Part 21

1494 Words
Pada akhirnya kelima orang itu melangkahkan kaki mereka untuk mencari makan. Berhubung hari pun sudah semakin siang, dan ketiga gadis cantik itu belum melaksanakan sarapan pagi. Setelah berjalan sekitar lima belas menit untuk menemukan jajanan yang mereka ingin makan, Luna dan kawan - kawannya memutuskan untuk menyantap lontong sayur saja. Ditemani dengan kerupuk dan es teh manis rasanya perpaduan yang sangat pas. Permasalahan yang belum sepenuhnya selesai, diikuti ego masing - masing serta rasa kesal yang sepertinya sudah mendarah daging membuat Luna tetap menjaga jarak dengan Leo. Bahkan tempat duduk mereka pun berjarak cukup jauh. Leo yang duduknya paling ujung berhadapan dengan Clarissa, Ana yang berada di tengah berhadapan dengan Rayhan, dan Luna yang berada di ujung lainnya berhadapan dengan meja kosong. Membuat Ana, Clarissa, dan juga Rayhan hanya bisa menghela napas panjang saja memerhatikan mereka. Pada awalnya ketiga orang itu merasa masa bodoh. Lebih tepatnya sudah mulai merasa lelah. Pikir mereka, yang penting perut mereka dapat terisi terlebih dahulu. Namun semakin berjalannya waktu, rasanya tak nyaman juga. Mereka merasa seperti sedang makan di area perang saja. Suasananya sama - sama mencekam. Bedanya perang yang mereka rasakan tidak memakan korban jiwa, dan juga tidak mengakibatkan pertumpahan darah. Melainkan perang dingin, karena kedua manusia berbeda kelamin itu belum mengeluarkan sepatah kata pun sedari tadi. Hanya diam dan fokus terhadap makanannya. Bahkan di saat Ana, Clarissa, dan juga Rayhan mencoba untuk mencairkan suasana dengan mengajak salah seorang di antara keduanya berbicara, keduanya hanya menjawab dengan tiga pilihan saja. Antara bergumam pelan, menggelengkan kepala, atau mengangguk. Kalau kalian berada di posisi Ana, Clarissa, dan juga Rayhan, kira - kira apa yang kalian rasakan? “Ekhem!” Ana berdehem cukup keras dengan sengaja. Kemudian saling bersitatap dengan Luna yang berada di sebelahnya. Seolah berdiskusi lewat tatapan mereka. Dan menganggukkan kepala mereka secara kompak setelah mencapai kesepakatan untuk memulai. “Lun!” ucap Ana memanggil Luna seraya menatapnya. “Hmmm.” Ana kembali menghela napas panjang saat mendengar deheman Luna ini. Kini giliran Clarissa yang mengucapkan sebuah nama. “Leo!” “Hmmm.” Sama seperti Luna, Leo pun hanya menjawabnya dengan deheman. Membuat Ana dan Clarissa kembali mengembuskan napas kasar secara kompak. “Kalian berdua seriusan? Mau diem - dieman terus?” tanya Ana seraya mengarahkan pandangan matanya ke arah Luna dan leo satu per satu. Yang sayangnya dibalas keduanya dengan anggukan kepala penuh keyakinan. “Nggak asik tau. Lebih baik baikan. Biar rame!” “Hmm, kalau kita diem - dieman pengen rame. Kalo kita rame tapi disuruh diem. Maunya apa sih?” dumel Luna pelan seraya mengaduk - aduk es teh manisnya dengan gerakan cepat, hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring yang disebabkan oleh es batu yang saling bertubrukan. “Yaa.. ya ramenya nggak karena berantem juga. Bukan karena kalian yang lagi cek cok atau adu mulut. Kalo itu bukannya rame, tapi lebih ke ribut dan berisik. Nah kalo rame yang aku maksud itu rame karena ngobrol biasa. Gito lho.. Baikan ya? Buka lembaran baru,” ucap Ana menjelaskan, meski di awal ia tampak kebingungan memikirkan bagaimana cara ia untuk menjelaskan maksud dari ucapannya tadi. “Buka lembaran baru apanya?! Emangnya kita berdua—” “Jangan emosi dulu! Buka lembaran baru kan maknanya nggak hanya untuk pasangan.” “Mmm. Ya aku sih mau - mau aja maafan sama dia. Ya yang seperti aku bilang tadi, ada syaratnya. Jadi keputusannya ya ada di dia. Kalau mau maaf dari aku, ya harus bersedia buat jalanin persyaratannya. Kalau nggak mau ya udah. Aku sih nggak masalah.” Kali ini Rayhan yang bersuara. Sebelumnya ia menatap Leo dengan tatapan tajam nan seriusnya. “Leo, udahlah nurut aja. Lakuin persyaratannya. Nggak baik lho marahan lama - lama.” “Batesnya tiga hari kan? Satu hari aja masih belum lewat. Santai aja, Bro. Lagian aku nggak sepenuhnya salah kok. Dia juga kalo ngomong sembarangan. Suka bikin sakit hati orang. Ya harusnya impas dong. Kita tadi satu sama,” ucap Leo tak setuju. “Ya kalau bisa baikan cepet kenapa harus nunggu sampe tiga hari? Lebih cepet itu lebih baik! Dan lagi, kamu itu laki - laki. Luna itu perempuan. Kamu yang katanya jago urusan perempuan, pasti tau lah peraturannya apa? Satu, perempuan selalu benar. Dua, laki - laki selalu salah. Tiga, kalau ternyata laki - laki yang benar, dan perempuan yang salah, ya kembali lagi ke peraturan pertama. Perempuan selalu benar!” Rayhan mengambil napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan sebelum melanjutkan ucapannya. “Satu lagi.. dari sebuah artikel yang pernah aku baca. Nggak ada salahnya kok kalau kita minta maaf duluan meskipun kita ngerasa nggak salah. Kenapa? Pertama, berani minta maaf lebih dulu itu menandakan bahwa kamu punya jiwa yang lebih besar. Kedua, minta maaf duluan bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang benar, tapi siapa yang mau mengalahkan egonya. Ketiga, minta maaf lebih dulu bukanlah merendahkan harga diri, tapi proses pendewasaan diri. Keempat, tak hanya hati, perasaan juga lebih lega karena berani melepaskan gengsi. Dan yang terakhir, berani minta maaf duluan tandanya kamu menghargai sebuah hubungan. Hubungan di sini maknanya luas yaa.. jangan salah paham! Bisa persaudaraan, pertemanan, persahabatan, dan yang lainnya. Jadi mau kan ngalah? Minta maaf duluan?” “Baiklah, Pak ustadz Rayhan sekaligus Bapak yang kalau ngomong suka bijak! Oke, apa tadi syaratnya?” Kini Leo mulai menatap Luna dengan tatapan dan perasaan yang tak menentu. Takut jika persyaratan yang Luna berikan di luar batas kemampuannya, dan bahkan membahayakannya. “Gitu dong dari tadi. Tinggal nurut aja kok susah? Kok ribet? Jadi gini persyaratannya.” Luna mulai akan mengutarakan persyaratannya. Namun saat akan melanjutkan, apa yang dilihatnya kini membuatnya tak kuasa menahan tawa. “Psssstt! Wwkwk. Tenang, tenang. Kalian semua nggak perlu tegang gitu. Rileks aja! Yang bersangkutan si ikan lele, napa semuanya jadi ikutan tegang sih?” “Udah.. apa syaratnya? Jangan banyak cing cong kamu! Nggak lucu juga, malah ketawa - ketawa nggak jelas,” ucap kesal Leo saat Luna tak kunjung menyebutkan syaratnya. “Sabar dikit napa?! Syaratnya itu adalah.. kamu harus.. sekarang tanggal berapa temen - temen?” “Dua puluh.” “Oke. Syaratnya adalah kamu harus gombalin dua puluh orang laki - laki pilihan aku di sini. Udah itu aja. Gampang kan? Kamu kan jago gombal tuh. Mulutnya sampai di semutin saking manisnya. Kayak gitu doang mah pasti gampanglah ya?,” ucap Luna pada akhirnya yang berhasil membuat keempat orang temannya merasa terkejut di tempatnya. “Masalah gombal sih gampang. Nggak ada masalah. Udah jadi makanan sehari - hari ini. Tapi yang bener aja dong! Masa targetnya laki - laki? Aneh banget dong! Yang bener tuh perempuan - perempuan cantik, manis, modis, gitu. Pasti salah ngomong kan tadi?” tanya Leo bermaksud untuk memastikan. “Nggak kok. Tadi aku serius. Memang syaratnya itu. Gimana? Sanggup nggak? Kalau nggak sanggup ya udah. Wasallam.” Leo terlihat berpikir serius lagi lama setelah mendengar jawaban yang Luna lontarkan barusan. Sebelum akhirnya kembali berucap, “Ya udah iya. Tapi jangan dua puluh juga dong. Lima aja deh seperempatnya. Atau kalau mau tetep dua puluh, targetnya perempuan.” Tawar Leo. Luna menggelengkan kepalanya mantap. “Oh tidak bisa!” Seraya menggerak - gerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri ke arah Leo. “Harus dua puluh, dan tetep harus laki - laki.” Leo berpikir keras untuk memenangkan negosiasi ini. “Gini deh. Tadi berdasarkan tanggal, sekarang kita berdasarkan bulan. Sekarang bulan kelima kan? Jadi lima aja deh. Lima dan laki - laki. Aku siap lahir batin. Beneran deh.” “Itu mah sama aja kayak tadi. Nggak, nggak. Aku nggak setuju. Mau berdasarkan tahun? Dua ribu dua satu?” “Ya kali! Dua puluh aja aku nggak mau.” “Ya udah. Ini penawaran terakhir deh. Aku kasih diskon gede - gedean. Kita berdasarkan jam. Sekarang jam?” Luna melirik jam tangannya yang melingkar cantik di lengan kanannya. “Sekarang jam sembilan lewat empat puluh menit. Kalau dibuletin menuju jam sepuluh lah ya?! Jadi fix-nya sepuluh orang laki - laki dan waktu juga tempatnya fleksibel, alias nggak harus semuanya sekarang dan nggak harus di tempat ini. Tapi ya nggak sampai berminggu - minggu atau berbulan - bulan juga. Secepatnya lah. Gimana? Setuju nggak? Udah setengahnya lho itu turunnya. Diskon gede - gedean lagi karena nggak terbatas waktu dan tempat,” ucap Luna final. Sebelum memutuskan, Leo menatap ketiga orang yang sedari tadi memilih untuk diam. Dengan tujuan untuk meminta pendapat mereka. “Gimana guys?” “Lumayan ringan sih kalau menurut saya dibanding syarat awalnya,” jawab Rayhan mengutarakan pendapatnya. “Kalau aku sih yes!” Kini giliran Clarissa yang berpendapat. “Kalau menurut kamu sih, Na?” “Sikat, Bro!” Setelah mendapat dukungan dari ketiga orang kepercayaannya, Leo pun akhirnya menatap Luna dengan tatapan penuh percaya dirinya. “Oke. Menggombali sepuluh orang laki - laki pilihan kamu. Hmm, hari ini juga aku siap!” “Kalo siapnya seyakin itu. Hari ini lagi. Kenapa nggak dua puluh aja sih?” “Tadi udah ketok palu ya?! Sepuluh!” “Sakarepmu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD