“Yah, yang bener aja aku suruh beres-beres rumah. Aku kan sedari dulu gak bisa begituan.” Tolak Rheana dengan mentah.
“Makanya, Ayah suruh kamu biar kamu bisa. Kamu bisa lihat bundamu seperti apa di rumah. Walaupun ada asisten rumah tangga, dia itu kekeh gak mau kamarnya dibersihkan oleh bibi. Jadi, Ayah akan mengajarkan kamu keras dalam hidup sesungguhnya. Kamu itu bakalan nikah sama, dan pasti akan mengalami hal serupa,” jelas Refal.
Gadis itu berdecak kesal, “Kan, bisa sewa ART aja, Yah. Lagian, aku itu lagi sibuk-sibuknya loh di kantor. Atau gini aja, aku bakalan cari ART secepatnya.”
Refal pun menggeleng. “Tetap, tidak! Kenapa sih, kamu itu banyak protes setiap ayahmu menyuruh? Ini itu bentuk tanggung jawab kamu karena telah menuduh calon suamimu sendiri. Atau kamu mau meminta hukuman sama dokter Ari?”
“Tapi, saya setuju hukuman untuk Rheana apa yang Om ajukan,” sambung Ari.
Rheana pun melirik lelaki itu dengan tatapan sinis. Tangannya sampai mengepal, dia ingin sekali menonjok wajah kulkas tujuh pintu itu yang kontra dengan pendapatnya.
“Ayah, aku itu bersedia kok menerima hukuman. Tapi, jangan jadi pembantu juga. Ayah bisa kan kasih aku tugas kantor yang banyak deh, aku bersedia daripada tugas ini,” elaknya kembali.
“Kalau tugas kantor kamu itu gak kerja, tapi yang ngerjain itu anak buah kamu. Tapi, kalau beres-beres itu pasti kamu dan ini adalah sebuah pembelajaran bair bisa seperti bunda kamu yang sudah menikah lama dengan Ayah, Rheana!”
“Ayah kenapa sih bandingin aku sama Bunda terus? Aku jadi Bunda ya gak bisa alias jomplang. Aku tuh seakan-akan selalu salah di mata Ayah kayak gak berharga, bahkan Ayah lebih sayang sama Rasya kuliahnya aja di luar negeri beda sama Rheana cuma di sini. Keluar negeri itu pun hanya liburan saja dan hanya sama keluarga. Sekali pun Ayah gak pernah loh izinkan aku liburan sama teman-teman ke luar negeri kayak anak orang lain,” ungkap Rheana.
Refal pun hendak melayangkan satu pukul ke pipi anak gadisnya itu, akan tetapi Anissa pun segera mencegahnya sebelum suaminya bertindak lebih keras dengan putri sulungnya. “Mas, stop! Kamu jangan terlalu keras sama, Rheana.”
Gadis itu pun semakin memajukan wajahnya. Jemarinya menunjuk pipinya. “Tampar aja Yah, tampar anak kandung rasa anak pungut ini!”
Lelaki paruh baya itu pun semakin meletup-letup amarahnya dengan anaknya. Dia pun sampai melayangkan pukulan lagi. “Mas, stop!” teriak Anissa yang berusaha menahan tangan suaminya yang keras itu.
“Bunda, jangan biarkan dia itu jadi gadis manja dan tidak menghargai orang lain! Dia itu sudah bertindak keterlaluan sama kita yang sudah membesarkan dia!”
“Mas, aku tahu itu,” lirih Anissa yang memeluk suaminya seketika.
Refal pun melepaskan pelukan istrinya dengan cepat.
“Asal kamu tahu ya, Ayah melarang ini semua karena demi kebaikanmu. Kamu sama Rasya itu jelas beda. Kamu ini anak perempuan Ayah yang tanggung jawab Ayah itu lebih besar daripada Rasya seorang laki-laki. Makanya, kenapa Ayah melarang kamu pergi sama teman-teman bebas kamu ke luar negeri, Rheana,” ungkap Refal.
“Kenapa Ayah larang? Rheana bisa kok jaga diri. Harusnya Ayah tidak perlu mendiskriminasikan aku dengan Rasya,” tolak gadis itu.
“Kamu kenapa ngeyel banget sih dinasihati orang tua. Di luar negeri itu bebas pergaulannya, dan Ayah tidak mau kamu salah pergaulan sampai ….”
“Sampai apa? Diajak tidur ke hotel sama kayak pengalaman Ayah dulu kan?” sahut Rheana.
Darah Refal sampai berdesir dengan wajahnya yang memerah. Dia pun melayangkan pukulan, sampai Anissa sendiri memeluk anak gadisnya itu. “Mas!” teriaknya.
“Bun, minggir! Aku biar ditampar sama Ayah biar dia puas!” Rheana berusaha melepaskan pelukannya. Namun, Anissa masih melindungi putrinya.
Rasanya siapa pun tidak rela melukai putrinya walaupun itu suaminya sendiri. Dia tahu, Rheana memang salah. Namun, betapa sakitnya saat Anissa mengandung dan melahirkan Rheana. Dia mengingat masa-masa itu yang sudah berjanji akan melindungi anaknya dari siapa pun itu.
“Nggak, Sayang. Kamu itu sangat berharga bagi Bunda, Nak,” lirih Anissa.
“Berharga bagi Bunda, tapi sampah bagi Ayah.”
Refal pun menurunkan tangannya. Dia pun menghela napas sampai mengucap istighfar beberapa kali.
Bahkan, dokter Ari dan Hartanu hanya bisa melihat keluarga mereka.
Ternyata, hidup kamu kasihan juga, Rhe. Aku kira kamu dalam lingkungan yang manja, dan ternyata sangat keras. Makanya, kamu jadi gadis pembangkan, batin Ari.
Dia pun melihat jam tangan bahwa jam kerjanya telah usai. Ari tidak enak, jika terus-terusan melihat pertengkaran calon keluarga besarnya.
“Permisi, Om, Tante. Maaf, jam kerja saya sudah selesai. Sa—saya izin pamit ya, Om,” ucap Ari dengan grogi.
Dia baru melihat wajah Refal dengan mode yang sangat marah. Dia pun mengulurkan tangannya. “Assalamualaikum, Om.”
“Waalaikumsalam, hati-hati, Dok.”
“Iya, Om.”
Setelah dokter Ari keluar, Hartanu pun sudah tidak tahan untuk menyampaikan unek-unek untuk keluarga anaknya itu.
“Refal, kamu boleh kok marahin anak kamu karena dia memang salah. Tapi, alangkah lebih baiknya jangan di depan orang lain termasuk calon suaminya. Bagaimana, jika dokter Ari gak nyaman sama keluarga kita? Siapa yang repot buat cari suami pengganti Rheana lagi kalau dia membatalkan?” ungkap Hartanu.
Refal pun menunduk. Dia memang paling sulit untuk menahan amarahnya. “Iya, Ayah. Refal minta maaf.”
“Sebaiknya kamu minta maaf juga ke anak kamu. Kalian ini keluarga jangan membuat kegaduhan hubungan anak dan ayahnya. Semua manusia punya salah kok, dan berhak mereka mendapatkan maaf juga kesempatan lain.”
Refal hanya bisa mengangguk. Dia pun mengantarkan Hartanu ke dalam kamarnya.
Sementara Rheana, dia sudah masuk ke dalam kamarnya yang menangis tersedu-sedu dengan tingkah ayahnya yang merasa tidak adil dengan adiknya.
Refal pun masuk ke dalam kamar yang mendapatkan wajah istrinya sangat kecewa dengannya.
“Sayang?”
“Gak usah panggil sayang lagi, Mas kalau kamu hanya sayang aku saja tidak dengan Rheana!” ancam Anissa.
Refal pun terperanjat yang mendapati istrinya yang tidak bersikap seperti biasanya. Anissa yang selalu mendukung Refal untuk mendidik anak-anaknya, akan tetapi kali ini dia berpihak kontra dengannya.
“Sayang, aku itu mendidik dia biar bisa mengerti menghargai orang lain kenapa kamu jadi ikutan marah denganku?”
“Cara kamu itu salah, apa yang dikatakan Ayah itu benar. Kamu boleh marahin anak kita kalau salah, tapi jangan seakan-akan kamu mempermalukan dia di depan calon suaminya. Sungguh, aku sangat malu jika dia mengatakan hal itu kepada teman kita sendiri, Mas!” elak Anissa.
Refal pun menunduk. “A—aku minta maaf, Sayang.”
“Minta maaflah dengan anak kamu, bukan dengan aku.” Anissa pun memberikan bantal ke suaminya.
Refal pun mengerutkan dahi. “Ini apa maksudnya?”
“Aku nggak mau tidur sekamar sama kamu malam ini sebelum kamu minta maaf sama anak kamu,” pinta Anissa dengan tegas.
“Sayang, kenapa kamu menyalahkan aku?”
“Siapa pun orangnya yang sudah melukai hati anakku, bahkan menyiksa dia dengan fisik akan berhadap dengan aku!”
Baru kali ini, Refal melihat kemarahan istrinya bahkan ingin berpisah ranjang sementara. Anissa tidak bermaksud untuk mengusirnya, akan tetapi agar anak dan suaminya bisa bersatu dan saling memaafkan kembali.
“Kamu itu mendidik Rheana sudah di luar batas untuk mendidik anak perempuan, Mas. Jadi, kamu juga harus dapat konsekuensinya. Kamu ingat kan dulu, perjuanganku untuk mendapatkan Rheana sampai melahirkan dia itu tidak gampang?”
Refal pun mengangguk kembali. Dia akan kalah, jika istrinya bersabda sebab dia sudah menaruh kekuatan cinta dengannya. “Baiklah, aku akan meminta maaf kepada anak kita.”
“Sekarang, Mas. Rheana itu cara Tuhan untuk menyatukan cinta kita yang hampir diputuskan oleh Ayah. Jadi, kamu jangan sampai mengulangi hal seperti ini kembali yang membuat aku semakin kecewa dengan kamu, Mas,” ancam Anissa.
Refal pun sudah berdiri di depan pintu kamar anaknya. Dia pun tidak segera membukanya sebab mendengar isakan tangis dari anak gadisnya itu.
Seketika kakinya berdiri begitu lemas mendengar kalimat-kalimat penuh dengan kesedihan yang dilontarkan dari anaknya.
Refal pun mengetuk pintu kamar anaknya dengan lembut. Bahkan, lebih lembut dari orang tua yang hendak meminta maaf dengan anak kecil.
“Sayang, Ayah boleh buka pintunya?” ucap Refal yang tidak ada balasan dari anaknya.
Refal pun membuka gerendel pintunya yang ternyata tidak dikunci oleh Rheana. Dia pun melihat, jika anaknya sedang berbaring di atas ranjang yang berbalik dari arahnya.
Refal melangkahkan kakinya sampai duduk di samping anaknya itu yang masih sibuk mengusap air matanya. Tangannya pun berusaha untuk membalikan tubuh gadis itu, akan tetapi ditahan dengan kuat oleh Rheana.
“Sayang, jujur Ayah itu sayang banget sama kamu. Sayang kamu dan Rasya itu sebenarnya sama. Kamu ini anak perempuan pertama Ayah yang harus Ayah jaga seumur hidup Ayah. Bahkan, nanti kalau kamu sudah menikah dengan dokter Ari akan Ayah jaga sama seperti sekarang.”
“Kamu tahu nggak sih, kamu itu istimewa bagi Ayah. Dulu, saat bundamu sedang mengandung kamu adalah penyelamat rumah tangga ayah dengan bunda. Andai saja dulu kamu belum ada, mungkin kita tidak bisa hidup sebahagia ini.”
“Ayah melarang kamu jalan-jalan ke LN dan kuliah di LN karena Ayah tidak mau, jika Ayah mendapatkan karma lewat putri kecil Ayah. Jujur, Ayah memang hampir begitu. Namun, naluri Ayah masih berjalan untuk tidak merusak anak orang. Dan, Ayah selalu terbayang-bayang jika kamu ke LN tanpa pengawasan kami. Coba, seberapa sayangnya Ayah dengan kamu?” ungkap Refal dengan lembut.
Hati gadis itu pun seakan luluh lalu berusaha membalikan badannya yang mendengar kata-kata indah dari mulut ayahnya. “Sungguh, Ayah sayang sama Rheana?”
“Iya, Sayang.” Refal membantu mengusap air mata anaknya.
“Ayah gak bakalan marah-marahin aku di depan orang lain?”
“Enggak, Sayang.”
“Apa aku se istimewa itu di mata Ayah?”
“Kamu itu sangat istimewa. Anak perempuan Ayah harus Ayah jaga sampai menemukan tempat penjaga lebih baik dari Ayah,” sahut Refal dengan lembut.
Gadis itu pun beranjak lalu memeluk Refal dengan erat. Dia sangat rindu sikap ayahnya yang lebih perhatian dan peduli dengannya. “Ayah janji ya, jangan marahi Rheana sekeras itu lagi.”
“Ayah minta maaf ya, Sayang.”
“Rheana mau maafin, tapi batalin dulu pernikahan aku dengan dokter Ari!” pintanya dengan memaksa untuk mengelak dari perjodohannya, bahkan kedua bola matanya menari-nari agar ayahnya benar-benar menyetujui permintaannya.