Part 28

1749 Words
Kring.. Kring.. Kring.. Bunyi alarm yang sengaja Luna pasang semalam berdering dengan sangat nyaring. Membuat Luna yang baru saja tertidur itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Merasa terganggu akan suara deringannya yang entah kenapa sangat memekakkan telinganya itu. Kring.. kring.. kring.. “Aduh! Iya, iya. Ini aku bangun.” Cukup sudah. Suara alarm yang kembali berbunyi telah berhasil mengusik tidur singkat Luna. Menyulut amarahnya hingga membuat Luna langsung membuka kedua matanya, menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya sampai sebatas d**a, kemudian bergerak bangun dan menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. “Ini alarm kok nggak ada peka - pekanya sih sama tuannya. Nggak pengertian banget! Ngebangunin kok kayak orang yang lagi teriak - teriak. Nggak sabaran. Nggak bisa apa kamu ngebanguninnya pake cara yang lembut aja? Huh, menyebalkan sekali,” ucap Luna marah seraya menatap kesal jam alarm berbentuk kumbang yang kini sedang berada dalam genggaman tangannya. Kemudian kembali menaruhnya ke tempat semula saat dirasa rasa kesalnya sudah mulai mereda setelah ia selesai menyuarakan kekesalannya. “Hey, Luna! Jam alarm itu sebenarnya tak bersalah. Kamu sendiri yang memang susah untuk dibangunkan,” batin Luna mengingatkan. Semalam, rencanannya untuk tidur cepat berjalan tak sesuai harapan. Setelah menaruh ponsel pintarnya ke atas nakas, mengubah lampu ruangan menjadi lampu tidur, menyelimuti tubuhnya sampai sebatas d**a, membaca doa tidur, hingga ia mulai memejamkan kedua matanya. Bukannya ia segera berlayar ke alam mimpi, rasa kantuk dan lelah yang beberapa menit lalu masih dirasakannya entah kenapa lenyap begitu saja. Rasanya kedua matanya sudah kembali terasa segar, bahkan susah sekali untuk terpejam meski keinginannya untuk tidur cukuplah kuat. Dan berakhir dengan Luna yang berusaha untuk menyibukkan dirinya, mengundang kembali rasa kantuknya, hingga ia bisa tertidur tanpa disadarinya beberapa jam kemudian. Luna tak kuasa untuk marah pada saat itu. Meski rasanya ingin sekali untuk melakukannya. Karena apa? Karena ia sadar bahwa yang dialami olehnya saat ini adalah hal lumrah yang juga dialami oleh kebayakan orang. Saat sedang beraktifitas, masih memiliki banyak pekerjaan dan tugas yang harus dikerjakan, kita sering kali didera rasa kantuk dan lelah. Membuat kita ingin segera mengistirahatkan diri dan tertidur. Namun saat semuanya telah selesai dan waktu tidur sudah datang, bahkan di saat kita sudah sampai di tempat tidur, sudah mempersiapkan diri untuk segera tidur, terkadang kita seolah sedang dikerjai. Rasa kantuk dan lelah itu tiba - tiba menghilang, berganti dengan rasa segar hingga membuat kita mengalami susah tidur. Berakhir dengan kita yang merasa tersiksa karena merasa dipermainkan. “Kenapa sih setelah hari Minggu itu hari Senin? Kenapa nggak hari Jum’at aja coba supaya besoknya sudah kembali libur?!” Luna berucap kesal seraya sesekali menghela napas kasar. Ia masih belum bisa menerima kenyataan kalau ternyata hari ini adalah hari Senin. Hari di mana ia harus kembali memulai aktifitas mingguannya. Sampai sini, kalian pasti sudah bisa menebak mana hari yang paling Luna sukai dan mana yang tidak. Ya, hari Senin adalah hari terberat yang menurut Luna harus ia jalani. Sedangkan hari Jum’at dan hari libur merupakan hari yang paling ia senangi dan ia tunggu - tunggu kedatangannya. Setelah sadar bahwa waktu akan terus berjalan, dan kegiatan marah - marah tak jelasnya saat ini tak memberikan banyak dampak baik selain rasa kesalnya dapat ia keluarkan, membuat Luna memilih untuk menyudahi dan menerimanya saja. Ia langsung bangkit berdiri dan mulai melakukan rutinitas setiap paginya. Membersihkan diri, melaksanakan ibadah shalat subuh, mandi, dan bersiap - siap untuk pergi kuliah. *** “Hallo semuanya.. selamat pagi,” sapa Luna setibanya ia di ruang makan. Seperti biasa, Luna muncul paling terakhir dibandingkan dengan sang Adik. Karana di ruangan itu ia sudah menemukan sang Adik yang telah memulai sarapannya, dan juga sang Mama yang menatap lembut ke arahnya. “Selamat pagi, Sayang,” jawab sang Mama, yang berbanding terbalik dengan sang Adik yang hanya fokus terhadap makanannya. Balik menyapanya saja tidak, apalagi menatapnya lembut seperti apa yang dilakukan sang Mama tadi. “Memang Adik yang akhlak less!” ucap Luna dalam hati seraya mendengus sebal ke arah sang Adik. “Nasi gorengnya mau berapa centong, Sayang? Biar Mama ambilkan,” tanya sang Mama dengan nada suara lembutnya, dan dengan salah satu tangan sudah memegang piring, sedang tangan lainnya yang sudah bersiap untuk mengambil nasi gorengnya dengan menggunakan centong nasi. Sungguh Mama yang sangat perhatian. “Ahh Mama so sweet sekali sih. Dua centong aja cukup, Ma. Terima kasih, Mama cantik,” ucap Luna seraya memberikan pujian kepada sang Mama. “Sama - sama, Sayang. Dihabisin ya makanannya.” Setelah mengambil nasi goreng sesuai dengan permintaan Luna, sang Mama langsung menaruhnya di hadapan Luna. Memintanya untuk menghabiskan makanannya. “Siap, Ma.” Luna melahap sarapan paginya, seraya sesekali melirikkan matanya ke arah sang Adik. Angga yang memakan sarapannya terlebih dulu dibanding Luna, tentunya lebih dulu selesai dibandingkan dengan sang Kakak. Ia kini sedang memainkan ponsel pintarnya, sebelum beberapa menit kemudian bersiap untuk berangkat menuju sekolahnya. Luna yang sering kali mencuri - curi pandang ke arah sang Adik, lama kelamaan terasa dan ketahuan juga. Sang Adik menyadarinya dan merasa risih akan perlakuan sang Kakak terhadapnya. “Ngapain sih dari tadi ngeliatin aku kayak gitu? Aku ganteng? Emang iya! Ke mana aja hari gini baru nyadar kalau Adiknya super duper ganteng?” ucap Angga berbangga diri, seraya berlaga sombong di hadapan sang Kakak. Mendengar itu Luna tentu saja merasa ingin muntah. Adiknya ini turunan siapa sih? Kenapa jadi narsis begini? Padahal sang Mama menurutnya tidak seperti itu. Oh atau mungkin dari sang Ayah. Ayahnya kan seorang playboy. Rasanya lebih masuk akal ketimbang sang Mama. Seorang playboy kan pada umumnya berwajah ganteng, seperti halnya sang Ayah. Sadar kalau dirinya ganteng dan tahu kalau dirinya menjadi pusat perhatian, terutama di kalangan para perempuan. Yakin kalau dirinya mampu menaklukan banyak perempuan atau merasa dirinya ganteng meski tampangnya pas pasan. Sehingga mereka mudah sekali tebar pesona dan menunjukkan kenarsisannya. Seperti apa yang dilakukkan Adiknya saat ini. Salah satu hobinya adalah narsis. “Pagi - pagi gini udah narsis aja, Dek. Pengen muntah tau nggak Kakak dengernya?!” Dijawab seperti itu oleh sang Kakak, Angga mendengus sebal seraya menatap Luna. “Nggak ngaca! Kayak yang nggak pernah narsis aja jadi orang. Coba siapa yang waktu itu pernah bilang pas selesai sarapan, si gadis keren mau berangkat dulu yaa. Mana pake acara berpose nggak jelas segala lagi. Coba siapa yang paling narsis di antara kita?” “Udah ah nggak usah dibahas lagi. Lagian tadi tuh Kakak ngeliatin kamu karena mau nanya sesuatu sama kamu. Ngeliatin kamu lagi main hp Kakak jadi kepikiran sesuatu,” ucap Luna pada akhirnya, menjelaskan alasan sebenarnya. “Mau nanya apa?” “Mmm, kamu ganti nomor ya, Dek?” “Nggak. Nomor aku masih yang lama kok.” Luna mengernyitkan kening heran setelah mendengar itu. “Nggak ya. Atau kamu punya nomor baru? Buat cadangan atau apa gitu?” “Nggak juga. Nomor Angga hanya itu kok.” “Punya hp baru?” “Mana ada. Buat apa juga beli yang baru kalau hp Angga aja masih bagus.” “Ya siapa tau aja kamu sekarang ngikutin zaman. Hp keluaran baru muncul langsung beli yang baru.” “Ngapain. Nggak akan ada abisnya kalau kayak gitu. Bikin capek dan pusing sendiri aja. Coba Kakak tanya Mama. Angga pernah minta uang buat beli hp baru apa nggak akhir - akhir ini. Kan uangnya juga dari Mama kalau pun mau beli.” “Ya bisa aja kamu belinya diem - diem. Baik Kakak mau pun Mama nggak ada yang tau.” “Astaghfirullah. Nuduhnya ngotot banget sih. Angga kan dari tadi udah bilang enggak. Kenapa sih emangnya?” Lama - kelamaan Angga pun dibuat heran dan kesal setelah mendenger pertanyaan - pertanyaan yang Luna tanyakan kepadanya. “Santai dong, Bos! Nggak papa kok. Kakak cuma tanya aja,” ucap Luna yang kemudian mulai memikirkan cara lain agar rasa penasarannya dapat menemukan titik terang. “Mmm, oya Dek. Coba dong kamu gombalin Kakak. Sekali aja. Kakak pengen tau rasanya digombalin.” Ucapan Luna kali ini tak hanya berhasil membuat sang Adik heran. Melainkan juga sang Mama. Keduanya bahkan kini menatap tak percaya ke arah Luna. “Kenapa? Kok jadi pada ngeliatin Luna kayak gitu sih? Aku salah ngomong ya?” “Ah nggak papa. Aneh aja dengernya. Jadi ceritanya Kakak udah siap buat jatuh cinta dan lain sebagainya nih? Dari dulu kan bilangnya benci banget sama yang namanya laki - laki dan cinta. Kalau Kakak nggak tau, gombal menggombali itu arahnya ke sana lho. Berhubungan sama yang dua itu.” “Nggak juga. Justru Kakak pengen waspada aja. Pengen tau rasa dan sensasinya gimana, supaya nanti Kakak bisa jaga - jaga dan lebih mengontrol diri supaya ngerasa biasa aja.” “Oh.. Kirain karena apa.” Angga berucap yang diakhiri dengan helaan napas kecewa darinya dan sang Mama. Keduanya berpikir Luna kini sudah berubah. Sudah tak merasa benci lagi terhadap laki - laki dan cinta, dan sudah siap untuk menerima keduanya hadir dalam kehidupannya. Tapi ternyata dugaan mereka salah. “Angga nggak bisa ngegombal, Kak.” “Angga ini dari tadi kok jawabnya nggak terus ya? Ditanya punya nomor baru jawabnya nggak punya. Ditanya punya hp baru juga jawabnya nggak punya. Sekarang disuruh buat ngegombal jawabnya nggak bisa. Apa dia sengaja ya? Dia udah tau ke mana arah dan tujuan aku nanya - nanya soal tadi, makanya dia berusaha buat mengelak,” ucap Luna dalam hati seraya menebak - nebak. “Masa sih? Terserah deh caranya mau gimana. Mau pake pantun, puisi, tebak - tebakan atau apa. Bebas. Yang penting temanya ngegombalin aku. Buat aku baper.” “Aku beneran nggak bisa, Kak. Bukan cuma nggak mau. Coba aja Kakak tanya sama temen - temen aku. Sama pacar atau mantan aku. Aku pernah nggak sesekali gombalin mereka. Aku orangnya to the point soalnya. Kalau suka sama orang dan ngerasa cocok untuk jadi pacar. Ya langsung bilang. Nggak pake acara ngegombal segala.” Luna menghela napas panjang setelah mendengar jawaban itu. “Ah kamu mah nggak romantis orangnya!” Dibilang seperti itu, yang Angga lakukan hanya mengendikkan kedua bahunya saja. Kemudian memutuskan untuk pamit pergi menuju sekolahnya. “Biarin. Ya udah Angga berangkat dulu ya, Ma.. Kak,” ucapnya kemudian menyalami sang Mama dan sang Kakak sebelum benar - benar berangkat. “Kalau si mr x itu bukan Angga, terus siapa? Atau jangan - jangan Angga sekarang lagi bohongin aku? Masa bodo lah. Pokoknya awas aja kalau ketauan bohong, dan ternyata si mr x itu kamu, Ngga. Cari gara - gara namanya!” ucap Luna dalam hati seraya menatap lurus ke arah Angga yang kini sedang berjalan meninggalkan area ruang makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD