Pagi hari pada hari sabtu, ibu kos Pelangi meminta untuk ditemani ke Pasar Modern. Bukan kali ini saja dia minta ditemani oleh Pelangi, tapi sudah beberapa kali jika Pelangi tidak balik ke Jakarta. Pelangi tidak pernah menolak, dia dengan senang hati mengantarkan. Bagi Pelangi, Marta—Ibu kosnya sudah dia anggap seperti pengganti mamanya di sini. Marta pun begiu, dia sudah menganggap Pelangi seperti anaknya sendiri. Pelangi yang ceria, ramah, supel, sopan dan banyak hal lainnya yang membuat Marta menyukai gadis berumur 19 tahun itu. Apalagi ketiga anak Marta sudah menikah semua dan tinggal terpisah darinya. Sejak kehadiran Pelangi di tempat kos miliknya, Marta jadi terhibur. Pelangi berbeda dengan kebanyakan orang yang kos di tempatnya.
"Bunda... aku tunggu di mobil aja, ya? Bunda nggak apa-apa 'kan ke dalam sendirian?" tanya Pelangi ketika tiba di parkiran mobil Pasar Modern. Pelangi memanggil Marta dengan sebutan Bunda, sama seperti penghuni kos lainnya.
"Iya, nggak apa-apa, kok. Lagian Bunda juga nggak lama di dalam." Marta segera turun dari mobil milik Pelangi.
Sambil menunggu Marta di dalam mobil, Pelangi meraih ponselnya di atas dashboard—hendak main games di ponselnya.
"Arrgghhh... pada ke mana sih, nggak ada yang online. Masih pada molor apa?" gerutunya kesal karena tidak melihat satu orang pun temannya yang online, lalu meletakkan ponselnya kembali ke tempat semula.
Pelangi mengedarkan pandangannya keluar mobil. "Wah... ada yang jualan batagor, kayaknya enak. Gue mau beli, ah!" Pelangi mematikan mesin mobilnya dan keluar menuju tempat abang batagor. Namun, belum sampai di tempat gerobak batagor yang mau dibelinya, Pelangi dikejutkan dengan sebuah motor yang hampir menyerempet seorang wanita paruh baya. Wanita itu terjatuh—mungkin karena kaget. Dengan cepat, Pelangi menghampiri dan membantunya berdiri.
"Makasih, Nak... " ujar wanita itu sembari tersenyum kepada Pelangi. "Eh, biar Tante saja!" serunya pada Pelangi yang membungkukkan badan—mengambil beberapa belanjaan milik wanita itu yang terjatuh.
"Cuma ini aja kok, Tan." Pelangi memasukkan sayuran yang baru saja di ambilnya ke dalam kantong plastik yang dipegang wanita paruh baya itu.
"Sekali lagi... terima kasih."
Pelangi mengulurkan tangannya. "Pelangi... panggil aku Pelangi, Tan. Kalau Tante?"
"Nama yang bagus, cantik seperti orangnya," balas Lidya. "Nama Tante, Lidya."
"Kaki Tante sepertinya sakit. Aku anter Tante pulang aja, mau?" tawar Pelangi—melihat lutut Lidya yang memar.
"Nggak usah. Tante bisa pulang sendirian," tolak Lidya.
Melihat Lidya yang agak kesusahan berjalan, Pelangi segera membantunya. "Mari, Tan, ikut ke mobilku aja. Aku nggak tega ngeliat Tante jalannya begitu."
Melihat muka melas Pelangi, Lidya pun menganggukkan kepalanya.
Tiba di dekat mobil Pelangi, Marta datang dengan membawa belanjaannya. Dia heran melihat Pelangi bersama seorang wanita yang tidak dikenalnya. "Pelangi, kamu sama siapa?"
"Ehm... saya Lidya," ucap wanita yang berada di samping Pelangi.
"Saya Marta, Ibu Kosnya Pelangi." Marta beralih menatap Pelangi seolah meminta penjelasan.
"Barusan Tante Lidya ini hampir keserempet motor dan jatuh. Kakinya terluka, sepertinya ada yang keseleo juga. Kita anterin Tante Lidya pulang ya, Bun?"
Marta tersenyum mendengar penuturan Pelangi. Tidak salah dia menyayangi gadis cantik satu ini. Sifatnya membuat banyak orang yang menyukainya. Jarang sekali ada anak gadis berhati mulia sepertinya.
"Kamu anterin Tante Lidya aja. Bunda mau naik ojek aja, oke?"
"Tapi, Bun... "
"Jangan khawatir. Bunda nggak papa pulang naik ojek. Lagian belanjaan Bunda cuma satu kantong plastik." Marta menunjuk plastik berisi belanjaannya.
"Ya udah. Nanti Bunda kabarin aku kalau udah sampe di rumah."
"Siap, Sayang!"
***
"Ini rumah Tante?" tanya Pelangi kepada Lidya ketika mobilnya berhenti di depan rumah kecil, yang dilihatnya beberapa hari lalu.
"Iya, ini rumah Tante. Kamu mau mampir dulu?"
Pelangi berpikir sejenak, kemudian menganggukkan kepala. Lidya senang, gadis yang sepertinya anak orang kaya ini tidak sungkan untuk mampir ke rumah kecilnya.
"Aku aja yang bawa barang belanjaan Tante ke dalam." Pelangi turun dan membuka bagian belakang mobilnya, mengeluarkan beberapa plastik berisi belanjaan milik Lidya.
"Maaf kalau rumah Tante kecil," ucap Lidya setelah Pelangi ikut menyusul masuk di belakangnya dengan menenteng tiga kantong plastik.
"Tante jangan begitu. Aku nggak masalah kok, mau rumah besar apa kecil yang aku masukin. Yang penting, yang punya rumahnya ramah dan baik," ujar Pelangi jujur.
Lidya tersenyum. Anak orang kaya tapi hatinya sungguh mulia. Jarang sekali ada anak muda yang seperti ini.
"Oh, ya, ini belanjaannya taruh di mana, Tan?" tanya Pelangi--membuyarkan lamunan Lidya tentang gadis baik hati di depannya saat ini.
"Sini, Tante aja yang taruh di dapur."
"Aku aja yang taruh, Tan. Kaki Tante pasti masih sakit. Di situ 'kan dapurnya?" Pelangi menunjuk ke arah dapur yang terlihat dari ruang depan--hanya terpisah oleh sekat kayu yang berjejer.
"Taruh di dekat kulkas aja, ya, Nak Pelangi! Nanti Tante yang beresin," ujar Lidya.
Kembali dari arah dapur, Pelangi ikut duduk di ruang tamu bersama Lidya. Pelangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah yang tampak sepi. Apa Kak Jerry waktu itu cuma berkunjung ke rumah Tante Lidya? Tapi... apa hubungan di antara mereka berdua?
Pelangi yang penasaran, bertanya pada Lidya tentang rumahnya yang tampak sepi. "Tante... tinggal sendirian di sini?"
Lidya menggeleng. "Enggak, Tante tinggal bersama anak-anak Tante, ada dua orang. Kebetulan mereka lagi nggak ada di tumah sekarang. Anak Tante yang pertama lagi ke bengkel temannya, dan yang kedua sedang menginap di rumah kakaknya Tante."
Pelangi manggut-manggut. Dia ingin bertanya tentang Jerry, namun bingung dari mana memulainya.
"Hanya tinggal bertiga?" tanya Pelangi lagi.
Seolah tahu maksud pertanyaan Pelangi, muka Lidya berubah sendu. "Iya. Papanya anak-anak udah meninggal."
"Maafin aku, Tan. Aku nggak tahu kalau— "
"Nggak papa." Lidya tersenyum kecil. "Kamu udah sarapan?" tanyanya mengalihkan.
"Belum sih," jawab Pelangi jujur. Tadinya dia berniat mencari sarapan di sekitar pasar, namun lupa karena menolong Lidya.
"Kebetulan tadi sebelum ke pasar, Tante bikin nasi goreng. Kamu mau?"
"Boleh deh, Tan," ucap Pelangi malu-malu. Kalau dia menolak, dia akan kelaparan. Sudah mau jam 10, dia belum sempat makan apa-apa dari tadi. Marta sempat menyuruhnya makan terlebih dahulu sebelum ke pasar. Pelangi menolak dengan alasan ingin memberitahukan mencari sarapan di sekitar pasar saja. Pelangi tidak banyak memilih soal makanan. Baginya, beli makanan di mana saja, asal tempatnya bersih dan kelihatan menggoda selera, dia akan langsung membelinya.
Pukul 11 siang, Pelangi hendak pamit pulang menuju kosnya. Sebelum itu, dia sempat mengompres kaki Lidya dan juga memijitnya.
"Makasih Pelangi. Kamu memang anak yang baik," puji Lidya tulus.
"Aku juga makasih sama Tante, udah dikasih sarapan," ucap Pelangi menyengir.
"Sayang sekali anak-anak Tante lagi nggak ada di rumah. Mereka pasti seneng kalau kenal sama kamu," ujar Lidya. "Kapan-kapan main ke sini lagi, ya?"
"Emang boleh, Tan?"
"Boleh dong!"
"Ya udah. Nanti kalau ada waktu Pelangi main lagi ke sini," ujar Pelangi senang. "Aku pamit pulang dulu. Salam aja sama anak-anak Tante."
Lidya mengangguk. Dia melambaikan tangannya pada Pelangi hingga mobil gadis itu hilang dari pandangannya. Lidya menghela napasnya, aku akan sangat senang jika memiliki menantu seperti dia.
***
"Loh, kaki Mama kenapa?" Jerry berjongkok di depan mamanya. Dia baru saja pulang dari bengkel dan mendapati mamanya yang berjalan tertatih.
"Mama cuma keseleo dikit aja. Tadi itu Mama ke pasar, terus jatuh hampir keserempet motor. Alhamdulillah... ada seorang gadis yang nolongin Mama." Lidya tersenyum. Dia mengingat sosok Pelangi yang tak hanya cantik parasnya, namun juga baik hati.
Jerry mendesah pelan. "Aku udah bilang kalau besok aja ke pasarnya sama aku. Mama kenapa pergi juga sendirian?"
"Stok sayuran dan bahan masakan mentah di kulkas pada kosong, jadi Mama nggak bisa kalau nunggu besok."
"Tapi Mama bisa telpon aku, biar aku yang nganterin."
"Mama nggak mau repotin kamu. Sudah... sudah... yang penting Mama baik-baik aja sekarang 'kan?"
"Iya. Tapi lain kali, jangan pergi sendirian lagi ya, Ma!" pinta Jerry. Ditinggal oleh papanya, membuat Jerry lebih protektif pada mamanya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada sang mama. Kepergian papanya membuat Jerry sangat terpukul, jangan sampai mamanya menyusul sang suami.
"Jer... gadis yang nolongin Mama tadi cantik, loh! Kayaknya sih, dia dari keluarga berada. Tapi kelihatannya dia anak yang baik. Coba aja tadi ada kamu pas dia anterin Mama, kan kalian bisa kenalan."
Jerry menaikkan alisnya. Dia paham maksud dari ucapan mamanya. "Ma... aku nggak ada niat buat ngejalanin hubungan sama siapapun untuk saat ini, banyak hal yang harus aku kejar. Aku ingin sukses dan bisa membahagiakan Mama dan Andin."
"Cuma kenalan doang, Nak!" sahut Lidya. "Jangan kaku banget sama perempuan. Apa kamu nggak butuh pasangan buat nemanin hari-hari kamu?"
"Nggak!" jawab Jerry cepat. "Kalau aku punya pacar, yang ada beban pikiran aku jadi bertambah. Nanti aja lah kalau aku udah jadi orang sukses."
Lidya menghela napasnya. Jerry—anak sulungnya itu menutup diri untuk wanita mana saja yang ingin mendekatinya. Dia hanya fokus bekerja dan kuliah saja. Lidya tahu ada beberapa perempuan yang mencoba mendekati Jerry, baik itu teman kuliahnya atau rekan di kantornya. Jerry tidak pernah menanggapinya, bahkan tak jarang dia bersikap dingin kepada perempuan yang kadang datang berkunjung ke rumahnya.
Lidya menatap Jerry nanar. "Jangan bekerja terlalu keras. Sesekali kamu itu butuh hiburan. Jangan cuma memikirkan kebahagiaan Mama dan Andin saja. Kamu juga harus bahagia."