13. Hukuman

1179 Words
Refal mengelus rambut putrinya, dia pun mencium ubun-ubunnya dengan halus persis seperti dia lakukan saat putri kecilnya menangis waktu kecil. “Sayang, kalau itu Ayah tidak bisa lakukan.” Gadis itu pun melepaskan pelukannya. “Kenapa, Ayah? Rheana tidak mencintai dokter Ari. Apa, Ayah tega melepaskan aku di tangan orang yang sama-sama tidak mencintai? Bagaimana, nanti hidup Rheana ke depan Ayah?” Refal menyalipkan anak rambut ke telinga putrinya. “Sayang, Ayah itu bukan orang awam yang mengizinkan putrinya menikah. Vito aja yang ugal-ugalan Ayah turutin untuk kamu. Masa, sama dokter Ari yang kita sudah tahu bibit, bobot, dan bebetnya Ayah ragu sih?” Rheana pu menghela napas dengan pelan. Dia memang tidak bisa mengalahkan keputusan ayahnya itu. “Tapi, kan sama Vito aku sangat mencintainya. Kalau sama dokter Ari beda, Yah. Aku kan sedari kecil sama dia mus—” Refal meluruskan telunjuk di bibir putrinya. “Dulu, Ayah sama Bunda itu hidup bermusuhan. Bahkan, Ayah juga tidak mau mengalah dengan bundamu yang begitu sabar menghadapi sifat Ayah yang keras ini. Tapi, lambat laun Allah membukakan hati Ayah bahwa Ayah kamu ini telah memiliki bidadari lebih cantik dari tujuh bidadari langit. Cantik bukan karena fisiknya saja, bundamu itu sebagai penolong dari segi kehidupan Ayah yang sangat sepi pada waktu itu. Jadi, Ayah harap kamu bisa mengerti apa maksud kami denganmu yang seperti ini, Nak,” ungkap Refal. Gadis berambut panjang itu pun menunduk. Entah mengapa hatinya begitu kalut mendengar ayahnya yang biasanya bersifat keras, akan tetapi di hadapannya sekarang seperti seorang raja yang sangat sayang kepada putrinya. Refal pun menarik dagu anaknya. “Sayang, kamu mau ya nikah sama dokter Ari. Ayah tahu siapa lelaki yang terbaik untuk kamu.” Gadis itu pun menatap mata Refal dengan penuh haru. Bola mata ayahnya begitu tajam sampai membius lubuk hati gadis itu. Meskipun aku tidak mencintai dokter itu, apakah aku harus menikah dengan dia? Ayah, kenapa aku tidak bisa jujur denganmu yang rasanya ingin sekali menolak. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Rheana pun memeluk ayahnya detik itu juga. Dia pun tak kuasa mengeluarkan air matanya di atas pundak ayahnya. “Rheana takut, Yah.” Refal mengelus pundak anaknya itu. “Kenapa takut?” “Hidup sama orang lain bagiku seperti bukan di rumah sendiri.” “Kamu tenang ya, Ayah tidak akan melepaskanmu begitu saja. Walaupun dengan anak teman Ayah sendiri, tetap saja dia itu orang lain yang harus Ayah awasi dari luar,” ujar Refal. Rheana pun melepaskan pelukannya. Refal menghapus air mata putri sulungnya. “Udah gak usah nangis. Masa, calon pengantin nangis mulu. Nanti, cantiknya ilang loh,” seloroh Refal. Gadis itu pun memukul kecil tangan lelaki paruh baya itu. “Ayah nih, ledekin aku mulu. Kalau nggak cantik tinggal pakai skincare,” rengeknya. Refal mengelus kepala gadis itu. “Ya sudah, kamu tidur gih. Besok kan banyak tugas kamu untuk membersihkan rumah ini. Jadi, satu minggu kamu gak usah ke kantor.” Rheana berdecak, “Ayah, jadi aku masih menerima hukuman itu? Kirain, Ayah minta maaf sekalian mau batalin hukumannya.” Refal menggeleng. “Sayang, Ayah menghukum kamu itu sebagai bentuk tanggung jawab kamu setelah apa yang pernah kamu lakukan. Ayah bukan mau menyiksa, justru Ayah ingin mengajarkan bahwa hidup itu tidak selalu bergantung kepada manusia loh termasuk ART.” “Tapi, Rheana gak bisa, Yah,” elaknya dengan manja. “Nanti deh, kamu pasti bisa. Kan, bibi besok pulang kampung. Nanti, Bunda bangun lebih pagi biar ngajarin tips-tipsnya. Udah ya, kamu harus tidur.” Refal pun menuntun anaknya untuk berbaring di ranjang. Dia pun menarik selimutnya. Lelaki paruh baya itu pun hendak beranjak, akan tetapi ditarik tangannya oleh gadis kecil itu. “Apalagi, Nak?” Rheana pun menunjuk keningnya. “Lupa?” Refal pun menepuk jidatnya. Dia selalu memberikan ciuman kecil kepada anak gadisnya itu sejak kecil. Dia pun mencium di kening dan kedua pipi anaknya itu. “Selamat tidur ya, Sayang.” “Ayah, maruk!” “Ke bundamu lebih maruk!” “Ih, dasar udah tua juga!” “Ciuman itu bentuk kasih sayang bukan penentu umur,” elak Refal. Refal pun kembali ke kamar istrinya. Saat itu, Anissa belum tidur menunggu suaminya lebih dari tiga puluh menit. “Sayang, aku udah minta maaf sama Rheana. Aku harap kamu juga memaafkan kesalahanku ya,” ucap Refal. “Iya, Mas. Janji ya jangan keras-keras sama, Rheana. Aku takut dia semakin begajulan seperti teman-temannya. Anak perempuan itu beda cara mendidiknya dengan anak laki-laki.” Refal pun mengecup kening istrinya. “Iya, sekarang aku sudah lega. Dia udah mau semua kemauan kita termasuk besok. Oh iya, nanti kamu bisa kasih tips buat Rheana ngerjain pekerjaan rumah?” Anissa pun mengangguk. “Bisa, Mas. Aku yakin Rheana cepat tanggap kok.” Pagi harinya, Anissa pun mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, sampai tangannya pegal tak juga dibukakan oleh sang pemilik kamar. “Kebiasaan banget sih tuh anak, pasti kalau gak ke kantor bangunnya siang?” Anissa pun membuka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. Dia pun menyalakan lampu sampai membuat gadis itu mengerjapkan matanya. “Ya ampun, kamu masih tidur, Rhe?” “Ih, Bunda mah mataku silau matiin lagi,” sahutnya yang menarik selimutnya. Anissa pun menggeleng. Dia pun menarik selimut itu agar anaknya usai bangun. “Kamu belum bangun dari tadi?” “Udah, Bunda. Aku masih ngantuk gara-gara Ayah tadi malam ngajak curhat, jadi jangan salahkan aku jam segini masih tidur.” “Alasan! Setiap hari aja, kamu bergadang. Ayo bangun, dokter Ari bakalan jadi juri hukuman kamu,” celetuk Anissa. Gadis itu pun beranjak dari tidurnya lalu menyibakkan selimut itu dengan refleks. “What?” Dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya. “Makanya, ayo buruan bangun. Nanti nilai kamu minus banyak. Kata Ayah, kalau gak lolos bisa ditambah waktunya.” Rheana pun beranjak dari tidurnya lalu menguncir rambutnya. Dia pun menarik Anissa untuk segera keluar dari kamarnya. “Lho, kok Bunda diusir?” “Rheana mau mandi, emang mau Bunda mandiin Rheana lagi?” “Boleh,” seloroh Anissa. “Ih, Bunda nih masa aku udah gede dimandiin sih.” Anissa mengerutkan dahi. “Ya emang kenapa? Sejak kecil, kamu yang mandiin Bunda. Ayo, kalau mau dimandiin Bunda.” Rheana menggeleng. “Nggak mau, Bunda tunggu di bawah aja.” Setelah gadis itu membersihkan badannya. Dia pun sudah memakai kaos dan celana santai untuk menerima hukuman itu. Dia pun memakai hijab segi empat biasa dengan diikat ke leher, agar gerakannya lebih memudahkan saat berbenah. Rheana menuju ke dapur untuk melihat ibunya yang sedang memasak tanpa bantuan asisten rumah tangga. Rheana hanya bisa melihat, tetapi tetap saja dia tidak paham seluruh bumbu masakannya. Setelah itu mereka pun sarapan bersama termasuk dokter itu sebab Anissa yang meminta agar Ari selalu sarapan di rumahnya. Gunanya, agar kelak telah menjadi menantunya sudah menjadi hal kebiasaannya. Refal pun mengeluarkan surat undang-undang hukumannya ke dokter itu. “Dok, ini catatan hukuman untuk Rheana hari ini. Nah, nanti dokter awasi dia juga. Kalau sampai dia ngelak dari apa yang saya tulis, besoknya akan saya tambahkan hukumannya," ucap Refal yang membuat anak gadisnya semakin memonyongkan bibirnya sepanjang lima senti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD