3. Sebongkah penyesalan.

1058 Words
Sebuah mobil melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Seperti di kejar waktu, Akmal melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit terdekat. Jemarinya mencengkeram erat kemudi, Napasnya memburu karna merasa luar biasa takut, beberapa titik darah menodai kemeja cerahnya dan bagian sudut lengan. Sesal .... Sesal mendera ketika ia mendapati Andini tak berdaya di bawah kebrutalan tindakannya yang telah menyiksa Andhini. Di bangku belakang, Andhini nampak kepayahan dengan napasnya yang mulai tersengal. Air mata bercampur darah di sisi wajahnya, menunjukkan betapa menyedihkannya Dhini saat ini. Di samping Dhini, Arini nampak cemas menggenggam tangan Dhini yang dingin dan berkeringat. Sekedar untuk menepis saja, Dhini sudah tak kuat lagi. "Lakukan lebih cepat lagi, mas. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada Dhini dan bayinya. Kumohon, jangan buang waktumu. Anakmu dan ibunya butuh pertolongan segera." Suara Arini nampak panik ketika napas Dhini tengah terputus-putus. Kemarahan yang tadi berkobar, kini Solah lenyap seketika. Akmal makin menegang mendengarnya. "Kumohon Andhini..... Bertahanlah," Lirihnya. Air mata yang tadi telah berhenti mengalir, kini kembali lolos dari mata Akmal. Membayangkan andai sesuatu terjadi pada Andhini dan calon bayinya, membuat Akmal kalut luar biasa. "Ya Tuhan. Mengapa harus seperti ini?" Arini terisak kembali, mengamati kondisi Dhini yang mengenaskan. "Beb ... ber-berhenti ...." Suara Andhini semakin lirih di telan angin. "I ... ini ke-kesempatan ka ... kalian .... Bu...bunuh sss saa saja aku seka ... rang. Aaku ... tak la ... gi pa ... pantas hi..dup. Aaaa ...aaku lelah." "Ku mohon Andhini, bertahanlah. Kita selesaikan dengan bicara baik-baik setelah ini," Suara Akmal semakin terisak. Arini memperhatikan suaminya yang kacau kali ini. Selama berumah tangga, ia tak pernah mendapati suaminya dalam keputuss asa'an seperti ini. Dan yang lebih membuat Arini hancur adalah, Ada pendar cinta di mata Akmal ketika menatap Andhini. Saat tadi Akmal dengan ganas menyerang Andhini dan menyiksanya, Akmal seperti orang kalap yang kemudian menyesali perbuatannya. Wajah yang tadinya menggelap penuh amarah, kini berganti seperti wajah yang tengah terluka. Mendapati hal ini, wanita mana yang tak merasakan sakit di hatinya? Tentu saja lebih dari sekedar hancur. "Aaaa-aku ti ... tidak ku ... at." Tangis Dhini semakin dalam hingga napasnya terhenti beberapa saat. Wajah dan bibirnya mulai membiru. Matanya semakin memerah, melebar karna tak tahan dengan sakit yang menderanya. "Mas ... Ya tuhan, apa yang terjadi pada wanita ini. Mas cepat ...." Arini histeris seketika. Luar biasa panik dan tak berdaya. Hingga mobil memasuki pelataran rumah sakit, Akmal berteriak memanggil petugas rumah sakit yang berjaga. Segera saja Dhini di keluarkan dari mobil, di rengkuh dan di bawa dalam gendongan Akmal untuk di pindahkan ke brankar rumah sakit. Petugas pun segera membawa Dhini ke ruang UGD. ** Akmal menunggu di ruang operasi dengan cemas. Ia melirik pergelangan tangannya yang tersemat jam tangan dari brand ternama. Jam menunjukkan pukul 20.50. Andhini masih berada di ruang operasi. Kondisi kandungannya sudah sangat rentan. Bayinya bisa saja meninggal bila tak segera di keluarkan. Dua jam lalu, dokter memberinya pilihan yang sulit. Benturan keras yang terjadi pada punggung Dhini, membuat bayinya mau tak mau harus di keluarkan dengan cara sesar. Maka, mau tak mau Akmal harus menyetujui tindakan operasi pada Dhini sebagai Penanggung jawab. Kelegaan sekaligus kedukaan datang bersama ketika sebuah fakta tentang bayi Dhini. "Bayi pertama laki-laki, tuan. Sehat dan tak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi ...." "Katakan ada apa, dokter?" Akmal penasaran dengan kalimat dokter yang menggantung. "Bayi perempuan anda yang ke dua, tidak dapat bertahan. Kami telah melakukan upaya penyelamatan semaksimal mungkin, akan tetapi takdir tuhan tak mengijinkan putri anda untuk tumbuh bersama putra anda." Bak petir yang menggelegar keras dalam hati Akmal. Ia seperti di hantam Beban ribuan pound seketika itu juga. Mata Akmal kembali memanas dan air matanya luruh seketika. "Ja ... jadi ...." "Tabahkan hatimu, tuan. Masih ada seorang putra yang selama ini anda nantikan. Dia juga butuh kasih sayang seorang ayah." Sang dokter menyadari betapa terlukanya seorang ayah yang harus di tinggal mati bayi mungilnya yang menggemaskan. Apa lagi, Akmal belumlah sempat menggendong sang bayi dengan penuh kasih sayang. Kehancuran Akmal kembali ia rasakan, ketika dokter juga menyampaikan bahwa keadaan Dhini yang kritis. Penyesalan tak lagi berguna ketika hal buruk telah terjadi. Dan sesal tak akan datang bila kita masih berada di zona nyaman. Maka, ia harus menguatkan hatinya untuk menyongsong hari esok. Usai operasi, dokter tak mengijinkan siapapun untuk menunggui Andhini. "Apa ibunya ...?" Arini tak melanjutkan kalimatnya. Ada banyak tanya yang menari indah di otaknya. Bukan tanpa alasan. Meski Arini membenci Dhini karna Dhini adalah wanita simpanan suaminya, namun melihat Dhini babak belur di hajar Akmal, membuat sisi manusiawi Arini meronta luar biasa kuat. Andai saja Arini tak datang tepat waktu, mungkin tadi Akmal telah menghajar Dhini hingga tewas. Sebenci apapun Arini terhadap Dhini, ia tetap memiliki hati dan rasa iba saat melihat wanita yang sedang hamil tua di hajar sedemikian rupa. "Untuk kondisinya, kami belum bisa memastikan. perbanyak doa saja kepada Tuhan, nyonya. Keselamatannya bergantung pada keajaiban tuhan. Pasien bukan hanya fisik luarnya saja yang mengalami cedera, namun juga psikisnya ikut terluka. Semoga semangat hidupnya tetap ada." Akmal tercengang. Semua terjadi karenanya. Sejenak Akmal menunduk dan membiarkan dokter berlalu. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, membiarkan cairan bening luruh dari matanya. "Aku akan pulang." Arini tetiba bangkit. Akmal sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Ia terus menumpahkan penyesalan pada dirinya sendiri. Melihat kenyataan suaminya tak mempedulikannya, Arini kembali menangis dan duduk Lagi di samping Akmal. "Kau bukan hanya melukai hatiku sebagai istrimu, mas. Tapi kau juga telah melukai Dhini, ibu dari anakmu. Karna kebrutalanmu, bayi perempuan kalian meninggal, Arini juga hancur. Aku tak menyangka kau akan setega ini." Arini kembali bersuara dengan Isak tangisnya. Kemudian ia bangkit dan menuju ruangan bayi. Arini menatap sebuah box kaca dimana bayi yang terlahir prematur itu di letakkan. Bayi mungil yang terlahir di usia kandungan tujuh bulan itu nampak tak berdaya. Selang-selang kecil nampak menempel erat di tubuhnya. Melihat hal ini, Arini kembali meneteskan air mata. Bayi itu adalah hasil pernikahan siri suaminya dan wanita simpanannya. Bayi itu adalah bukti bahwa cinta Akmal telah terbagi. Bayi itu yang menjadi alasan untuk Dhini nekat mendatanginya. Bayi itu pula lah, yang membuat Arini sadar, bahwa Arini tak pantas untuk terus mendampingi Akmal. Tiba-tiba, Akmal datang dan berdiri di samping Arini. Menumpahkan tangis ketika melihat kondisi bayi laki-lakinya yang memprihatinkan. Sayangnya .... Bayi perempuannya memilih menyerah pada takdir. "A ... ku tak pantas di sebut ayah." Lirihnya dengan suara terbata. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD