Bab 4 Cemas

1684 Words
Hari minggu sebenarnya adalah hari libur bagi Dewa, namun sayangnya kali ini ia tak bisa mengistirahatkan dirinya karena Steven terus merengek ingin ditemani pergi ke Timezone. Dewa sebenarnya merasa sangat lelah, apalagi kondisinya agak kurang fit, ditambah lagi perang dingin dengan Anna, membuat pikiran Dewa menjadi semakin tidak karuan. Namun Dewa tetaplah Dewa, ia tidak bisa menolak keinginan cucu kesayangannya itu. Apalagi Steven sangat butuh sosok ayah yang tidak pernah ia dapatkan sejak lahir gara-gara keegoisan Diora. Dewa mana tega melihat cucunya bersedih, kesedihan Steven seolah bagaikan cambukan untuk Dewa. Dewa sebelumnya tidak pernah merasakan ini, merasakan perasaan terabaikan dan tak dipedulikan oleh seseorang. Biasanya Dewa akan cuek-cuek saja, namun kali ini kenapa hatinya terasa sangat gundah gulana. Sudah tiga hari Anna mengabaikannya, bahkan tak pernah mau bicara. Bicara pun hanya sesekali itupun karena terpaksa. Tidur mereka tetap terpisah, dan selama itu Anna terus saja menyiksa Dewa dengan penampilan seksinya yang sangat menggoda. Bohong jika Dewa tidak tergoda, setiap Subuh Dewa bahkan selalu mandi air dingin untuk meredam segala hasratnya. Itu sebabnya kenapa sekarang tubuhnya terasa meriang, kepalanya agak pusing dan hidungnya pun seperti tersumbat. Benar-benar tidak nyaman. "Ayo opa kita berangkat, berdua aja sama Ama, nggak usah sama mama." Rengek Steven dengan jurus puppy eyes andalannya. "Kita berdua saja, Ama sedang sibuk, ayo!" Karena tak tahan mendengar rengekan Steven, Dewa pun segera membopong tubuh kecil cucu kesayangannya itu. "Sama Ama aja opa..." Steven terus merengek dan memukuli d**a Dewa. "Stev... Tolong mengerti, Ama sedang sibuk, jangan membuat opa marah!" Suara Dewa yang agak tinggi membuat Steven langsung berkaca-kaca. "Nggak seru..." Steven mulai terisak, hal itu membuat Dewa menghela nafas kesal. "Oke-oke, ya sudah." Dan akhirnya Dewa pun mau tak mau harus menuruti permintaan Steven supaya cucunya itu tidak menangis. Steven pun mulai tersenyum manis, saat sang kakek membawanya kepada Anna yang sedang menonton TV, senyuman Steven menjadi semakin lebar. "Anna!" Panggil Dewa pada istrinya. Dewa sebenarnya sangat tak enak hati, namun mau bagaimana lagi, semua ini demi cucu kesayangannya. "Hm?" Hanya itu respon Anna, gadis itupun menatap suaminya dengan enggan. "Bisa minta tolong?" Dewa tampak ragu. "Ama, aku mau ke Timezone sama opa, Ama ikut yah..." Pinta Steven pada Anna. Anna pun sempat terdiam sesaat. Bingung harus bagaimana menanggapi permintaan Steven, ia dan kakek bocah itu sedang perang dingin, lalu sekarang Anna disuruh untuk jalan berdua bersamanya, bagaimana bisa? "Maaf sayang, tapi Ama lagi males. Kamu sama opa aja yah. Ama capek banget nih, kemarin habis pemotretan bikini." Anna sengaja memperjelas ucapannya untuk memanas-manasi Dewa. Dan benar saja, Dewa langsung menatap Anna dengan tatapan tajam seolah meminta penjelasan dengan ucapan yang barusan Anna lontarkan. "Ama kerja juga ya kayak opa?" Tanya Steven dengan nada polos. "Iya sayang." Balas Anna singkat. "Kenapa harus kerja? Kan opa bisa kasih Ama uang. Biar opa aja yang cari uang, Ama di rumah aja sama aku." Perkataan Steven barusan hanya ditanggapi senyuman oleh Anna. "Ama capek stev, kita pergi saja sendiri." Karena sepertinya Anna enggan untuk ikut, dan Dewa tidak mau kelihatan mengharapkan Anna, maka ia memutuskan untuk segera pergi saja. Dan setelah semua ini selesai, Dewa ingin sekali segera beristirahat. "Opa!!!" Pekik Steven dengan begitu keras seraya memukuli punggung Dewa. "STEV! Please..." Karena kesal dengan ulah Steven yang terus memberontak didalam gendongannya, Dewa pun lepas kendali, ia membentak Steven, dan Steven pun semakin menangis histeris. Melihat itu, Dewa langsung menurunkan Steven mencoba menenangkan dan membujuknya. "Maafkan opa, opa sedang lelah, apa kamu tidak kasihan dengan opa? Opa mohon nurut sama opa ya... Kita pergi sendiri, nanti kamu bisa minta apapun yang kamu mau ya..." Bujuk Dewa dengan penuh permohonan, Steven yang melihat wajah melas kakeknya pun jadi tak tega, tangisannya mulai berhenti, dan Steven akhirnya mengangguk menurut pada Dewa yang kini bisa bernapas lega. "Mau beli Track Loader yang merk Komatsu." Pinta Steven dengan nada memelas. "Bukannya alat berat koleksi kamu masih lengkap? Terakhir opa pernah belikan Track Loader yang ada remot kontrolnya." "Udah rusak, remotnya dibanting sama mama." Adu Steven dengan nada kesal. Dewa pun menghela nafas berat. "Pokoknya aku mau yang merk Komatsu, yang harganya mahal." Rengek Steven. Dewa lantas tersenyum geli mendengarnya. "Tidak sekalian beli yang asli saja?" "Opa!!!" "Iya-iya, terserah mau beli apa. Ayo kita berangkat sekarang." Dewa pun segera meraih tangan Steven, mereka akhirnya hanya pergi berdua saja. Steven lantas menoleh kebelakang, menatap Anna dengan tatapan memelas. Anna sendiri kini merasa gelisah, ada sebagian hatinya merasa iba pada Steven dan kasihan melihat wajah pucat suaminya. Namun ego Anna segera meguasai pikirannya. Anna tak boleh luluh begitu saja hanya karena melihat Dewa dan Steven. Anna harus tetap pada pendiriannya, ia tak boleh luluh begitu saja dan menjadi wanita plin plan dihadapan Dewa. *** Dua jam berlalu, Dewa dan Steven masih belum pulang padahal langit mulai mendung. Saat ini memang sedang musim hujan dan setiap saat hujan bisa saja tiba-tiba datang. Entah kenapa Anna jadi makin tak tenang, padahal bisa saja ia cuek dan tak peduli dengan Dewa. Namun sayangnya, sekuat apapun Anna berusaha untuk bersikap tak peduli, tapi tetap saja ia tak bisa mengabaikan bayang-bayang wajah melas Dewa. "Bu! Makan siang udah siap." Ujar salah satu pembantu bernama Sri pada Anna. "Oh, iya mbak. Sebentar lagi saya makan, saya mau nunggu bapak dulu." "Tapi non Diora sudah makan duluan Bu, sup ayam yang ibu masak untuk bapak tadi dimakan sama dia." Ucapan Sri barusan membuat Anna langsung menghela nafas kesal. "Orang itu nggak tau malu banget." Gumam Anna dengan kesal. "Ya udah mbak biarin aja, mungkin bapak udah makan diluar." "Iya Bu. Oh ya Bu, bapak biasanya konsumsi madu. Tapi persediaan madu udah habis, biasanya bapak dapat kiriman dari mas Damian." Adu Sri pada Anna. "Damian?" Anna tampak bingung, tak biasanya ia dapat aduan dari pembantu seperti ini. Sri benar-benar sudah menganggapnya nyonya di rumah ini, dan Anna cukup tersanjung dengan itu. "Iya, anak bapak yang nomor dua. Adiknya non Diora, mas Damian sekarang tinggal di Amerika. Biasanya dua bulan sekali kirimin madu, tapi ini udah tiga bulan nggak ngirim-ngirim." "Emang kenapa kalau bapak nggak minum madu?" Tanya Anna penasaran. "Bapak itu pekerja keras Bu, meski usia udah lanjut, tapi kalau kerja suka nggak kenal waktu." Ucapan Sri barusan langsung dibenarkan oleh Anna dalam hati. Dewa memang sangat workaholic, tak heran jika perusahaan miliknya begitu besar dan terus berkembang. "Makanya sejak dulu bapak sering konsumsi madu untuk jaga stamina, mungkin karena terbiasa makanya kalau madunya telat, bapak suka sakit. Dan kalau sakit, saya suka kasihan Bu." "Emangnya kenapa mbak?" "Kalau sakit bapak nggak ada yang urus." "Diora? Bukannya dia tinggal disini udah enam tahunan?" "Maaf Bu bukannya saya mau ngomongin majikan, tapi mulut saya rasanya udah gatel pengen ngomong. Selama tinggal disini, non Diora itu udah kayak nyonya besar. Semuanya dia yang atur, dari mulai makanan, cucian, kebersihan, pokoknya dia yang kendalikan." 'Oh pantesan.' gumam Anna dalam hati. "Semua pembantu di rumah ini sebenarnya sangat tertekan gara-gara sikap otoriter non Diora, tapi kita semua takut dipecat kalau sampai ngadu sama bapak. Dia itu bisanya cuma nyuruh-nyuruh aja, marah-marah sama bentak-bentak. Ibu lihat mas Steven kayak lebih sayang dan nggak mau lepas sama bapak, itu karena sejak bayi bapak yang selalu ngurus mas Steven, dari mulai mandi, makan, tidur, semuanya bapak yang urus. Non Diora cuma makan tidur aja sama marah-marah doang. Kalau bapak capek dan jatuh sakit, bukannya dirawat, tapi non Diora malah pergi nggak pulang-pulang. Pernah bapak waktu demam tinggi tapi masih sempet-sempetnya nganterin mas Steven sekolah, mandiin, nyuapin. Pokoknya hidup bapak nggak ada seneng-senengnya dari dulu Bu, saya udah dua puluh tahun kerja disini jadi saya tau." Penjelasan Sri barusan membuat Anna semakin tak percaya dibuatnya. Bagaimana mungkin Dewa yang terlihat begitu berwibawa dan dingin ternyata kehidupannya sungguh miris seperti itu. "Masak sih mbak?" Anna mencoba memastikan siapa tau Sri sedang berbohong, namun sepertinya wanita empat puluh tahun itu benar-benar jujur dan sedang tidak berbohong. "Benar Bu, saya nggak bohong. Bapak itu emang kayak kelihatan jahat diluarnya Bu, tapi sebenarnya bapak itu baik dan penyabar. Cuma emang kalau lagi capek, bapak kadang suka marah-marah. Dulu sebelum nyonya Ratna meninggal karena sakit Diabetes, bapak yang selalu siaga untuk rawat nyonya. Mandiin, suapin, ganti popok bahkan buang kotorannya. Tapi nyonya masih aja suka marah-marah dan maki-maki bapak. Bapak diem aja nggak pernah balas makian nyonya, dimata mendiang nyonya, bapak selalu aja salah, bahkan pernah dituduh selingkuh, tapi bapak itu pria setia, bapak nggak pernah sekalipun main perempuan. Kasihan Bu jadi bapak, kadang saya suka nangis kalau inget-inget dulu. Saya pengen lihat bapak bahagia, bapak udah baik banget sama saya. Saya selalu berdoa semoga bapak bisa dapat wanita yang tepat, yang perhatian dan sayang sama bapak. Usia bukan masalah, yang penting dia tulus sama bapak. Dan saya lihat, ibu perhatian banget sama bapak sampai mau masak segala. Padahal dulu nyonya nggak pernah masak untuk bapak, selalu saya yang masak." Penjelasan Sri barusan membuat Anna jadi tak tenang. Gelisah memikirkan Dewa, Anna jadi merasa iba, tak mengira jika selama ini Dewa begitu menderita. "Saya berharap besar sama Bu Anna, disisa usia bapak, saya pengen lihat bapak benar-benar bahagia, dihargai sebagai suami, dicintai dan dikasihi oleh istrinya. Bapak emang begitu Bu, kelihatannya aja dingin, sok-sokan kayak orang jahat, padahal dia baiknya minta ampun." Anna pun hanya tersenyum saat mendengarnya, tak mengerti harus bersikap apa. "Nanti tolong bilang sama bapak kalau persediaan madu udah habis ya Bu, bapak suruh hubungi mas Damian, biar segera dikirim." Pinta Sri pada Anna. "Emangnya kalau madu lokal dia nggak mau?" Tanya Anna penasaran. "Nggak tau juga Bu, soalnya belum pernah lihat bapak konsumsi madu lokal." "Ya udah nanti saya bilang sama bapak." "Iya Bu, kalau gitu saya permisi ke dapur dulu!" Pamit Sri. "Iya mbak." Angguk Anna, lalu Sri pun segera pergi meninggalkan Anna. Kini Anna terlihat semakin gelisah, ditambah hujan mulai turun membuat kegelisahannya semakin bertambah. Baru saja ia memutuskan untuk tak peduli dengan Dewa, tapi setelah mengetahui fakta tentang Dewa, kini Anna jadi merasa bimbang, merasa iba dan merasa kasihan pada Dewa. Apa yang harus Anna lakukan sekarang? Haruskah ia tetap pada egonya atau ia akhiri saja perang dingin ini? "Huhhh... Dasar pak tua, sekarang aku malah bingung harus gimana." Keluh Anna dengan nada kesal dan helaan nafas berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD