Kecewa Pada Anak

1108 Words
“Mas, ada yang mau aku katakan,” kata Syafana duduk di sebelah suaminya yang saat ini menekuri layar tabnya. “Sayang, kalau ini tentang Kiran, mas tidak mau mendengarnya dan membahasnya.” Narendra langsung bisa menebak apa yang akan istrinya itu katakan. Sudah pasti tentang Kirana. “Mas, kamu tidak boleh seperti ini pada Kiran, Kiran sedang hamil cucu kita,” kata Syafana menatap suaminya penuh harapan. Semoga saja suaminya itu bisa memaafkan Kirana dan bisa menerima pernikahan Kirana. “Mas tahu Kiran sedang hamil cucu kita, tapi mas tidak ingin membahasnya.” “Sampai kapan kamu akan terus seperti ini, Mas?” tanya Syafana sedih setiap kali suaminya itu menolak dan enggan membahas Kirana. Kirana adalah putrinya, kenapa tidak bisa memberikan maaf kepada putrinya? Jujur saja, Syafana merasa sedih dan kesal setiap kali ke rumah Kirana dan melihat kondisi Kirana yang semakin kurus, karena makan hati, Syafana juga tidak ingin mengurung putrinya di rumah itu tanpa bahagia, tapi Syafana tak bisa melakukan apa pun sebelum suaminya memaafkan Kirana. Syafana kesal dan ingin sekali memaki dan menekan Anka, tapi ia tidak bisa melakukannya. Terlalu banyak pertimbangan yang ia pikirkan sehingga ia tak bisa melindungi putrinya itu. “Aku tahu Kiran membuat nama baikmu hancur, bahkan rumor tentangnya menyebar bagai hama, tapi kamu harus mengedepankan perasaanmu sebagai seorang Ayah. Ini bukan tentang harga dirimu, Mas, tapi tentang putrimu yang menikah. Kamu tidak mau mendengar kabarnya?” “Mas tidak mau tahu dan tidak akan pernah mau tahu,” jawab Narendra. “Kamu tahu kan mas disiplin dalam segala hal dan apa yang Kiran lakukan itu membuat mas marah besar dan terpukul.” Syafana tak tahu lagi bagaimana cara membujuk suaminya itu, yang keras kepala dan terlalu mengedepankan egonya. “Mas, kamu masih menganggap Kiran anak kecil? Dia sudah dewasa, dia sudah 26 tahun, dan kamu juga yang menikahkannya dengan Anka. Kamu lupa?” “Itu juga demi kebaikan Kiran,” jawab Narendra. “Kamu tahu sendiri sehancur apa mas ketika melihat putri mas keluar dari kamar seorang pria, bahkan nama baiknya pun hancur dan rumah sakit sedang menangguhkan masa coassnya. Kenapa kamu tidak paham perasaan mas? Mas menguliahkannya bukan untuk melihat karirnya hancur.” Narendra masih tetap teguh pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin mendengar tentang Kirana dan tidak mau tahu apa pun tentang Kirana, terlepas dari Kirana anak kandungnya. “Mas, aku tahu dan paham perasaanmu, tapi aku mengasihani Kiran, Mas. Andaikan kamu melihat kondisi Kiran sekarang, kamu pasti akan ibah, hati orangtua mana yang tak akan hancur melihat kondisi anaknya yang berbeda dengan yang biasanya. Aku hancur mas, aku tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan Kiran dari hubungan yang tidak baik itu, Mas.” Syafana seperti bingung dan tidak tahu harus bagaimana, ia ingin menyelamatkan putrinya, tapi bagaimana caranya? “Biarkan saja, namanya pernikahan ada saatnya seperti itu kan? Dia pasti akan merasakannya.” “Jika kamu tahu kalau Kiran akan merasakan hal itu, kenapa kamu biarkan dia menikah dengan Anka?” tanya Syafana tak bisa bersabar lagi. “Kamu mau perutnya besar dan anaknya lahir tanpa seorang Ayah? Sayang, sudahlah. Mas tidak mau membahas itu, mas sudah lelah dengan semua kelakuan Kiran. Jadi, biarkan dia jalani hidupnya sendiri, mas tidak mau ikut campur lagi.” Narendra tetap teguh. Syafana tak punya pilihan lain selain mengalah dan tidak mau melanjutkan pembicaraan ini lagi, ia akan membahas ini lagi nanti, ia tidak akan pernah bosan melakukannya sampai suaminya itu membuka hati untuk putrinya. Apa yang Kirana jalani tidak seperti pernikahan pada umumnya, setiap Syafana ke sana dan menemuinya, Kirana pasti akan menangis dan kehilangan segala hal tentang dirinya. Semua itu karena pernikahannya yang menyesakkan. *** Seperti biasa Kirana memasak untuk suaminya, tak perduli mau di makan atau tidak, setiap hari ia melakukannya tanpa mengeluh. Buat apa mengeluh jika ia sudah tahu suaminya tak akan menyentuh makanan yang ia masak, itu sudah menjadi kebiasaannya. Kirana menoleh dan melihat suaminya itu sedang duduk di ruang tengah seraya menekuri layar ponselnya dan duduk berdampingan dengan Siska. Siska tengah duduk dan membaca majalah fashion, mereka duduk sangat dekat sekali, seketika Kirana menganggap dirinya seperti pembantu yang memasak untuk Tuan dan Nyonya rumah ini. Kirana memiliki kehidupan yang sempurna dulu, ia seorang dokter coass yang memiliki ilmu pengetahuan yang begitu besar, sehingga ia bisa cepat naik ke tingkat selanjutnya. Namun, karena kabar tentang dirinya yang sekamar dengan seorang pria, akhirnya masa coassnya di tangguhkan pihak rumah sakit. Sebenarnya itu adalah hak masing-masing orang, namun seseorang telah mengambil gambarnya yang keluar dari kamar seorang pria, tanpa mengenakan pakaian apa pun dan hanya di tutupi selimut. Jadi, rumornya begitu panjang hingga sampai ke kampus dan rumah sakit. Bahkan sang ayah yang selalu bercerita tentang kehidupan putrinya yang sempurna dan menjadi anak yang baik, kini berubah menjadi rasa malu yang besar karena putrinya yang ia banggakan berubah menjadi liar dan galir seperti itu. Orangtua mana yang tidak akan sakit hatinya melihat putrinya keluar dari kamar seorang pria? Bahkan tanpa busana dan hanya mengenakan selimut, orangtua mana yang akan menerimanya dengan senang hati dan melupakan kejadian itu? Kirana menitihkan airmata, bukan mengeluh, ia hanya cemburu melihat bagaimana suaminya memperlakukan dirinya yang tidak sama dengan caranya memperlakukan Siska. Mereka selingkuh, bukan? Secara langsung di depan matanya mereka selingkuh. Namun, Kirana berusaha menerimanya tanpa harus berpikir panjang, yang menjadi orang ketiga adalah dirinya, jadi mau tidak mau ia harus terima. Kirana menyeka airmatanya dan fokus memasak untuk suaminya, walaupun ia tidak tahu kali ini akan di makan suaminya atau tidak. Tak lama kemudian, Siska datang dan menghampirinya. Kirana tersenyum pekat, dan menatap Siska. “Kiran, aku minta teh hangat ya, tapi yang herbalnya,” titah Siska. “Kenapa kamu tidak membuatnya sendiri?” tanya Kirana dengan senyum pekat. “Kenapa memangnya? Kamu tidak mau membuatkanku? Aku kan memintanya baik-baik, kamu marah kepadaku? Kalau kamu marah ya sudah tidak apa-apa.” Anehnya wanita ini sangat baik dan tutur katanya sangat lembut, sampai saat ini Kirana tak tahu apa yang sebenarnya di rencanakan Siska untuknya, sikap dan ucapan Siska tidak seperti wanita yang tunangannya di rebut. Siska tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Malah sebaliknya. “Ya sudah aku akan buat sendiri,” kata Siska. “Tidak perlu, Siska, aku yang akan membuatnya,” jawab Kirana. “Tapi—” “Aku hanya bertanya saja,” kata Kirana. “Baiklah. Nanti di antar ke sana meja ya,” kata Siska. Kirana menganggukkan kepala, ia harus berpikir logis sekarang, ia tidak boleh egois. Ia harus mengedepankan perasaan Siska di bandingkan perasaannya karena yang menjadi orang ketiga adalah dirinya, bukan Siska. Terlepas dari siapa dia. Siska kembali duduk di sebelah Anka lalu kembali menyandarkan kepalanya ke bahu Anka. Membuat Kirana tersenyum pekat dan kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD