Kissing You

1394 Words
Maximus hanya menatap Zoe dengan senyum tipis, mendengar pengakuan bahwa Zoe mungkin tertarik padanya. Rasa terkejut Zoe yang mendadak terbuka soal perasaannya justru membuat Maximus tersenyum santai, seolah pengakuan itu tak terlalu mengejutkannya. Namun, dia tidak menanggapi lebih lanjut, hanya kembali duduk di sofa tua yang sudah usang dan mengalihkan topik pembicaraan. “Bisakah kau membelikanku perlengkapan mandi?” ucap Maximus, suaranya terdengar pelan. “Rasanya tubuhku sudah sangat kotor setelah beberapa hari dalam pelarian seperti ini.” Zoe tersenyum kecil, meskipun dia sedikit kesal karena Maximus sudah membuatnya salah tingkah, tanpa ada reaksi yang berarti dari pria itu. Tapi dia tak bisa menyangkal bahwa pria di hadapannya memang benar-benar tampak lelah dan perlu membersihkan diri. “Aku selali sedia segala perlengkapanku di mobil, termasuk perlengkapan mandi. Aku akan mengambilnya.” Zoe berbalik dan segera naik ke atas. Ketika tiba di atas, Zoe terdiam sejenak. Dia seharusnya tak sampai terbawa suasana sahdu bersama Maximus. Lagi pula, seorang pria seperti Maximus tak akan tertarik pada dokter kolot sepertinya. Maximus pasti memilik banyak wanita cantik nan seksi yang selalu menemaninya di luar sana. “Kau harus menjaga sikapmu, Zoe,” gumam Zoe pada dirinya sendiri. Lalu wanita itu kembali melangkah menuju mobilnya. * * Ternyata, beruntung sekali Zoe yang selalu membawa banyak perlengkapan di mobilnya, bahkan perlengkapan mandi pun tersedia. Ia merogoh tas besar yang dia letakkan di kursi dekat pintu bagasi, mencari perlengkapan mandi yang bisa diberikan pada Maximus. Setelah mendapatkannya, Zoe langsung kembali ke ruang bawah tanah. * “Ini, semua yang kau butuhkan,” katanya sambil menyodorkan sabun, sampo, dan handuk kecil pada Maximus. Namun, sebelum Maximus sempat mengambilnya, Zoe melangkah cepat ke arah kamar mandi kecil di rumah tua itu pas di dekat tangga ruangan bawah tanah. “Sebentar, aku cek dulu apakah masih ada air yang mengalir,” ujarnya sebelum menghilang ke dalam kamar mandi. Maximus hanya memperhatikan Zoe yang berlalu. Di dalam kamar mandi, Zoe menatap bathtub tua dengan teliti. Meskipun ruangan itu sudah tidak terpakai dalam waktu lama, air di dalam bathtub tampak jernih, meskipun ada beberapa batu di dasarnya, menambah kesan usang dan tidak terawat pada kamar mandi itu. Namun, air itu tampak bersih, mungkin karena tidak ada yang menggunakannya selama beberapa lama. Zoe kemudian melangkah ke arah wastafel dan memutar kran dengan pelan. Terdengar suara gemuruh kecil saat air mulai mengalir, tanda bahwa tandon di bagian atas rumah tua itu masih bekerja dengan cukup baik. Dia menduga air hujan yang mengisi tandon itulah yang membuat persediaan air tetap ada, meskipun rumah ini sudah lama tidak dihuni. Ia mengangguk kecil, lega mengetahui bahwa airnya masih bersih dan bisa digunakan. Tapi sebelum Maximus masuk, Zoe memutuskan untuk sedikit membersihkan kamar mandi tersebut. Ia meraih kain basah dan membersihkan beberapa bagian kamar mandi yang terlihat sangat berdebu dan kotor. Tak lama kemudian, dia merasa ruangan itu cukup bersih, meskipun jauh dari kesan modern atau nyaman. Setelah selesai, Zoe kembali ke ruangan bawah tanah dan memanggil Maximus. “Oke, kamar mandinya sudah siap. Airnya masih mengalir, jadi kau bisa mandi meskipun mungkin airnya tak terlalu bersih,” ujarnya, memberikan perlengkapan mandi itu pada Maximus. Maximus menerima perlengkapan itu dengan anggukan singkat. “Terima kasih, Zoe. Sepertinya kau benar-benar siap untuk situasi apapun dengan semua barang yang kau bawa,” komentarnya sambil tertawa kecil. Zoe tertawa kecil, menyadari betapa seringnya dia membawa barang-barang berlebihan. “Aku hanya terbiasa siap sedia. Hidupku penuh kejutan, sama seperti bertemu denganmu,” balasnya, mencoba terdengar santai. Maximus hanya tersenyum sebelum beranjak menuju kamar mandi dengan dituntun oleh Zoe ke tangga. “Meskipun lukamu sudah kututup dengan plester anti air, tapi jangan sampai terkena air terlalu basah, karena belum terlalu kering. Oke?” ucap Zoe. “Baik, Dokter,” jawab Maximus dan Zoe hanya tersenyum saja. Saat Maximus melangkah masuk dan menutup pintu, Zoe mendengar suara air mulai mengalir. Ia duduk di anak tangga, menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan yang mulai rumit sejak pengakuannya tadi. Zoe menyadari bahwa dia semakin terikat pada Maximus, meskipun dia tahu bahwa pria itu memiliki kehidupan yang penuh misteri dan bahaya. Saat menunggu, Zoe menatap sekeliling ruangan tua itu. Rumah ini memang tampak menyeramkan, tapi entah kenapa dia merasa nyaman. Ia juga merasa sedikit tenang dengan adanya Maximus di sini. Pria itu, dengan segala ketenangan dan kepercayaan dirinya, membawa suasana yang membuat Zoe merasa nyaman, meski Maximus sedang berada dalam pelarian. Setelah hampir setengah jam kemudian, Zoe mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Maximus keluar dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya, rambutnya masih basah. Dia terlihat lebih segar dan sangat berbeda, karena garis wajahnya yang tegas terlihat lebih jelas dan tatapan matanya kembali tajam. “Aku akan membuat sarapan,” kata Zoe sambil menuruni anak tangga karena dia melihat langkah kaki Maximus yang sudah terlihat stabil dan tak perlu dituntun lagi. Namun, Maximus menahan tangan Zoe dan membuat wanita itu berbalik menatapnya. “Ada apa?” tanya Zoe. “Cari tahu pemilik rumah ini, lalu belilah atas namamu. Aku yang akan membayarnya. Itu akan lebih aman untukku,” kata Maximus. Zoe mengernyit. “Kau bercanda?” “Tidak, aku punya alasan melakukan ini.” Zoe tampak terdiam dan berpikir sejenak. Lalu dia mengangguk. “Baiklah. Apakah kau berencana tinggal lama di sini?” Maximus tersenyum lalu melangkah lebih mendekat, “Kau ingin aku tinggal lama di sini?” Zoe menatap mata tajam itu tanpa rasa canggung. “Mungkin.” Ya, jawaban itu kembali keluar dari mulut Zoe dan membuat Maximus tersenyum miring. * * Di tengah ruangan yang hening itu, Maximus semakin mendekatkan wajahnya pada Zoe, menatap lurus wajah cantik wanita itu yang masih tampak bening meskipun tanpa riasan. Dia terpesona pada kecantikan Zoe yang sederhana, kecantikan yang tidak dibuat-buat, alami, dan menyenangkan untuk dilihat. Jantung Zoe berdebar ketika dia melihat bibir Maximus semakin dekat ke arahnya bibirnya. Zoe tidak bergerak, namun tatapannya beralih ke bibir Maximus, sedikit gelisah. Tapi dia tetap tidak menepis kedekatan Maximus. Ia hanya menatap balik, seakan-akan pasrah dan membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu. Maximus yang menangkap isyarat itu kemudian merendahkan wajahnya perlahan, hingga bibirnya hampir menyentuh bibir Zoe. “Kau menginginkan ini?” bisik Maximus. “Bagaimana denganmu? Kau menginginkannya?” balas Zoe dengan berani. Dalam sekejap, Maximus menyentuhkan bibirnya pada bibir Zoe, sangat lembut, seolah takut merusak keheningan yang melingkupi mereka. Sentuhan itu membuat perasaan yang tersembunyi di dalam hati mereka seakan terbangun, menggeliat, dan mulai menuntut lebih. Maximus bisa merasakan detak jantung Zoe yang berdebar kencang, seolah-olah seluruh kegugupan dan keraguannya memancar hanya lewat detakan itu. Maximus tersenyum di antara ciumannya. Ia tahu bahwa Zoe mungkin tidak akan bisa menolak pesonanya—pesona yang selama ini selalu berhasil melumpuhkan siapa pun yang berada di dekatnya. Namun, anehnya, kali ini ada perasaan berbeda. Perasaan bahwa ciuman ini bukan hanya soal melumpuhkan hati seorang wanita, tapi soal merasakan kedekatan yang lebih dalam, kedekatan yang terasa nyata, dan melibatkan seluruh dirinya. Ia mulai memperdalam ciuman itu dengan lembut, memagut bibir Zoe pelan-pelan, tidak terburu-buru, seolah ingin menikmati setiap detik dari keintiman ini. Zoe, yang pada awalnya merasa canggung dan gelisah, mulai menikmati ciuman itu dan membalasnya dengan meniru apa yang dilakukan oleh Maximus. Zoe membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang tidak pernah dia duga akan dia rasakan bersama Maximus—seorang mafia yang masih penuh misteri baginya. Bibir mereka saling bersentuhan, seolah berbicara tanpa kata, mengekspresikan semua perasaan yang selama ini mereka simpan dalam setiap pertemuan mereka. Maximus menyentuh pipi Zoe dengan lembut, jemarinya mengusap kulitnya yang halus, mempererat kedekatan mereka. Ciuman itu terus berlanjut, tidak ada kata-kata, hanya perasaan yang semakin tumbuh dan mengalir di antara mereka. Ketika akhirnya ciuman itu berakhir, Maximus perlahan-lahan melepaskan bibirnya, menatap Zoe dengan senyuman yang penuh makna. Zoe membuka matanya perlahan, seakan masih terhanyut dalam kebahagiaan yang baru saja mereka bagi. Wajahnya sedikit memerah, dan matanya berkilau, menggambarkan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Maximus menyentuh dagu Zoe dengan lembut, mengangkat wajahnya agar mereka bisa saling bertatapan. “Menurutmu, hubungan apa yang ada di antara kita?” “Hubungan yang tak terikat. Aku lebih suka menyebutnya seperti itu karena kita tetap tak akan merasa terbelenggu meskipun berhubungan. Kita saling tertarik, dan kau menyadari itu juga, kan? Dan … aku tak ingin menepis rasa ini,” papar Zoe jujur dengan suara lirih namun tegas. Mendengar ucapan Zoe, membuat Maximus kembali memagut bibir Zoe dengan lebih dalam. Tangannya bahkan menekan tengkuk leher Zoe hingga ciuman mereka semakin menuntut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD