“Mobilmu jauh?” tanya Maximus.
“Tidak terlalu. Aku juga akan meminta bantuan pada pengendara yang lewat untuk memperbaiki mobilku. Jika mobilku sudah bisa dipakai, kau bisa ikut denganku ke apartemenku yang lebih layak. Aku akan merawatmu di sana.”
“Jangan, jangan membawaku keluar dari sini. Dan akan berbahaya jika kau bersamaku. Biarlah aku tetap di sini. Mungkin besok aku sudah membaik,” jawab Maximus lemah.
Zoe terdiam sejenak lalu mengangguk. “Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke apartemenku du nanti lalu kembali lagi kemari dengan perbekalan yang lengkap untukmu. Aku pergi dulu.” Zoe tersenyum kemudian beranjak dari sofa usang itu.
Maximus mengangguk, tapi matanya tetap terpaku pada Zoe dan tangannya menahan tangan Zoe. “Kau ...” dia mulai berbicara, namun ragu-ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kau adalah orang yang luar biasa, Zoe. Aku belum pernah bertemu seseorang sepertimu. Terima kasih.”
Zoe hanya tersenyum samar, merasa tersanjung tapi juga sedikit terkejut mendengar ucapan itu. “Aku hanya melakukan apa yang perlu kulakukan,” balasnya merendah. “Siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam situasi ini.”
Maximus menggeleng pelan, matanya tak pernah lepas dari Zoe. “Tidak, tidak semua orang sebaik dan setenang dirimu. Kau lebih dari sekadar baik. Kau ... sempurna. Kau sama sekali tak takut padaku meskipun kau tahu aku siapa.”
Kata-kata itu membuat Zoe terdiam sesaat. Ia tidak terbiasa dengan pujian seperti itu, terutama dari seseorang seperti Maximus.
Namun, dalam hati kecilnya, dia merasa hangat mendengar pengakuan itu.
Zoe menghela napas sembari tersenyum dan berdiri, “Terima kasih.”
Kemudian Maximus melepas tangannya dan Zoe berjalan ke arah perapian sebelum keluar dari sana.
Dia menambahkan beberapa kayu ke perapian agar api tetap menyala. “Aku akan membawakan makanan setelah ini. Kau perlu makan sesuatu agar kekuatanmu pulih,” ucapnya sambil berusaha mengalihkan topik.
Maximus tersenyum kecil, menyadari upaya Zoe untuk tetap fokus. Tapi di balik senyum itu, ia tahu satu hal pasti—Zoe bukan hanya penyelamatnya.
Dia adalah sosok yang perlahan-lahan akan meninggalkan jejak mendalam dalam hidupnya, bahkan setelah mereka keluar dari tempat ini.
“Bye, aku pergi dulu.” Lalu Zoe menuju celah pintu kecil di sudut atap dan keluar dari sana.
*
*
Pagi masih pekat ketika Zoe melangkah menjauh dari rumah tua itu, dinginnya angin bukit mengusap kulitnya dan membuat bulu kuduknya berdiri.
Rumah kosong yang dia tinggalkan di belakang kini hanyalah siluet kelam meskipun sinar mentari telah muncul di ufuk timur.
Ia berusaha menenangkan pikirannya sambil menyusuri jalan setapak berbatu menuju tempat mobilnya diparkir.
Sepanjang perjalanan, hanya suara angin dan gemerisik daun basah yang terdengar.
Zoe menarik napas panjang, mencoba mengusir ketegangan yang masih menggantung.
Ia hanya ingin sampai di mobilnya, mengambil makanan ringan untuk Maximus.
Setelah sekitar beberapa menit berjalan, akhirnya Zoe melihat mobilnya yang terparkir di tepi jalan bukit menanjak.
Ia mendekat dengan napas terengah-engah, merasa lega akhirnya sampai. Dan sebelum mengambil makanan riangam, dia masuk ke dalam dan mencoba memutar kunci kontak, mobilnya tetap tak mau menyala.
Zoe mencoba beberapa kali lagi, tetapi mesin hanya berderak lemah sebelum mati sepenuhnya.
"Astaga, tetap saja tak jalan," gumamnya frustrasi sambil memukul setir.
Ia memeriksa ponselnya, tetapi seperti yang sudah dia duga, tidak ada sinyal di sini.
Jalanan bukit ini sepi, dan pasti tak banyak orang lewat jalan ini. Zoe menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan diri kembali.
Ia memutuskan untuk menunggu, berharap ada mobil yang lewat. Zoe duduk di kursi pengemudi, memandang ke depan dengan cemas, setiap detik terasa seperti satu jam.
Udara pagi masih saja dingin dan gerimis mulai kembali datang, kabut mulai turun, melingkupi jalanan bukit dalam selimut putih tipis.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya suara mobil terdengar dari kejauhan.
Zoe langsung keluar dan melambaikan tangan. Mobil itu melambat dan berhenti di sampingnya.
Kaca jendela turun, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan senyum ramah di balik kemudi bersama istrinya yang ada di kursi penumpang.
"Butuh bantuan, Nona?" tanyanya dengan suara lembut.
"Ya, mobilku tidak mau menyala," jawab Zoe, merasa sedikit lega melihat seseorang akhirnya datang. "Sudah aku coba beberapa kali, tapi tetap tidak bisa."
Pria itu mengangguk dan turun dari mobilnya. "Biar aku lihat," katanya sambil membuka kap mesin mobil Zoe.
Dengan cekatan, dia memeriksa beberapa bagian mesin, lalu mengutak-atik kabel dan aki.
Zoe berdiri di sampingnya, menggigil kedinginan karena gerimis kembali datang, tetapi merasa sedikit tenang karena ada orang lain bersamanya.
"Sepertinya hanya masalah kecil," kata pria itu sambil tersenyum. "Coba nyalakan sekarang."
Zoe kembali ke kursi pengemudi dan memutar kunci. Dengan sekali putaran, mesin mobilnya menyala.
Suara mesin yang akhirnya hidup terdengar seperti musik di telinganya. Zoe menghela napas lega dan tersenyum lebar.
"Terima kasih banyak," katanya tulus dan lega.
Pria itu mengangguk ramah sambil menutup kap mesin. "Senang bisa membantu. Tapi sebaiknya kau segera pergi dari sini," katanya, wajahnya tiba-tiba tampak serius. "Bukit ini cukup rawan, karena sangat sepi. Tidak aman sendirian.”
Zoe merasakan nada peringatan dalam suaranya, tetapi ia hanya mengangguk sopan. "Aku akan segera pergi. Terima kasih lagi atas bantuannya."
Pria itu tersenyum tipis, lalu kembali ke mobilnya dan melaju pergi, meninggalkan Zoe sendirian di tepi jalan. Zoe menatap mobil pria itu hingga hilang di tikungan, lalu menarik napas panjang.
Namun, meskipun dia sudah diingatkan untuk segera meninggalkan bukit itu, Zoe tidak langsung pulang. Karena ada Maximus yang membutuhkan bantuannya.
Pria itu masih terbaring di rumah kosong tadi, terluka dan lemah.
Alih-alih memberikan makanan ringan pada Maximus, Zoe justru memutuskan untuk pergi ke restoran kecil yang dia lewati kemarin.
Perjalanan hanya memakan waktu sepuluh menit. Begitu sampai, dia memesan makanan sederhana namun banyak agar bisa dimakan oleh Maximus sampai malam hari.
Dia juga memesan seporsi sup hangat dan roti, berharap itu bisa membantu Maximus pulih sedikit.
Restoran itu sepi, hanya ada satu pasangan tua di sudut ruangan. Zoe duduk di meja dekat jendela sambil memikirkan langkah selanjutnya.
Setelah membayar pesanannya, Zoe kembali masuk ke mobil. Jalanan bukit masih sunyi, tetapi Zoe kembali ke rumah besar tempat Maximus berada.
Meskipun sudah pagi, namun langit kembali gelap dan matahari tak nampak lagi karena tertutup awan gelap.
Zoe menyalakan lampu mobilnya dan menyinari fasad bangunan usang rumah yang sudah penuh lumut itu.
Zoe meraih kantong berisi makanan dari kursi penumpang, lalu keluar dari mobil dengan hati-hati.
Rumah itu tampak lebih menyeramkan karena kini Zoe bisa melihat jelas setiap sudutnya, tetapi Zoe menepis perasaan takut itu.
Saat dia membuka pintu kayu besar yang berderit, aroma lembap langsung menyergap hidungnya.
Zoe berjalan melewati lorong panjang dengan langkah hati-hati.
Di ujung lorong, dia menuju ke sebuah pintu celah yang kecil di bawah lantai untuk masuk ke area ruangan bawah tanah di mana Maximus berada.