12. Gentleman

1009 Words
“Pak Fairel, sepertinya desain yang baru mengalami kegagalan cukup parah. Akibat pemasok bahan memberikan mentahan murah,” seru Parveen panik melihat laporan yang baru saja dirinya terima dari Departemen Desain dan Visual. Seorang lelaki tampan yang awalnya terlihat fokus menatap layar komputer pun langsung mengalihkan perhatian, lalu menatap datar pada seorang gadis tengah mengulurkan sebuah ipad di hadapannya. Tanpa pikir panjang Fairel langsung mengambil benda tersebut, dan mulai membawa sebuah laporan yang diterima melalui email. Membuat lelaki itu sesekali mengernyit dalam, dan mengembuskan napasnya berat. Namun, pada bagian penutup laporan, Fairel dibuat kesal bukan main. Bahkan lelaki itu hampir saja membanting sebuah barang elektronik milik Parveen yang baru saja diberikan oleh HRD. Sehingga akal sehat Fairel yang masih tersadar itu pun mengingatkan dirinya untuk tetap tenang. Kemudian, lelaki tampan dengan raut wajah emosi itu tampak menatap sekretarisnya datar membuat seseorang yang mendapat tatapan itu langsung menunduk dalam-dalam. Mengindari raut wajah yang cukup menyeramkan dipandang mata. “Sekretaris Parveen, cepat siapkan mobil kita akan segera ke pabrik,” titah Fairel dengan penuh penekanan. Bulu kuduk milik seorang gadis cantik yang menunduk dalam itu pun meremang. Ia jelas ketakutan, meskipun bukan kesalahannya sendiri. Tentu tanpa pikir panjang, Parveen langsung bergegas keluar dari ruangan untuk memberi kabar pada Pak Petrus agar segera menyiapkan mobil menuju pabrik pembuatan properti pengisi toko furniture yang baru saja diresmikan kemarin. Namun, sebelum Parveen benar-benar keluar dari ruangan. Fairel kembali bersuara membuat gadis itu mengurungkan niatnya dan menuju ucapan sang bos selesai. “Satu hal lagi, cepat hubungi Bang Iyan untuk segera mengatasi masalah ini sekaligus memanggil pemasok,” sambung Fairel mengembuskan napasnya berat. “Baik, Pak Fairel,” balas Parveen mengangguk singkat, lalu menutup pintu ruangan tersebut dengan rapat. Sebenarnya ia cukup penasaran apa yang akan Fairel lakukan ketika dirinya pergi. Sebab, lelaki itu tampak sangat emosi ketika melihat laporan yang dirinya terima. Namun, Parveen cukup mengagumi lelaki itu yang tidak langsung membentak, melainkan menahan emosinya agar tidak pecah begitu saja. Kini Parveen mempercepat langkah menuju lobi kantor. Bahkan ia berharap tempat itu masih tetap jarak yang sama. Karena ia mulai merasa lobi terlalu sulit dijangkau membuat kakinya terasa sangat lemah. Ketika sudah berada di lobi, mata tajam Parveen langsung mengitari sekeliling bangunan tanpa sekat tersebut. Ia memandangi semua wajah orang di sana dengan begitu mendetail sampai tatapannya terpaku pada seorang lelaki paruh baya tengah membantu seseorang menunjukkan jalan. “Pak Petrus, tolong siapkan mobil untuk Pak Fairel berangkat ke pabrik,” pinta Parveen dengan sopan. Lelaki paruh baya itu mengangguk singkat. “Baik, Nona. Kalau begitu, saya undur diri dulu.” Kepergian Pak Petrus membuat Parveen menarik napas dan mengembuskannya secara teratur. Ia merasa pasokan udara yang dihirup semakin menipis, bahkan rasanya berada di ruangan seluas ini pun begitu sesak. Akan tetapi, bukan karena Parveen memiliki riwayat penyakit, melainkan gadis itu hanya merasa sedikit ketakutan dengan wajah Fairel yang benar-benar terlihat seperti dua orang berbeda. Lelaki itu berubah drastis ketika naik pitam. “Parveen, apa yang lo lakuin? Ayo, cepat sadar! Pak Fairel itu memang dikenal emosi tingkat tinggi, jadi lo harus terbiasa sama itu semua. Jangan bertingkah ketakutan seperti ayam sakit,” gumam Parveen menggeleng cepat mengusir semua pemikiran tak masuk akal tersebut. Jelas saja memikirkan hal tadi memang sempat menggetarkan batinnya. Akan tetapi, ia tidak ingin dianggap sebagai sekretaris yang gagal hanya karena melihat kemarahan sang bos. Meskipun Fairel tidak pernah memperlihatkannya secara langsung, selain meredam dan berusaha tenang. Setelah dirasa cukup tenang, Parveen membalikkan tubuhnya hendak menghampiri sang bos yang masih berada di atas. Memang dirinya harus tetap berada di sisi lelaki itu. Karena turun ke bawah hanya untuk memberikan perintah pada Pak Petrus agar mengerjakan semua pekerjaannya. Parveen menatap Fairel baru saja keluar dari ruangan sembari menutup pintu, lalu ketika lelaki itu membalikkan tubuh dan menatap sekretarisnya yang datang dengan napas tersenggal-senggal. “Mobil sudah disiapkan, Pak Fairel!” kata Parveen memberikan laporan yang sudah ditunggu oleh bosnya. “Baiklah. Kamu duduk dulu untuk menetralkan deru napas,” jawab Fairel mengangguk singkat. “Saya tidak ingin dianggap sebagai bos kejam yang membiarkan sekretaris saya sendiri kesusahan.” “Tidak apa-apa, Pak. Ini memang sudah menjadi tugas saya mengurus semua keperluan Pak Fairel,” sanggah Parveen menggeleng cepat. “Kalau begitu, sekarang turuti semua perintah saya!” ba;as Fairel mendadak meninggikan suaranya membuat Parveen buru-buru mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di samping pintu ruangan Fairel. Membuat seorang lelaki tampan yang hampir saja meletup-letup itu pun kembali tersenyum tipis, lalu mensejajarkan wajahnya pada wajah Parveen yang menatap komputer di hadapannya menyala. Menampilkan sederetan berkas yang belum dikerjakan. “Ketika saya menyuruh kamu melakukan sesuatu, maka lakukan saja. Jangan pernah sekalipun membantah kalau tidak ingin terkena masalah,” kecam Fairel penuh penekanan, dan melenggang pergi begitu saja meninggalkan Parveen yang masih terkejut akan perkataan lelaki tersebut. Parveen hanya mengerjapkan mata seperti orang bodoh, lalu mengernyitkan keningnya tidak percaya ketika ia menyadari bahwa semua perkataan Fairel terdengar sedikit aneh. Seakan lelaki itu mengkawatirkannya. Namun, Parveen tidak ingin terlalu percaya diri. Karena dirinya bukanlah seorang gadis yang penuh pesona hingga mampu menarik perhatian Fairel. Sebab, lelaki itu pasti sudah banyak sekali bertemu berbagai macam gadis. Mengingat usianya sudah tidak muda lagi. Dengan kesadaran dan rasa lelahnya yang sudah perlahan berkurang, Parveen pun berlari kecil menyusul langkah kaki sang bos menuju elevator. Hal tersebut membuat Fairel yang menendengar high heels berbenturan cukup keras itu pun menoleh. Nasib sial memang sedang menimpa Parveen membuat gadis itu tanpa sengaja tersandung oleh kakinya sendiri. Tentu saja Parveen merasa kehilangan keseimbangan dan hendak terjatuh tepat di depan Fairel. Dengan gerakan tidak kalah cepat Fairel melingkarkan tangan kanannya di pinggang ramping milik Parveen, dan menyanggah tubuh gadis itu agar tidak tersungkur begitu saja di lantai. Memar dan lebam jelas tidak bisa dihindarkan. Sejenak posisi keduanya pun terlihat begitu dekat membuat beberapa karyawan yang tanpa sengaja melihat pun mengurungkan diri untuk melintas, lalu berpura-pura berbalik seakan melupakan sesuatu. Sedangkan jantung Parveen mulai berdetak tidak biasa. Ia merasa sesuatu menggelitik hatinya. Perasaan aneh sekaligus menyenangkan mulai menyusup tanpa permisi membuat Parveen menatap lebih lekat pada kornea mata tidak asing di ingatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD