyerah. Membaca kemasan benda itu sama sekali tidak membuatnya mengerti apapun.
"Ya, Pak. Ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu ramah, setelah mendekat.
"Ini, Mbak. Bisa tolong pilihkan pembalut untuk istri saya," pinta Zayn.
"Tentu. Memang pembalut seperti apa yang biasa istri Anda pakai?"
"Itu dia masalahnya, saya nggak tahu. Kami baru saja menikah dan saya sama sekali tidak mengerti pembalut seperti apa yang biasa dia pakai," beber Zayn.
"Hm, pengantin baru," celetuk pramuniaga itu.
"Begitulah." Zayn tersipu, ia mengusap tengkuknya.
"Baiklah kalau begitu. Saya pilihkan yang ada sayapnya saja ya, Pak?"
"Nah itu dia!" seru Zayn yang sontak membuat wanita itu sedikit terkejut, pasalnya Zayn setengah berteriak padanya.
"Baiklah."
"Hm, tadi istri saya bilang katanya saya disuruh beli yang ada sayapnya dan dia bilang yang night. Bisa Mbak pilihkan yang mana itu?"
"Yang ini saja, Pak. Ini sesuai dengan permintaan istri Anda." menyerahkan satu kemasan pembalut yang dimaksud.
Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, Zayn pun segera membayarnya dan bergegas meninggalkan bangunan tersebut.
Kali ini Zayn berjalan menuju tempat parkir. Dari sekian banyak paper bag yang dia taruh di sana, ada baju dan juga underwear yang sempat Zayn beli untuk Irene, tadi.
Zayn pun bergegas membawanya masuk dan memberikannya pada Irene.
"Ren," panggilnya lembut.
"Itu kamu Zayn," sahut Irene dari dalam.
"Ya, ini aku. Buka pintunya!" titah Zayn.
Tak butuh waktu lama untuk Irene membuka pintu kamar mandi. Dia tersenyum manis dan segera meraih paper bag yang disodorkan Zayn, kemudian menutup pintu setelah mengucapkan terima kasih pada pria itu.
"Aku tunggu di meja ya," kata Zayn dari balik pintu.
"Ya."
***
Irene tertidur pulas dalam penerbangan menuju kota tempat asalnya. Suasana kabin pesawat pribadi yang disulap sedemikian rupa membuat Irene merasa nyaman hingga berakhir dengan terlelap di atas kasurnya. Dengan Zayn tentunya.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh nan melelahkan, mereka pun tiba di rumah saat matahari telah tergelincir.
Zayn membuka kaca mata hitamnya karena melihat mobil yang tak asing baginya, terparkir manis di garasi rumahnya.
Dengan begitu bersemangat, Zayn berlari memasuki rumahnya. Pria itu bahkan melupakan keberadaan Irene yang saat itu tertinggal di belakang.
"Mom, di depan ada mobil ...,"
"Oh, Zayn. Akhirnya pulang juga kau, Nak." Hera beringsut meninggalkan kursinya dan berhambur memeluk putra semata wayangnya.
"Kangen, Mom," cicit Zayn.
"Mommy juga kangen," balas wanita paruh baya itu.
"Tiffany? Dia ...," Zayn mengedarkan pandangannya, tak melihat sosok yang telah lama tidak ia jumpai itu berada di sana.
"Dia baru saja tiba, sedang ke kamar kecil," jawab Hera.
"Mom." Irene mendekap tubuh ibu mertuanya.
"Sayang, akhirnya kamu pulang juga. Mommy sangat merindukanmu," ucap wanita itu.
"Irene juga, Mom. Kakek di mana?"
"Ada. Sedang istirahat di kamarnya."
"Zayn!"
Tubuh Irene terlonjak saat mendengar teriakan seorang gadis memanggil nama suaminya yang terdengar memenuhi segala penjuru ruangan itu.
"Tiffany."
Mata Zayn berbinar saat melihat kedatangan gadis itu. Gadis bernama Tiffany itu pun berlari, tak ayal pertemuan itu membuat keduanya saling berpelukan hangat.
Irene melotot saat melihat pipi Zayn yang tak luput dari sosoran maut Tiffany, menyisakan noda merah di sana. Gadis itu terlihat sangat manja bergayut pada leher Zayn dan anehnya, Zayn tak menolak saat Tiffany mengecup kedua pipinya.
'Apa-apaan mereka? Bisa-bisanya mereka berciuman di depanku,' geram Irene.
Zayn yang masih larut dalam perasaan bahagianya pun membiarkan saja Tiffany berbuat semaunya, sampai mendadak tubuhnya kaku. Senyum yang sejak tadi terus merekah dibibirnya mulai menyurut, berganti dengan raut wajah terkejut saat mendapati Irene menyorotinya tajam dengan kedua tangan terlipat di depan d**a.
Gugup, Zayn berusaha menjauhkan tubuhnya dari Tiffany. Ada aura panas yang mendadak muncul di ruangan itu, padahal mesin pendingin udara masih berfungsi dengan baik.
"Ren," cicitnya.
Tiffany yang merasa kebahagiaannya terganggu pun akhirnya menoleh demi bisa melihat apa yang membuat Zayn sampai mengalihkan perhatian darinya.
"Siapa dia Zayn?"
"Oh, perkenalkan. Namanya Irene, dia istriku," jelas Zayn.
Kalimat terakhir Zayn membuat tubuh Tiffany bagai tersengat aliran listrik ribuan volt. Tubuh Tiffany menegang. Dengan sorot mata tajam, dia terus mengawasi Irene dari ujung rambut hingga ujung kaki gadis itu. Membiarkan tangan Irene masih menggantung di udara, menunggu untuk dijabatnya.
"Istri?" tanya Tiffany.
"Ya. Dia istrinya Zayn, Sayang," kali ini Hera yang menyahut.
"Kalian tidak sedang bercanda kan?" Tiffany menatap lekat iris mata biru Zayn, meminta jawaban pasti.
Gadis itu merasa hidupnya hancur dalam sekejap, begitu melihat Zayn menjawabnya dengan sebuah anggukan. Lebih dari itu, Zayn bahkan menarik pinggang ramping Irene dan mendekapnya. Seakan menunjukan jika apa yang dikatakannya memang benar adanya. Hal itu sudah tentu membuat Tiffany merasakan sakit tak berperi.
Dua minggu.
Hanya dua minggu dia meninggalkan Zayn dan ketika ia pulang, Tiffany harus menelan pil pahit karena semua rencananya menjadi gagal dan hancur berantakan.
Tiffany yang semula hendak memberikan kejutan pada Zayn dengan mengungkapkan perasaannya, kini malah dia yang diberi kejutan hingga gadis itu tidak bisa membedakan apakah ini nyata atau tidak.
Setelah sadar dari lamunannya, tubuh Tiffany terhuyung ke belakang lalu merosot ke bawah.
"Tiffany, kamu kenapa?"
"Bawa dia ke kamar tamu Zayn!" titah Hera.
Zayn yang panik pun segera mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya menuju kamar tamu yang terletak tak jauh dari sana.
"Zayn, aku ...," lirihnya hampir tak terdengar.
"Jangan bicara dulu. Kau sakit, kenapa tidak mengatakannya padaku!"
Tiffany menyandarkan kepalanya di bahu Zayn, sementara Zayn tak segan untuk merengkuhnya kedalam pelukannya. Mereka berdua tidak sadar jika interaksi keduanya menyebabkan badai di hati Irene.
Irene berdiri mematung di sudut kamar. Gadis itu mencoba tenang meskipun melihat suaminya yang sepertinya memiliki hubungan sangat dekat dengan Tiffany, membuat hatinya serasa teriris.
Bersambung.