"Bisa tolong jelaskan, Zayn."
Sorot mata Tiffany penuh tanda tanya, dia butuh penjelasan lebih mendetail dari pria yang telah membersamai hidupnya selama ini.
Zayn dan Tiffany kecil bertetangga. Mereka berdua banyak sekali melewati kejadian dalam hidup, saling berbagi dalam segala hal. Sampai ketika Tiffany diam-diam memendam rasa untuk Zayn, tanpa pria itu sadari. Ya, Tiffany mencintai teman masa kecilnya, tapi gadis itu tak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya pada Zayn. Ia memilih menyimpannya dalam diam, berharap suatu saat dia bisa mengungkapkannya, tapi sepertinya semua sudah terlambat.
Zayn menghela nafas panjang. Dia melemparkan pandangannya ke arah luar jendela. Sejak kejadian tadi memang Hera meminta Irene memberikan waktu pada mereka untuk saling bicara, jadilah hanya tinggal mereka berdua di kamar tamu itu.
"Dua hari sejak kepergianmu ke Paris, Paman Maxim meninggal."
Zayn menjeda sejenak kalimatnya. Meraup udara sebanyak mungkin, berharap dengan begitu dia bisa menghilangkan rasa sesak di dadanya. Perasaan yang akan timbul jika ia mengingat kembali sosok itu.
"Dan Irene ...," Tiffany tak mau menunggu lagi. Bisa mati berdiri jika rasa penasarannya belum terjawabkan.
"Paman Maxim memintaku untuk menjaganya," lanjut Zayn.
"Irene anaknya Paman Maxim?"
Zayn menganggukan kepala sebagai jawabannya.
"Lalu kenapa kalian mesti menikah? Ada banyak cara untuk menjaganya tanpa harus menikahinya, Zayn!" Tiffany menaikkan volume suaranya.
Zayn membalikkan badannya, membuat keduanya saling berhadapan. Dapat Zayn lihat sorot mata Tiffany yang terlihat menyala-nyala. Sorot mata yang belum pernah dia lihat sebelumnya, sorot mata yang tak bisa dia terjemahkan artinya.
'Apa dia marah?'
"Jawab aku Zayn!" seru Tiffany.
"Karena pernikahan ini merupakan bagian dari wasiat terakhir Paman Maxim untukku."
"Astaga." kesal, Tiffany membuang muka.
"Zaman sudah modern Zayn, kau mau saja menikah dengan cara kuno seperti ini," ketusnya lagi.
"Apapun itu, kenyataannya aku dan Irene sudah resmi menjadi suami istri," balas Zayn.
"Tapi kalian tidak saling mencintai kan? Kenapa tidak kamu ceraikan saja dia!"
"Seorang pria dapat dipercaya jika dia memegang teguh ucapannya, Fan. Aku tidak mungkin mengingkari janjiku. Kau tahu sendiri kan seperti apa hubunganku dengan Paman Maxim?"
Tiffany mendengus kesal. Nasi telah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan cinta pertamanya.
***
Irene mengalihkan pandangannya dari n****+ yang tengah ia baca saat melihat handle pintu berputar. Dilihatnya Zayn masuk dengan raut wajah masam juga penampilan yang tak lagi serapi tadi.
"Apa dia sudah pulang?"
"Baru saja," Zayn menyahut.
Pria itu lantas mengambil posisi duduk di samping Irene, lalu menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu.
"Kelihatannya kalian berdua sangat dekat," celetuk Irene.
"Dia teman masa kecilku. Kami berdua tumbuh besar dan beberapa kali bersekolah di tempat yang sama."
"Hm. Pantas saja," gumam Irene.
"Pantas apanya?" Zayn menaikkan kepalanya dari bahu Irene.
"Sepertinya dia marah begitu mendengar berita pernikahan kita."
"Wajar. Dia sangat marah karena aku tidak mengabarinya sewaktu kita menikah, dia merasa aku tidak menganggapnya teman," beber Zayn.
Entah kenapa Irene menangkap hal yang berbeda dari yang Zayn rasakan. Irene menganggap kemarahan Tiffany bukanlah kemarahan seorang sahabat pada umumnya, melainkan lebih dari itu. Hatinya mengatakan kalau Tiffany menganggap Zayn lebih dari sekedar teman, ia dapat melihatnya dengan jelas dari sorot mata Tiffany yang terlihat sarat akan kekecewaan, tadi.
"Kenapa malah bengong? Ada yang kamu pikirkan?"
Irene menggeleng.
"Jangan berpikiran macam-macam karena aku dan Tiffany hanya berteman, tidak lebih," pungkas Zayn.
Pria itu kemudian memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Bagimu mungkin kalian hanya berteman, tapi jika Tiffany menganggapnya lain, aku bisa apa," monolognya.
Irene menaruh novelnya di meja lalu keluar dari kamar untuk menemui kakeknya. Dia merindukan pria tua itu setelah beberapa hari ini tidak menjumpainya. Tak lupa, dia juga mengambil beberapa paper bag yang berisi buah tangan yang sengaja dia beli untuk dibagikan kepada penghuni rumah.
Keesokan harinya.
Cicit burung yang bersahutan dari atas pepohonan rindang di taman belakang terdengar sangat merdu. Berulang kali Irene menutup mulutnya yang tak henti menguap. Gadis itu masih merasakan kantuk, semalam dia baru naik ke atas tempat tidur setelah jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari.
Sepanjang malam Vernon terus memintanya untuk menceritakan hari-harinya selama berada di kota yang baru saja dia sambangi. Pria tua itu terlihat sangat antusias mendengarkan setiap apa yang cucu menantunya itu ceritakan, hingga membuatnya terlambat masuk kamar.
Pun ketika berada di dalam kamar, Zayn tidak membiarkan Irene menaiki kasurnya begitu saja. Zayn memintanya untuk menemaninya duduk santai menikmati sisa purnama yang meredup.
Sebisa mungkin Irene berusaha untuk menjadi istri yang baik. Begitu bangun, dia turun ke bawah untuk membuat sarapan juga minuman untuk Zayn. Setelahnya, Irene kembali naik ke kamar untuk menyiapkan segala keperluan suaminya.
"Zayn." Irene menepuk lembut punggung suaminya.
"Zayn bangun! Sudah siang," ulangnya lagi.
"Hm." Zayn menggeliatkan tubuhnya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan suara serak, khas orang bangun tidur.
"Jam setengah enam," beritahu Irene.
"Baiklah, aku mandi dulu."
Selang dua puluh menit kemudian, Zayn telah rapi mengenakan setelan kerjanya. Tinggal melilitkan dasi saja untuk menyempurnakan penampilannya.
"Ren."
Panggilan Zayn membuyarkan lamunan Irene. Gadis yang sejak tadi duduk merenung di sofa itu pun mendekat.
"Ada lagi yang kau perlukan?" tanyanya dengan kening berkerut. Seingatnya dia sudah menyiapkan semua keperluan suaminya, kaos kaki dan juga sepatu sudah tersedia di sana. Jadi apa lagi?
"Bisa tolong pakaikan dasiku?"
Irene terkesiap.
"Ah, iya. Tentu saja bisa. Maafkan aku."
Menyadari sejak tadi Irene terus melamun.
"Memang apa yang mengganggu pikiranmu? Kelihatannya kau seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu?"
Zayn membungkukkan badannya, membiarkan Irene dengan nyaman membuat simpul dasi mengingat tinggi gadis itu yang hanya sebatas dadanya.
"Tidak ada," dustanya.
"Jangan bohong!" tuntut Zayn.
"Lupakan! Kita harus segera turun ke bawah untuk sarapan. Kau juga tidak mau sampai terlambat ke kantor kan?"
Tak ingin Zayn mulai berpikiran macam-macam padanya, bergegas Irene membawa tas kerja Zayn dan meninggalkan pria itu begitu saja. Namun, sesampainya di depan pintu, panggilan Zayn menginterupsi langkahnya.
"Kau mau menemui ayahmu dengan pakaian seperti itu."
Ucapan Zayn membuat Irene tersentak kaget. Gadis itu terpaku di tempatnya.
"Ganti bajumu dulu karena setelah sarapan kita langsung ke makam ayah!" tegas Zayn.
Mendapati istrinya tak bergeming membuat Zayn gemas. Dengan jahilnya, Zayn mencubit hidung mancung Irene, membuat gadis itu mengaduh kesakitan.
"Zayn!" pekiknya sembari mengusap hidungnya yang memerah.
"Kamu menggemaskan," ujar Zayn. Pria itu lantas melirik arloji keluaran pabrik jam tangan terkenal dunia dengan harga fantastis yang kini membelit manis di pergelangan tangan kirinya.
"Cepat ganti baju, kita masih punya waktu satu jam sebelum aku pergi ke kantor," jelasnya.
"Baiklah," balas Irene singkat.
Usai menghabiskan sarapannya, sesuai janji Zayn. Pria itu pun melajukan mobilnya menuju tempat yang telah begitu dirindukan oleh Irene untuk dikunjungi.
Zayn memimpin jalan sementara tangannya tak lepas menggandeng tangan Irene.
Tepat di depan sebuah makam dengan tanah yang masih basah, Irene dan Zayn menghentikan langkahnya. Serentak mereka melipat kaki dan berjongkok di depan pusara itu.
"Ayah ...," Irene tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Ada rindu yang begitu membuncah yang terasa menyesakan d**a. Ada banyak kata yang ingin dia ungkapkan tapi rasanya ia tak sanggup sekedar membuka mulutnya. Lidahnya terasa kelu dan semua kata yang telah dia siapkan sejak tadi tertahan karena tenggorokannya tercekat. Seolah ada yang mengganjal di sana.
Hanya derai air mata yang terus menganak sungai, cukup menjadi bukti betapa besar kerinduan yang menghinggapi Irene hingga tak cukup sekedar mendatangi tempat peristirahatan terakhir sang ayah saja.
"Lepaskan semuanya, Ayah bisa mendengar sekalipun kau tidak mengatakannya secara langsung. Namun, tolong ... jangan terus bersedih. Ayah pasti sedang melihatmu dari atas sana dan aku yakin, dia tidak ingin kau terus-menerus menangisi kepergiannya."
Detik berikutnya, Irene merasa nyaman saat lengan kokoh Zayn membimbing kepalanya menuju d**a pria itu. Dapat Irene dengar dengan jelas detak jantung Zayn yang mengalun merdu layaknya musik pengiring tidur.
Untuk pertama kalinya, Irene merasakan nyaman dan tenangnya mendekap tubuh pria selain ayahnya.
"Maafkan aku, Zayn. Aku terlalu terbawa perasaan," cicit gadis itu.
"Tidak masalah. Aku akan selalu ada untukmu, mendengarkan segala keluh kesahmu dan jadikanlah aku sebagai teman berbagi rasa. Begitupun denganmu, aku akan membagi semua rasaku padamu."
Zayn semakin mengeratkan pelukannya pada gadis itu.
"Percayalah, kita pasti bisa melewati semua ini jika kita tetap bersama-sama," janji Zayn.
Bersambung ....