Part 15

1405 Words
Setelah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim di waktu fajar, yaitu melaksanakan shalat subuh, Luna pada awalnya berniat untuk kembali merebahkan tubuhnya di kasur empuk kesayangannya. Mengingat hari ini merupakan hari Minggu,yang itu artinya juga merupakan hari libur. Hari yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya selama satu pekan lamanya. Hari yang selalu ia jadwalkan sebagai harinya untuk melakukan me time di rumah. Dengan agenda rutin, makan tidur, makan tidur. Atau tidur, makan, tidur, tidur, tidur, makan, kemudian kembali tidur hingga keesokan harinya. Sudah Luna bilangkan sebelum - sebelumnya, kalau tidur merupakan salah satu kegiatan favoritnya sejak kecil, alias hobinya. Begitu juga dengan makan. Hobinya yang kedua setelah tidur. “Seneng banget deh rasanya. Hari ini ternyata udah hari Minggu aja. Sekarang saatnya tidur!” ucap Luna penuh bersemangat, kemudian membereskan alat shalat dan kembali menaruhnya ke tempat semula. Melangkahkan kakinya menuju kasur empuk kesayangannya, menarik selimut hingga ke batas d**a, kemudian bersiap kembali untuk bertamasya di alam mimpi. Namun, ketika Luna baru saja menutup kedua matanya selama beberapa detik, sebuah dering bunyi notifikasi yang Luna yakini itu merupakan dering panggilan telepon terdengar cukup nyaring. Membuat Luna yang masih terjaga kesadarannya, langsung membuka kedua matanya cepat seraya menghela napas panjang. “Siapa sih? Yang pagi - pagi begini, di hari libur ini, berani - beraninya ganggu kesenangan aku? Ahhh! Ganggu aja sih!, nggak bisa apa? Ngbiarin aku menikmati hobiku dengan nyaman, tentram, dan aman sentosa? Hah!” teriak Luna kesal, yang meski begitu, ia tetap meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Melihat siapa gerangan si pembuat ulah, pengganggu tidurnya, kemudian bersiap untuk mengangkat panggilan telepon tersebut. “Ana? Ngapain dia telepon aku sepagi ini? Ini beneran hari Minggu kan? Jangan - jangan aku salah mengira hari lagi. Taunya hari ini hari kerja. Bukan hari libur!” ucapnya heran kemudian bergegas cepat untuk mengambil kalender mininya dari atas nakas. Memastikan bahwa hari ini merupakan harinya, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya ke arah ponsel yang sejak tadi ia genggam. “Bener kok sekarang ini hari Minggu. Bukan hari kerja. Tapi tumben banget dia nelepon aku pagi - pagi di hari libur gini. Ada apa ya?” tanya Luna heran kemudian berniat untuk menghubungi si penelepon balik. Karena panggilan teleponnya baru saja berhenti beberapa detik lalu dengan sendirinya, dikarenakan ia yang tak kunjung mengangkatnya dengan segera. Mengetahui panggilan teleponnya diangkat dengan segera oleh Ana, Luna pun tanpa banyak basi - basi lagi langsung membombardir Ana dengan beragam ucapan randomnya. (“Hai, Lun. Assalamu’alaikum.”) “Hai, Na. Maaf ya tadi teleponnya nggak buru - buru aku angkat. Ada Apa nih telepon aku subuh - subuh begini? Kalau kamu lupa, aku ingetin deh yaa. Ini hari Minggu by the way. Kita nggak harus siap - siap pagi. Nggak harus berangkat pagi buat kuliah. Nggak harus pusing atau kelimpungan karena belum ngerjain tugas. Hari ini kita bener - bener free lho! Ini hari Minggu, Sista!” saking kesalnya Luna pagi ini, karena ia tidak dapat segera tidur dan bertamasya di alam mimpi, ia berulang kali mengingatkan kepada sang penelepon bahwasanya hari ini adalah hari libur. Hari merdekanya ia dari semua aktivitas yang terkadang membuatnya pusing tujung keliling. (“Aku juga mau ingetin kamu. By the way kalau ada orang ngucap salam, wajib hukumnya kita yang denger ini buat jawab. Mengucap dan menjawab salah itu bagus banget lho keutamaannya. Itu doa. Apa perlu aku aduin soal ini ke Clarissa? Supaya kamu diajak sama dia buat pergi kajian maraton lagi? Setiap hari? Supaya nggak cepet lupa materi - materinya.”) “Eh iya, lupa. Yahh, jangan gitu dong, Na! Semingu sekali atau seminggu dua kali datang ke kajian aja itu udah cukup banget bagi aku. Janganlah sampai maraton segala! Aku juga pengen luangin waktu aku buat senang – senang. Iya, iya. Nih, aku jawab salamnya. Ini ikhlas banget lho ya. Jangan sampai lagi aku dikomentarin nggak ikhlas jawab salamnya! Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Itu udah ikhlas, lengkap lagi bacaannya.” (“Wkwk. Iya deh, iya. Aku inget kok kalau hari ini hari Minggu. Mana mungkin hari libur aku lupain wkwk. Sekarang kamu lagi apa, Luna?”) “Wkwk. Ya kirain kalu lupa. Kan kamu anak rajin. Setauku di kamus anak rajin nggak ada tuh hari libur. Nggak seneng malah kalau tau besok, atau hari ini, adalah hari libur. Beda kasus kalau sama anak pemalas, dan mageran kayak aku. Hobinya setiap hari liat kalender. Liatin tanggalan. Hari libur berapa hari lagi, tanggal merah di bulan ini ada nggak, dan lain - lain. Pokoknya seneng banget deh sama yang namanya libur. Kayaknya salah satu kata favorit orang - orang kayak aku ya libur. Hmm, aku lagi apa ya? Kalau kamu ngaku sahabat aku. Harusnya kamu tau dong kalau sekarang, harusnya aku lagi apa?” (“Hahaha. Aku sama aja kok kayak kamu. Meski kamu bilang aku anak rajin, aku masih demen dan seneng banget kalau denger atau tau sesuatu yang berbau libur. Wkwkwk. Oke, aku coba tebak kamu sekarang harusnya lagi apa. Hmm, mau lanjut tidur lagi?”) “Wkwk. Kamu masih inget aja ternyata. Jadi ada apa nih? Kenapa subuh - subuh gini udah telepon aku? Kalau nggak ada apa - apa, atau cuma say hai doang, aku tutup ya?! Aku mau lanjutin hobi aku yang jadinya ketunda gara - gara harus ngeladenin kamu. Aku mau lanjut bobo!” (“Eh.. tunggu - tunggu.. jangan ditutup dulu teleponnya! Ini baru aja aku mau ngomong. Jad—”) “Oke. Nggak aku tutup. Iya apa?” (“Sabar dulu dong! Tadi baru aja ambil napas, terus mau lanjut buat jelasin, udah diserobot aja. Dengerin dulu napa?!”) “Wkwk. Maaf, maaf. Iya apa? Aku dengerin.” (“Jad—“) “Iya.. apa? Aku dengerin ini.” (“LUNA! ASTAGHFIRULLAH! Tadi aku mau ngomong santai malah diburu - buru. Disuruh cepet langsung ke inti ngomongnya. Ini udah mau to the point malah dipotong mulu. Maunya gimana sih? Es mosi nih!”) “Emosi, Bund! Maaf. Wkwk.” (“Bodo amat! Mau emosi kek. Mau es mosi kek. Intinya itu. Jadi gimana nih? Mau langsung aku kasih tau tujuan aku telepon kamu, atau kamu mau berantem dulu sama aku? Hobi banget kayaknya deh motong omongan orang lagi ngomong. Nggak baik tau, Lun. Nggak sopan itu namanya.”) “Wkwk. Bercanda ah! Gitu doang sensi banget! Iya, iya. Langsung kasih tau dong, hehe. Apa, apa? Beneran deh. Kali ini aku beneran nyimak.” (“Bercanda apaan kamu mah? Emang itu salah satu hobi kamu kan?! Suka motong omongan orang kalau lagi ngomong. Oke. Dengerin baik - baik ya. Aku mau kasih tau kamu kalau ternyata kemarin si Rayhan udah pulang. Sekarang dia udah ada di Jakarta.”) Suara Ana terdengar sangat riang dan gembira saat memberi tahu kabar itu. Meski di awal nada suaranya masih terdengar marah karena aksi menyebalkan Luna. Berbeda dengan Luna, yang setelah mendengar kabar yang Ana sampaikan dengan begitu riang dan gembira itu, ia justru mengernyitkan kening heran dan bertanya - tanya. “Ya terus? Emangnya kenapa kalau si Rayhan udah pulang? Apa hubungannya sama aku? Aku harus bilang wow gitu? Aku harus jingkrak - jingkrak, jungkir balik, jumpalitan nggak jelas gitu? Ini si Ana emang rada - rada ya! Please, deh. Mau si Rayhan udah pulang atau belum, aku mah biasa aja. Nggak ada efeknya buat aku,” ucapnya heran dalam hati. “Ya terus kenapa kalau si Rayhan udah pulang?” (“Kamu, Lun! Masa nggak tau maksud aku sih?”) “Suer! Aku nggak ngerti.” (“Masa gitu aja nggak ngerti sih! Kamu kan tau aku itu suka sama Rayhan.”) “Iya, aku tau. Terus yang aku permasalahin, apa hubungannya Rayhan baru aja pulang sama aku? Kan aku mah nggak suka sama dia. Yang suka sama dia itu kan kamu.”) Terdengar suara helaan napas berat di sebrang sana. Membuat Luna yang mendengarnya pun hanya bisa melirik heran ke arah ponselnya. Ini anak kenapa sih? Kok seakan - akan di sini aku yang salah banget? Yang nggak ngerti - ngerti ? Padahal kan dia sendiri yang nggak jelas! Dia yang suka sama Rayhan, kok bawa - bawa aku? (“Iya. Kalau diliat dari kamu yang nggak suka sama dia, emang nggak ada hubungannya. Tapi kalau diliat dari aku yang suka sama dia, dan kamu adalah sahabat tercinta aku, jelas ada hubungannya!”) “Apa?” (“Kamu kan sahabat aku, kamu harus dukung usaha aku dong supaya bisa deket sama Rayhan.”) “Aku dukung kok.” jawab Luna cepat, meski di dalam hatinya ia berkata lain. “sebetulnya nggak. Bukan karena aku nggak sayang sama kamu. Justru karena aku sayang banget sama kamu, aku nggak mau kamu terluka karena laki - laki dan cinta. Percayalah.. kisah bahagia percintaan nggak seindah itu kok. Kamu bisa aja terluka. Kamu bisa aja sama seperti Mama. Sama seperti Mbak Citra. Yang bukannya bahagia seperti apa yang mereka dambakan saat menjalin cinta dahulu bersama laki - laki, tapi justru terluka bahkan menderita. Dan aku, sebagai sahabat kamu, tentu aja nggak ingin kamu merasakan apa yang mereka rasakan,” lanjut Luna dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD