Salah Tempat Duduk
“Kalian mau pulang?” Tanya Brian sesudah makan.
“Nggak, Kak. Kami mau nonton film.” Auris berjalan keluar kedai Marugame Udon bersama Brian. Sementara Adik dan kedua sahabatnya mengikuti dari belakang.
“Sudah beli tiket?”
“Baru mau beli.”
“Mau nonton film apa?” tanya Brian lagi.
Auris menoleh ke belakang bermaksud ingin bertanya pada Mika. Tapi, kedua matanya tidak sengaja melihat Rajata yang ada tepat di belakang sahabatnya.
Bulu kuduk Auris langsung berdiri ketika melihat tatapan mata Raja. Ekspresi wajah Laki-Laki itu juga sangat mengerikan baginya.
“Kita nonton film apa?”
“Petualangan Sherina.” Mika melihat ke arah Alice dan Aurell. “Iya ‘kan?”
“Iya,” jawab kompak keduanya.
Karena Brian sudah mendengar ucapan Mika. Jadinya, Auris tidak perlu menjawab pertanyaannya tadi.
Kelima orang itu naik ke lantai dua menggunakan eskalator. Jika Brian akan berkeliling di lantai dua untuk mencari sepatu beda dengan Auris dan kawan-kawan. Dia akan menuju ke lantai empat dimana bioskop berada.
“Biar aku yang bayar,” ucap Alice.
“Tidak usah. Biarkan saja aku yang traktir kalian,” saut Malika.
Auris berdecak melihat kedua sahabatnya berdebat di depan kasir. “Hey, harusnya aku yang bayar! Kalian ke mall ‘kan aku yang ajakin.”
“Tadi kamu sudah bayar makanan kita, Ris. Gantian dong,” debat Mika.
Aurell tetap santai memesan popcorn dan juga minuman tanpa peduli siapa yang bertugas membayar.
Setelah perdebatan panjang hingga membuat antrian menjadi panjang. Akhirnya, Auris membayar tiket dan camilan beserta minumannya.
“Buruan, Kak. Filmnya sudah mau mulai.” Aurell mengerucutkan bibirnya. Kesal karena ketiga kakaknya bukannya segera masuk ke dalam bioskop malah asik berfoto.
“Nggak sabaran banget sih?” Mika memeluk lengan Aurell. Dia mengajak adik kecilnya masuk ke dalam bioskop. “Auris ...”
“Iya.”
“Kursi nomor berapa aja?”
Auris berjalan lebih dulu untuk mencari kursi yang sudah dipesannya. “Ini, ini dan ini,” tunjuknya pada tiga kursi.
“Lah, kok cuman tiga. Harusnya ‘kan empat?” tanya Alice.
Auris melihat kembali tiket yang dibawanya. “Satunya lagi enggak sebaris. Soalnya sudah pada booking online.”
Mika dan Aurell tidak mau dipisahkan karena keduanya takut gelap. Jika Alice tidak mau berpisah pada deretan sahabatnya takut bersebelahan dengan orang jahat.
Auris menghela nafas pasrah. Hanya dirinya yang paling pemberani di setiap situasi dan kondisi. Seperti saat ini contohnya.
“Aku ada di depan kalian,” ucapnya, berjalan menuju ke arah kursinya.
Film yang ditonton keempat orang itu sudah mulai namun kursi sebelah Auris masih kosong.
“Kak, aku pindah sebelah kakak saja ya?” tanya Aurell dengan berbisik.
“Jangan. Nanti kalau yang punya kursi tiba-tiba datang ribet buat pindah. Camilanmu terlalu banyak soalnya.”
Aurell terkikik geli, mencium pipi sang kakak. “Berani sendiri ‘kan?”
“Iya,” jawab Auris. “Adek buruan kembali ke kursi agar bisa menikmati filmnya.”
“Ok, Kakak.”
Auris membeli tiket VIP agar nyaman dalam menonton film. Selesai menata bantal dan memakai selimut, dia memesan makanan lewat tablet yang tersedia di sofa.
Adiknya tidak mau kalah. Aurell mengirimkan pesan permintaan izin untuk memesan makanan. Padahal, camilan dan minuman yang dibelinya tadi belum habis.
Saking serunya film yang dia tonton, Auris sampai tidak sadar jika kursi sebelahnya kini sudah ada penghuninya.
“Boleh aku minta minum?”
Auris kaget saat ada suara minta minum. Dia menoleh ke samping lalu membelalakkan kedua matanya.
“Kamu?” tanya Auris dengan suara cukup keras. Kemudian menutup mulutnya menggunakan tangan.
“Aku haus,” ucap Rajata langsung mengambil minuman milik Auris. “Terima kasih.” Dia mengembalikan kembali minuman yang sisa sedikit.
“Kenapa kamu bisa duduk di sebelahku?”
“Ya, karena aku membeli tiket.”
“Tapi, Mbaknya tadi bilang kursi sebelah berjenis kelamin Perempuan. Kenapa bisa berubah?”
“Ciara yang memesan untukku. Wajar saja jika jenis kelamin si pemesan Perempuan.”
“Owh ...” Auris membenarkan duduknya. Meskipun masih penasaran tapi dia sudah malas mengajak Rajata berbincang.
Sepanjang film berlangsung, Raja dengan santainya memakan cemilan dan minum milik Auris. Gadis itu sudah menegur beberapa kali tetap saja Rajata tidak menghiraukannya.
“Minta saja sama pacarmu! Ngapain sih malah ambil punya ku?!”
“Aku tidak punya pacar. Lagi pula aku tidak berminat berpacaran.”
Auris mendengkus sebal. Dia memindahkan camilan dan minuman ke sebelah kirinya. “Kirain punya pacar.” Sindirnya.
“Jangan cemburu! Ciara bukan pacarku dia hanya teman.”
“Nggak usah kepedean. Memangnya siapa yang cemburu sama kamu!”
“Wajah kamu menunjukkan yang sebaliknya.”
“Ccckkk, jadi pakar mikro ekspresi ternyata.”
Rajata menarik lengan Auris hingga gadis itu mendekat ke arahnya. Setelah itu, mengunci pergerakannya. “Kamu janjian dengan Brian?”
“Tidak. Buat apa aku janjian sama dia? Nomor ponsel saja aku nggak punya.”
“Kamu mau bilang hanya kebetulan?”
“Memang kenyataannya begitu. Bukan aku yang memintanya datang ke mall dan makan mie udon bersama! Dia itu mau beli sepatu, mampir makan karena belum sarapan di rumah,” terang Auris.
“Kamu tahu hari ini anggota BEM Univ dan Fakultas sedang ada acara?”
Auris menggelengkan kepala karena tidak tahu menahu soal acara yang tengah dibuat oleh para anggota BEM. “Aku bukan anggota BEM mana mungkin bisa tahu.”
“Hari ini mereka sedang ada kegiatan pembubaran panitia ospek dan melakukan evaluasi pada kegiatan yang telah berhasil mereka laksanakan. Jadi, tidak masuk akal sekali jika Brian ada di mall untuk membeli sepatu.”
Auris menatap kedua mata Rajata sangat lekat. Remang-remang lampu bioskop membuatnya itu tersihir oleh ketampanan Raja.
Hingga suara deheman membuat Auris membuang pandangannya ke arah layar.
“Ya, kamu tanya saja sama Kak Brian langsung. Aku tidak tahu, kenapa dia ada di mall hari ini.”
Raja sedikit meremas genggaman tangannya pada tangan karena gemas dengan gadis Auris.
“Aku tidak suka kamu makan berdua dengan Brian. Sekalipun kamu tidak sengaja bertemu dengannya,” bisik Rajata.
Auris kembali menoleh, Kini kedua matanya kembali menatap mata tajam Raja.
“Kenapa?” tanya ragu-ragu.
Bukannya menjawab, Rajata justru mendekatkan wajahnya pada Auris. Gadis itu tidak bisa bergeser karena tangannya digenggam erat oleh Raja.
“Kamu itu sudah ada yang memiliki. Jadi, tidak boleh bersama dengan Laki-Laki lain meskipun hanya sekedar makan!”
Auris memberanikan diri melawan tatapan tajam Rajata. Namun, salah sangkah. Niatnya ingin membalas justru hidungnya kini menempel pada bibir Raja. “Maaf ...” ucapnya.
Raja menahan dagu Auris saat ingin menundukkan kepala. “Kamu belum berjanji padaku!”
“Janji apa?”
“Semua perkataan yang aku ucapkan padamu tadi.”
“Buat apa aku berjanji padamu? Memangnya kamu siapa ku?!”
Auris menelan ludahnya ketika wajah Raja kembali mendekat. Dia bingung dengan perubahan Rajata, sikapnya seolah-olah Auris adalah miliknya.
Namun, disisi lain. Raja sedang dekat dengan Perempuan selain dirinya.
Rajata meninggalkan Auris berjalan menuju ke arah kursi di belakang para sahabatnya.
“Ternyata kursi sebelahku kosong,” gumamnya pelan.