Subuh, Azzam bangun untuk salat subuh. Azzam tidak tahu, apakah Naura juga orang yang rajin salat. Karena tidak ada tanda-tanda ke arah itu. Setelah salat subuh, Azzam keluar dari kamarnya. Ia ingin berolahraga sekedarnya, menggerakkan tubuh agar mendapat keringat. Itu salah satu cara untuk menjaga agar tubuhnya tetap sehat.
Azzam keluar dari kamar menuju halaman depan. Keadaan masih gelap dan dingin. Azzam menggerakkan tubuhnya di halaman.
"Selamat pagi, Tuan." Salah satu ART Naura menyapanya. Pria tua itu mengeluarkan mobil dari dalam garasi. Tampaknya ingin mencuci mobil itu sebelum digunakan.
"Selamat pagi, Pak." Azzam tersenyum menanggapi sapaan pria itu.
"Saya Azzam. Nama Bapak siapa?" Azzam mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan pria tua itu.
"Saya Timo." Timo menyambut uluran tangan Azzam.
"Alhamdulillah. Saya senang sekali di rumah ini ada tuannya lagi. Melihat Tuan berolahraga seperti ini, Saya jadi teringat ayahnya Non Naura." Mata patimu berkaca-kaca, saat mengaku teringat dengan mendiang ayahnya Naura. Bagi Azzam, itu menandakan kalau Pak Timo dekat dengan ayah Naura.
"Mendiang ayah Naura suka berolahraga juga?" Azzam mulai menyelidiki tentang latar belakang keluarga Naura. Meski hanya suami bayaran, tapi tentu harus mengetahui tentang keluarga Naura.
"Iya. Meski usianya sudah 65 tahun, tapi rajin berolahraga setiap hari. Ayah Non Naura sangat baik. Entah mengapa saudara-saudaranya tidak sebaik almarhum." Nada ada kecewa terdengar jelas dari suara Pak Timo.
"Saudara-saudaranya tinggal di mana?" Azzam bertanya penasaran.
"Ada yang di Bandung. Ada yang di Surabaya. Selama ini mereka tidak mau mendekatkan diri kepada Tuan, Nyonya, dan Non Naura. Saat Tuan, dan Nyonya meninggal barulah mereka datang. Itu pun ada tujuannya, ingin meminta harta warisan. Sungguh tidak punya perasaan." Tidak ada yang ditutupi oleh Pak Timo tentang kisah keluarga ayah Naura.
"Oh. Saya juga tidak tahu apa alasan mereka tidak mau jadi wali nikah. Harusnya saudara ayahnya yang menjadi wali nikah Naura." Rasa penasaran atas sikap saudara ayah Naura, membuat Azzam bertanya-tanya apa alasannya.
"Ayahnya Non Naura seperti dibuang dari keluarga. Tapi mereka datang saat ayah Non Naura meninggal. Karena merasa memiliki hak atas harta yang ditinggalkan." Pak Timo menambahkan cerita tentang saudara ayah Naura.
"Semoga setelah pernikahan kami, mereka tidak mengganggu Naura lagi." Harapan itu diucapkan Azzam tulus dari dalam hatinya.
"Saya rasa mereka tidak akan mudah menyerah. Pasti akan dicari-cari lagi alasan, untuk menghalangi Non Naura mempertahankan perusahaan. Saya bekerja di sini sejak Tuan dan Nyonya menikah. Mereka berdua benar-benar orang baik, jadi saya tidak mengerti kenapa keluarga ayah Non Naura bersikap buruk kepada nyonya dan Non Naura."
"Terkadang tidak menyukai seseorang tanpa harus ada alasan yang jelas." Azzam bergumam menanggapi cerita Pak Timo.
"Iya benar, Tuan. Semoga saja setelah ini menjadi damai."
"Apakah mereka sering datang ke sini, setelah orang tua Naura meninggal?" Tanya Azzam. Kalau kedatangan keluarga ayah Naura hanya untuk menuntut harta, pantas saja itu akan mengganggu kesenangan Naura.
"Ya. Mendesak Non Naura untuk menjual perusahaan. Padahal Non Naura sudah berulang kali mengatakan tidak akan menjual. Non Naura ingin mempertahankan perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya. Tapi mereka terus datang, tanpa tahu malu. Tidak ikut melakukan apa-apa, tapi ingin mendapat bagian yang tidak seharusnya." Nada kesal terdengar dari suara Pak Timo.
"Ternyata Naura sangat tertekan. Pasti tidak mudah menghadapi serbuan saudara ayahnya." Rasa kasihan jelas terdengar dari nada suara Azzam. Azzam memang tidak pernah hidup susah. Karena terlahir dari keluarga kaya. Tapi ia mengerti, bagaimana rasanya ditekan keluarga. Tak ada kata bahagia dalam menghadapi itu. Yang ada hanya ketegangan perasaan saja.
"Saya mohon Tuan bisa menjaga Non Naura dengan baik. Dia butuh sandaran, perlu orang untuk membagi perasaannya. Dia terlihat sebagai gadis yang tegar, tapi pasti ada luka hati yang dirasakan. Apalagi kekasihnya ada di luar negeri, sedang kuliah. Mereka tidak bisa sering berkomunikasi. Tolong bantu Non Naura." Pak Timo setulus hati meminta itu kepada Azzam. Karena tidak tega melihat Naura berada dalam tekanan saudara ayahnya.
"Oh seperti itu. Saya ada di sini untuk menjaga Naura. Semoga tidak ada perdebatan dan pertikaian lagi." Azzam berharap, pernikahan mereka, datangkan kedamaian. Tidak ada lagi perdebatan dan pertikaian. Untuk memperebutkan warisan.
"Aamiin."
"Maaf, Tuan aslinya orang mana?" Pak Timo saran dengan asal-usul Azzam.
"Saya orang Banjarbaru Kalimantan Selatan." Azzam tersenyum.
"Oh jauh sekali. Kenapa merantau ke sini?"
"Ingin merubah kehidupan saja. Istri saya sudah meninggal lima tahun lalu, karena gagal ginjal. Anak saya sudah besar, sudah bisa mengurus diri mereka sendiri." Azzam menceritakan secara singkat tentang keluarganya, dan alasannya pergi merantau ke Jakarta.
"Anaknya berapa, Tuan." Pak Timo kembali meneruskan keingintahuan.
"Dua orang."
"Non Naira tahu tentang ini?"
"Saya tidak bertanya. Mungkin sudah tahu."
Walau Naura tidak bertanya tentang keluarganya, tapi Azzam merasa pasti sudah diselidiki asal-usulnya. Untungnya, alamat yang di KTP, alamat yang sudah lama. Belum dirubah pindah ke rumah barunya.
Seorang ART wanita datang mendekati mereka.
"Maaf, Tuan.Tuan dipanggil Non Naura." Bibi mengatakan kalau Azzam dipanggil oleh Naura.
"Iya. Saya masuk dulu." Azzam berdiri di duduknya, dan berpamitan pada Pak Timo.
"Silakan." Pak Timo tersenyum ke arah Azzam.
Azzam melangkah masuk mengikuti langkah bibi yang memanggilnya. Naura ternyata menunggunya di ruang tengah. Sudah berpakaian untuk ke kantor.
"Selamat pagi." Naura yang menyapa Azzam melebihi dulu.
"Selamat pagi."
"Sudah waktunya bersiap-siap untuk pergi ke kantor." Naura menatap Azzam yang hanya memakai celana pendek dan kaos oblong tanpa lengan.
"Baik. Saya permisi ke kamar."
Azzam melangkah masuk ke kamar. Ia harus mandi dulu sebelum mengganti pakaian. Azzam mandi sebentar saja, lalu keluar dari kamar mandi.
Azzam mengambil pakaian yang sudah disediakan untuk nya. Masalah pakaian ini memang sudah mereka bicarakan. Azzam ingin pakaian yang nyaman untuk dikenakan. Tidak ingin menggunakan jas apa lagi dasi. Selama ia memimpin perusahaan, jarang menggunakan benda itu, kecuali kalau ada acara yang penting.
Azzam mengenakan kemeja warna biru muda, celana warna biru tua, selaras dengan pakaian yang dikenakan oleh Naura, sama-sama warna biru.
Azzam merapikan rambutnya. Menatap diri di cermin, meyakinkan kalau ia sudah siap untuk pergi. Azzam mengambil tasnya. Ada dompet dan ponsel saja di dalam sana. Lalu Azzam keluar dari kamar. Pintu kamar dikunci. Naura tidak ada lagi di ruang tengah, karena sudah berada di ruang makan untuk sarapan. Azzam menyusul ke sana.
Di atas meja makan sudah terhidang sarapan. Nasi putih, ayam goreng, tumis tahu, sawi, dan jagung. Azzam tak menyangka, kalau Naura menu makanannya sama saja seperti orang Indonesia lainnya. Ia pikir menu makan Naura, akan seperti orang bule, sebagaimana penampilannya. Rambut pirang, mata biru, kulit putih. Tidak terlihat darah Indonesia dalam diri Naura. Azzam berpikir apakah tampilan Naura yang bule asli, membuat keluarga ayahnya merasa, kalau Naura bukan anak ayahnya.
'Ah apa yang aku pikirkan. Tentu saja Naura anak ayah dan ibunya. Meski penampilannya tidak terlihat seperti orang Indonesia. Dari ujung kaki sampai ujung kepala penampilannya bule tulen. Tapi mengikuti wajah siapa, itu bukan maunya Naura. Tapi sudah ditakdirkan oleh Allah. Andai di tes DNA, aku yakin kalau Naura Putri ayahnya.'
"Silakan duduk. Kita sarapan dulu." Naura mempersilahkan Azzam untuk duduk.
"Terima kasih."
Azzam duduk di kursi yang berhadapan dengan Naura.
Azzam mengambil untuk sarapan. Azzam belum tahu, apakah Naura terbiasa ngobrol saat makan di meja makan, atau tidak. Karena masing-masing orang punya kebiasaan sendiri. Jika di keluarganya di mana pun berkumpul selalu ramai. Tak peduli itu di meja makan. Tapi di sini, melihat sikap diam Naura, Azzam ragu kalau di meja makan Naura terbiasa bicara. Sikap Naura tidak tampak seperti gadis dua puluh dua tahun. Tapi terlihat lebih dewasa dari usianya. Azzam berpikir mungkin masa sulit dua tahun ini yang mendewasakan Naura. Tidak mudah bagi gadis muda hidup sendiri tanpa orang tua di usia yang masih sangat membutuhkan perhatian.
Azzam belum bisa menilai, apakah Naura benar-benar gadis yang tegar, ataukah tegar karena tuntutan keadaan.
"Aku sudah selesai." Naura bangkit dari duduknya.
"Baik. saya juga sudah selesai." Azzam juga menyelesaikan sarapannya.
"Tunggu saya di luar."
"Baik." Azzam mengikuti apa yang dikatakan oleh Naura.
Azzam melangkah keluar dari ruang makan, langsung menuju halaman. Mobilnya sudah dikeluarkan, dan sudah dinyalakan oleh Pak Timo.
*