03. Tetap Harus Menikah

1255 Words
Lelaki itu menggelengnya dengan segera. “Eng—enggak kok, Tante. Saya hanya mengan—” “Bun, ada minuman gak? Aku haus banget nih,” potong Rheana yang mengibaskan tangan ke samping wajahnya. Anissa pun menghela napas dengan anak gadisnya yang paling susah diatur. “Biar nanti dibuatkan sama bibi. Dok, ayo silakan duduk.” Mereka pun akhirnya duduk di lain kursi. Gadis itu pun dengan santai duduk sementara Ari, dia sangat gugup dan panik bagaimana bisa gadis itu membalikkan fakta tak pernah dia lakukan. “Dokter habis ngajak Rheana jalan? Kok, gak pamitan sama Tante? Kan, kami jadi tidak khawatir sama kalian,” ujar Anissa. “Ma—maaf Tante, sebenarnya saya tidak mengajak jalan anak Tante,” sahut Ari dengan jujur. Sebagai dokter berkepala dingin juga wajahnya yang kalah dingin, dia tidak suka membohongi orang terlebih orang yang usianya lebih tua darinya. Anissa pun mengerutkan dahinya. “Maksudnya?” Rheana pun menginjak kaki dokter dingin itu sampai membuat Ari menegang seketika lalu melirik gadis itu yang masih meneguk segelas jus jeruk. Ari pun membalas untuk menginjak kaki Rheana sampai gadis itu tersedak minumnya. “Sebenarnya Rheana habis pergi sama pacarnya, Tante. Dia baru saja putus justru tidak diantar pulang olehnya,” ungkap Ari. “Apa?” Refal melotot melihat putrinya yang gelagapan itu. Gadis itu sampai gagu untuk memberikan alasan agar ayahnya yang sangat tegas itu percaya dengan dirinya daripada dokter Ari. “Ayah, di—dia bohong! Orang dia yang ngajak Rheana pergi kok. Hai, Anda jujur dong pakai bawa-bawa pacar saya segala,” tampik gadis itu yang menggenggam kedua tangannya. “Cukup, Rheana! Ayah lebih percaya sama dokter Ari daripada kamu yang sudah ribuan kali berbohong sama Ayah! Sekarang Ayah tanya, kalau ada pacar kamu ngapain dokter Ari ngajak jalan tunangan orang? Masih waras otak kamu untuk cari-cari alasan?” Refal menatap putri sulungnya dengan tajam. Bodoh banget kamu, Rhe! Ayah kan paling gak bisa aku bohongi. Awas kamu ya dokter dingin, aku bakalan bales kamu nanti! gerutu Rheana. Rheana pun meringis dengan menggaruk pipinya. “Yah, tapi dia ngajak aku jalan kok, tap—” “Ah, gak usah tapi-tapian kamu! Sekarang pacar kamu di mana? Ayah mau ketemu sekarang sama dia!” Anissa pun mengelus punggung suaminya itu. “Mas, sabar. Rheana kan baru pulang.” “Gak bisa, pokoknya Ayah mau menemui lelaki itu titik! Rheana cepat telepon lelaki itu!” pinta Refal dengan memaksa. Jemarinya merogoh tas kecilnya kembali, dia lupa ponselnya sudah tertinggal di restoran itu. “Yah, handphone aku ketinggalan,” ucap Rheana dengan gemetar. Refal pun memberikan ponsel miliknya. “Nih, pakai handphone Ayah.” Gadis itu pun menggeleng. Mana mungkin dia akan menghubungi orang yang sudah gila dengan dirinya. Namun, dia masih berpikir bagaimana cara untuk menolak agar tidak diberikan perpanjangan masalah dari ayahnya. “Rheana nggak mau, Yah,” tolaknya dengan panik. “Kenapa?” Refal semakin geram dengan sikap putrinya itu yang membuatnya semakin curiga besar dengannya. “Maaf Om, saya tidak bermaksud untuk mencampuri urusan dan tujuan dari keluarga Om. Sebenarnya, Rheana dikejar sama pacarnya untuk dipaksa dibawa ke hotel malam ini juga. Jadi, saya tidak sengaja menemukan Rheana yang sedang berlari dan mengantarnya sampai ke rumah.” Ari pun berusaha jujur, dia tidak peduli dengan Rheana yang akan marah atau bahkan mencaci maki dengannya kelak. Bagi Ari, orang tua Rheana sudah bersahabat dengan orang tuanya sejak lama. Jadi, dia lebih kasihan dengan orang tua gadis itu daripada Rheana yang sering kali membohonginya. “Apa?” respons Anissa dan Refal yang membulatkan kedua bola matanya. “Rhe, apa itu benar yang dikatakan dokter Ari?” Anissa memegang lengan putrinya itu. “RHEANA, JAWAB!” Refal pun berdiri seketika yang tak kalah emosi dengan putri sulungnya itu yang selalu membangkang perintahnya. Gadis itu pun menunduk dengan ketakutan. Tubuhnya begitu gemetar dengan keringatnya yang mulai menghiasi dahinya. Deru napasnya begitu bergemuruh saat kedua pundaknya terangkat dengan kompak. “I—iya, Ayah.” Refal mengangkat tangannya yang sudah kadung terbawa emosi dengan anaknya, akan tetapi Anissa pun segera menahan agar suaminya tidak menampar putri kesayangannya itu. “Mas, kita bisa ngomong baik-baik sama dia.” “Bun, dia gak suka diajak ngomong baik-baik. Makanya dia ngelunjak dan siapa yang rugi? Dia sendiri kan? Coba kalau tidak ada dokter Ari, gimana nasib anak kita yang sudah dibawa ke hotel sama lelaki b******k itu!” “Sedari dulu Ayah sama Bunda kamu sudah bilang jangan tunangan sama dia! Tapi apa, kamu ngeyel segitunya bela cinta lelaki b***t kayak dia. Sekarang persiapan pernikahan kalian itu tinggal satu bulan. Kamu sengaja mau malu-maluin kami dengan caramu seperti ini, Rheana?” Gadis itu pun menggelengkan kepalanya. Air matanya sudah membasahi pipinya. Dia sangat menyesal yang tidak mengikuti perintah orang tuanya untuk tidak menikah dengan pemuda yang sangat kurang attitude-nya. Gadis itu pun bersimpuh di bawah kaki ayahnya. Hanya cara itu yang dia lakukan, jika sedang dirundung masalah dengannya. Namun, Refal sebagai orang tua sangat bosan dengan putrinya yang bolak-balik membuat masalah keluarganya. “Ayah, a—aku minta maaf. Aku menyesal dengan semua ini.” Anissa pun tidak tega melihat putrinya yang bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari suaminya. “Mas, ayo bangunin anak kita. Dia masih memiliki kesempatan banyak selagi menyesali perbuatannya.” Refal berusaha untuk menetralkan deru napasnya. Tatapannya begitu lurus tak mau melihat putrinya untuk saat ini. Refal yang tidak membangunkan putrinya, Anissa pun segera mengangkat kedua pundaknya itu. Gadis itu pun segera memeluk Refal untuk mendapatkan satu kata yaitu ‘maaf’. Dia mengeluarkan air matanya di benak ayahnya yang selalu dia lakukan sejak kecil. “Ayah, maafin aku tolong. Aku janji setelah ini akan nurut lagi sama Ayah dan Bunda. Tapi, please kali ini aja maafin kesalahan aku yang mungkin menjadi terakhir kalinya,” ungkap Rheana dengan kejujuran hatinya. Lelaki paruh baya itu pun mengelus kepala anaknya itu. Dia pun sebenarnya tidak tega, jika memarahi putrinya itu. “Ya, Ayah maafkan untuk kali ini.” Gadis itu pun seketika berhenti menangis. Dia pun mendongak. “Beneran, Ayah maafin aku?” Refal pun melirik ke bawah lalu mengangguk. “Iya. Tapi, ada syaratnya.” Rheana pun melepaskan pelukan itu. jemarinya mengusap air mata dari pelupuknya. “Apa syaratnya, Yah?” “Kamu harus tetap menikah! Ingat, ini kesalahan kamu sendiri yang ingin menikah cepat tapi ujung-ujungnya gagal sama lelaki b******k itu,” sergah Refal. “Sama siapa, Yah? Satu bulan itu waktu yang sangat dekat untuk melangsungkan pernikahan, apalagi aku belum menemukan lelaki yang tepat,” elak Rheana. “Itu akan menjadi urusan Ayah sama Bunda. Sekarang, kamu bersih-bersih sana. Ingat tugas kamu di kantor Ayah masih banyak ya!” Gadis itu pun menghela napas lalu mengangguk. Sudah mendapatkan kata maaf saja sudah beruntung. Masalah jodoh dia pun masih bisa mencarinya kembali walaupun dengan waktu yang sangat mepet. Pagi harinya, gadis itu pun sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor sebelum terlambat. Gadis itu pun segera turun menuju ke dapur. Kedua bola matanya membulat dengan terkejut saat ada lelaki yang sangat dimurkai sedari malam, bahkan sampai mengganggu tidurnya karena sampai datang di mimpinya. “Hai, dokter dingin ngapain masih di sini?” “Kerja,” sahutnya dengan sinis. Gadis berjas hitam itu pun mengangkat kedua alisnya. “Dih, ngigo ya? Ini rumah saya bukan tempat kerja!” “Mulai sekarang, dokter Ari akan mengurus kakek kamu. jadi, dia bakalan stay di rumah kita terus,” ucap Anissa yang tiba-tiba datang. “What?” Rheana membulat dengan kaget. Bagaimana bisa harus satu rumah dengan orang yang sudah menyusahkan dirinya dan dimarahi ayahnya sendiri tadi malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD