Sebulan lebih berlalu dan Bhumi semakin seperti mayat hidup. Tubuhnya semakin kurus serta bulu-bulu di rahangnya yang tumbuh tak terawat. Bhumi semakin menjadi orang gila karena hanya ada pekerjaan di harinya.
Bhumi tak pernah keluar dari ruangnya bahkan hanya untuk sekedar makan dan bertemu klien. Dia hanya mau duduk di kursinya dan mengerjakan pekerjaannya di sana. Sembari memikirkan Arumi sedang melakukan apa di luar sana.
Bhumi tersentak saat ruangannya terbuka dan mendapati wajah yang Sebulan ini ia rindukan sedang berdiri di sana. Wajahnya semakin cantik membuat Bhumi semakin ingin memujanya.
Arumi mendekat membuat napas Bhumi tertahan sebentar. Aruminya semakin cantik. Tidak seperti dirinya yang tampak bodoh dengan bulu-bulu di sekitar rahangnya.
"Apa kabar, kak?" Bhumi hanya terdiam dengan debar jantung yang menggila di dadanya. Semakin menggila saat Arumi tersenyum kecil kepadanya.
"Aku kesini bawa surat yang akan membebaskan kak Bhumi dari ku." Bhumi meraih map yang di letakan Arumi di atas mejanya kemudian debar jantungnya serasa semakin menggila. Rahangnya mengetat. Bhumi tak yakin ia mampu berdiri setelah ini.
Lebih dari itu, Bhumi ingin menangis saat ini. Setiap malam Bhumi selalu menangis memikirkan Arumi. Namun ia hanya menangis seorang diri. Tapi kali ini, sepertinya Arumi adalah orang pertama yang akan melihat air matanya jatuh.
"Apapun Arumi. Apapun! Asal jangan ini." Bhumi melirih di akhir kaimatnya. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Lalu Bhumi tergesa saat melihat Arumi yang hendak keluar dari ruangnnya.
Tidak! Bhumi tak akan membiarkan itu terjadi. Sampai mati pun tak akan. Bhumi akan memilih menjadi suami egois yang akan Arumi benci dari pada ia tak bisa melihat Arumi lagi selamanya. Bhumi akan egois kali ini. Menghancurkan imej suami idaman Arumi yang ia ciptakan selama satu tahun ini.
"Apapun Arumi. Aku akan mengabulkan apapun! Asal jangan ini!" Bhumi berteriak begitu kencang sama seperti dekapannya pada Arumi. Bahkan Bhumi sudah tidak perduli dengan air mata yang sudah jatuh dari matanya. Tidak peduli bahwa Arumi tidak menyukai laki-laki yang menangis Bhumi tidak peduli. Dia mau menjadi egois saat ini.
"Tolong jangan cerai Arumi! Jangan!" Bhumi kembali berteriak membuat Arumi bingung setengah mati di dekapannya.
&_&
"Mau kemana?" tanya Bhumi saat melihat Arumi bangkit dari sofa.
"Kamar mandi." Bhumi ikut bangkit dari tidurnya dan menyusul Arumi memasuki kamar mandi.
Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian di kantor itu. Arumi memang membatalkan perceraian itu walau tanpa penjelasan yang keluar dari bibir Bhumi. Bhumi masih tidak berbicara seperti biasanya. Dia hanya akan menempeli Kemanapun Arumi pergi. Bahkan sampai ke dalam kamar mandi seperti tadi. Bhumi benar-benar tidak ingin lepas dari Arumi. Dia akan selalu mendekap Arumi di manapun ia bisa.
"Kakak tidak ke kantor?" Bhumi hanya menggeleng dan kembali merebahkan kepalanya di pangkuan Arumi kemudian memeluk perut Arumi yang sedang duduk sembari menikmati acara di televisi setelah keluar dari kamar mandi tadi.
Arumi merasa bosan dan heran. Bhumi seperti koala yang tidak bisa lepas dari induknya. Arumi tak dibiarkannya Bernapas lega sedikitpun. Sudah dua minggu bahkan Bhumi tak pergi ke kantornya.
Bhumi akan selalu menempel pada Arumi. Bahkan saat Arumi memasak. Hal yang menyebabkan pipi Bhumi terkena cepretan minyak saat Arumi menggoreng ikan.
Sampai sekarang pun Arumi tidak mengerti dengan pikiran Bhumi. Arumi pikir, langkahnya akan lebih mudah saat ia melepaskan Bhumi. Tapi ternyata Bhumi yang justru tidak melepaskan barang sesenti pun.
Arumi menghembuskan Napasnya lelah dan jemarinya kini terulur membelai rambut Bhumi.
"Jangan katakan apapun lagi jika kamu suruh aku pergi. Aku gak akan lepasin kamu meski kamu nangis darah sekalipun." Bhumi memang sering berbicara dua minggu ini. Namun hanya kalimat ancaman dan larangan tentang Arumi yang akan meninggalkannya.
"Walau kamu bosan dan jengah. Kamu benci sama aku. Aku tidak peduli. Aku akan tetap menempel sama kamu."
"Walau kamu merasa mau bunuh diri karena bosan denganku aku akan ikut kamu bunuh diri."
"Jangan pernah pergi lagi."
"Jangan Arumi!"
"Jangan pergi lagi!"
"Jangan minta cerai!"
"Jangan jauh dariku!"
"Aku sudah gila Arumi!"
Lalu setelahnya Arumi merasa kaos yang ia kenakan basah. Bhumi menangis di perutnya.
Arumi tidak tahu apa yang terjadi pada Bhumi sampai ia menjadi seperti ini. Bahkan Arumi tak punya kesempatan untuk bertanya pada Ghea atau Yoga. Bhumi benar-benar tak memberinya ruang untuk berbicara dengan orang lain. Bahkan ketika Ghea dan Yoga bertamu, Bhumi segera mengusirnya. Bhumi benar-benar tak mengijinkan orang lain memasuki rumahnya.
"Jangan pernah minta cerai lagi, Arumi!"
Bhumi berbicara Lirih di perutnya. Membuat Arumi Mengalirkan air matanya yang sejak dua minggu ia tahan.
Bhumi mengangkat wajahnya. Ia mendapati Arumi yang sudah berlinangan air mata. Apa Arumi benar-benar lelah akan dirinya? Apa Arumi tertekan dengan tingkahnya? Tapi, Bhumi hanya tidak ingin Arumi pergi.
"Kamu menangis Arumi?" Tanyanya kemudian bangkit dari tidurnya. Bhumi menghapus air mata itu dan seketika ia merasa sangat jahat karena mengekang Arumi yang sudah benci dengan dirinya.
"Kamu semakin membeciku, Arumi?" Tanyanya.
"Apa kamu memang sangat ingin bercerai? Itu membuat mu bahagia?" Bhumi pikir, ia tak masalah melihat Arumi tak bahagia asal Arumi tak pergi darinya. Tapi melihat Arumi yang menangis, Bhumi merasa semakin gila. Dia tak pernah ingin membuat Arumi menangis. Dan kini, ia membuat Arumi menangis.
"Maafkan aku, Arumi."
"Pergilah jika kamu akan bahagia nantinya. Aku memang laki-laki bodoh yang tidak bisa menjadi suami idamanmu selama ini." Bhumi bangkit dari sofa. Melangkah gontai menuju kamar. Lebih baik dari pada ia mendapati Arumi yang pergi meninggalkannya. Mungkin setelah ini Bhumi benar-benar akan mati.
&_&
Arumi menahan napasnya dan sesak Itu tak juga pergi dari dadanya. Sudah satu jam sejak ia mendengar dari Ghea tentang apa yang terjadi dengan Bhumi sehingga ia menjadi seperti itu. Arumi tak pernah tahu bahwa Bhumi berusaha menjadi sosok sempurna seperti yang Arumi inginkan.
Demi Tuhan! Bahkan sosok suami idaman yang Bhumi tahu adalah impian Arumi sewaktu dia duduk di bangku putih abu-abu. Dan ia tidak pernah tahu, bahwa Bhumi sudah mencintainya begitu dalam sejak lama. Dia tak pernah tahu, bahwa Bhumi adalah kakak kelasnya yang menyukai Arumi diam-diam sejak lama. Bodohnya Arumi!
Dengan gontai, Arumi berjalan menuju kamarnya. Kemudian ia mendapati Bhumi yang seluruh tubuhnya tertutup selimut. Kini rasa bersalah menyeruak di dalam hatinya.
Bhuminya. Suami yang sangat mencintai serta memujanya. Ia tak pernah tahu akan itu.
Perlahan, Arumi menaiki ranjang dan menyusup ke dalam selimut. Kemudian memeluk Bhumi begitu erat. Dia berjanji, akan mengubah semua ini menjadi indah.
"Arumi gak akan pernah meninggalkan Kak Bhumi. Percaya itu. Arumi jatuh cinta dengan Kak Bhumi saat Mama mengenalkan Kak Bhumi pertama kali pada Arumi. Maafkan Arumi karena tidak ingat dengan Kak Bhumi. Tapi percayalah, Arumi mencintai kakak. Sangat!"
Bhumi membalikkan badannya dan menghadap kearah Arumi. Lalu ia menurunkan selimut dari wajahnya dan Arumi. Menatap wajah Arumi begitu dalam. Masih terlihat jelas jejak air mata di pipi wanita itu. Juga hidungnya yang masih memerah.
"Tapi aku bukan suami idaman kamu."
Arumi meletakkan jemarinya di wajah Bhumi. Membelainya begitu lembut dan penuh perasaan.
"Arumi tidak memiliki itu kak. List suami idaman itu hanya buatan anak remaja yang belum mengerti apa itu suami sebenarnya."
Bhumi menikmatknya. Menikmati setiap sentuhan jemari Arumi di wajahnya.
"Tunjukkan pada Arumi, diri Kak Bhumi sebenarnya. Jangan pernah lagi menjadi suami idaman seperti di List yang Arumi tulis sewaktu SMA. Karena Arumi memiliki list baru tentang pasangan romantis yang harus kita penuhi."
Bhumi tersenyum. Kemudian senyum itu menular pada Arumi.
"Aku posesif Arumi. Itu sifat ku yang sebenarnya. Aku cerewet. Banyak bicara. Bukan seperti suami idaman kamu yang ada di List."
"Lupakan list itu, kak. Arumi tidak suka lagi dengan suami idaman yang ada di List itu. Arumi suka Kak Bhumi Bagaimana pun kakak."
Bhumi terdiam. Kemudian mengambil jari Arumi yang tadi membelai wajahnya. Menggenggam Jemari itu begitu erat.
"Jangan pergi Arumi."
"Tidak akan!"
Keduanya terdiam sibuk meresapi kehangatan dan sibuk mengamati wajah satu sama lain.
"Arumi ingin tanya,"
"Hm.."
"Arumi pernah menghubungi kakak dengan nomor ponsel yang lain. Tapi yang mengangkat seorang perempuan. Arumi kira itu wanita baru kakak. Jadi, siapa perempuan itu?"
"Tidak ada wanita baru Arumi. Hanya kamu. Wanita aku satu-satunya. Ponselnya aku tinggal di rumah mami karena takut aku menghubungi mu dan membuat kamu benci padaku karena sifatku yang posesif. Dan aku gak tahu siapa yang jawab panggilan dari kamu."
Arumi tersenyum. Kemudian menyusupkan kepalanya ke dalam d**a Bhumi merasakan detak jantung laki-laki itu yang menggila. Dan ia selalu menyukainya.
"Dia seperi itu karena kamu. Selalu karena kamu dia berdetak melebihi biasanya. Aku mencintaimu, Arumi. Selamanya."