Karena kesalahannya itu akhirnya Kirana menikah dengan Anka, pria yang tidak mencintainya sama sekali, pria yang menjadi kesalahan terbesarnya, dan ia selalu di salahkan atas apa yang telah terjadi. Hal itu membuat hatinya terus menerus terluka atas omongan suaminya sendiri. Dan, terlebih lagi ia tidak di hargai oleh ibu mertua dan kakak iparnya.
Kirana harus bertahan dengan nafkah 300k yang diberikan Anka untuknya, sementara yang Kirana tahu suaminya itu adalah pengusaha yang penghasilannya pasti besar, namun semua uangnya di nikmati oleh Ibu dan kakaknya sendiri.
Dan, yang lebih menyakitkan lagi, ia di anggap sengaja salah masuk kamar agar mendapatkan kehidupan yang mewah, namun Ibu mertuanya pastikan itu tidak akan pernah terjadi. Mereka memiliki pilihan sendiri untuk Anka.
Saat ini, airmata Kirana terus mengalir, bahkan setelah ia berusaha keras untuk membuat suaminya itu memaafkan dirinya, ia tidak pernah mendapatkan maaf. Justru ia selalu mendapatkan luka yang besar setiap kali berbicara dengan suaminya.
Kirana tengah memungut butiran nasi dan beberapa lauk yang berhamburan di lantai, ini mubazir, namun Anka tak mau makan apa yang Kirana masak. Ketika Kirana curhat kepada Syafana, sang Ibu mengatakan ia harus terus memasak dan menyiapkan makanan. Walaupun tak di sentuh sama sekali.
Kirana berusaha tegar di sini, ini kesalahannya, pernikahan ini terjadi karena kesalahannya. Dan, ia tidak pernah mengenal suaminya dengan baik, ia mendadak menjadi pengantin hanya karena ia salah masuk kamar.
Siska—adalah wanita yang menjadi pilihan Wahida—sang Ibu mertua—namun, Wahida terkejut ketika Anka mengatakan akan menikahinya, Wahida sempat tak setuju karena ia sudah mempersiapkan Siska sebagai menantu terbaik dari keluarga kaya raya, tapi keluarga Kirana tiba-tiba muncul dan mengatakan bahwa Anka harus bertanggung jawab.
Siapa yang tidak akan sakit hati? Sampai saat ini pun Wahida tidak pernah menghargai Kirana sebagai menantunya. Bahkan selalu menganggap Kirana beban dalam keluarga mereka.
Walaupun Anka sangat jahat kepada Kirana, tapi Kirana tidak pernah menyerah sebagai istri yang baik, ia dan Anka tinggal di satu rumah, sementara Ibu mertuanya dan kakak iparnya tinggal di rumah yang berbeda, tapi masih dalam satu kompleks.
Anka memberikan asisten rumah tangga kepada Ibu dan kakaknya, sementara pada Kirana, ia menyerahkan semuanya.
Setiap hari ibu dan kakak iparnya itu akan datang dan memakan masakan Kirana, jika tidak suka atau rasanya tidak sesuai dengan keinginan mereka, Kirana pasti akan menjadi orang yang disalahkan.
Kirana selalu berusaha tegar walaupun perlakuan suami, ibu mertuanya dan kakak iparnya sangat tidak baik kepadanya, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya atas apa yang terjadi pada hidup mereka saat ini.
Dan, Kirana selalu meminta maaf kepada Siska karena merebut posisinya sebagai istri dari Anka, semuanya di rebut Kirana.
Kirana menangis, lalu jarinya terkena pecahan piring, Kirana menangis sesenggukan dan duduk di lantai, sakit sekali, tapi ia tidak bisa melawan dan mengeluh karena rasa bersalahnya yang besar.
Kirana tidak boleh menyerah, walaupun sudah sangat berat, ia harus tetap bertahan.
Kirana bangkit dari duduknya dan menaruh semua pecahan itu di tempat sampah, lalu membersihkan lantai. Setelah itu, Kirana duduk di ruang tengah dengan mengobati luka di jarinya, sakit goresan pecahan ini tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Tak lama kemudian, Ibu dan kakak iparnya datang, Kirana baru saja duduk, tapi dua orang itu sudah datang dan mengganggu ketenangannya.
“Wah. Lihat deh, Ma. Perempuan ini enak sekali, hanya duduk dan menikmati rumah Anka,” kata Dania—sang kakak ipar.
“Makanannya mana?” tanya sang Ibu mertua.
“Makanannya sudah di buang Mas Anka, Bu,” jawab Kirana.
“Apa? Di buang Anka? Ahh itu alasan kamu saja,” cerca Dania.
“Semuanya di buang Mas Anka, Mbak,” lirih Kirana.
“Sini kamu,” kata Dania menarik lengan Kirana dan mendorong Kirana ke arah dapur. “Sekarang, kamu masak buat kita.”
Kirana menundukkan kepala, ia tengah menahan amarah. Sudah empat bulan keluarga Anka menghantam mentalnya berkali-kali, sudah empat bulan ini ia di jadikan seperti seorang yang bodoh dan sudah empat bulan ini ia di siksa lahir dan batinnya.
Dulu, Kirana pernah melawan, namun hal itu menjadi akhir yang cukup sengit, karena Anka tak suka jika ibu dan kakaknya di ganggu olehnya, apalagi di lawan Kirana. Jadi, sikap Anka semakin menjadi-jadi padanya.
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa diam saja? Ayo masak,” kata Dania menatap kesal ke arah Kirana.
“Untuk apa aku masak buat Ibu dan Mbak? Buat apa?”
“Apa? Kamu tanya buat apa? Kamu sudah gila ya,” kata Dania memajui Kirana.
“Mbak mau pukul aku? Silahkan. Mbak bisa pukul aku dan jangan lupa simpan bekas pukulan Mbak agar aku langsung ke rumah sakit minta visum, dan langsung ke kantor polisi untuk melaporkan kekerasan yang Mbak lakukan selama ini. Jangan lupa, aku masih simpan semua bukti itu.”
“Apa? Sekarang kamu berani mengancam kami?” tanya Dania.
“Mbak sudah kelewatan. Apa Mbak gak sadar? Aku ini sedang hamil, Mbak. Tolong jangan ganggu aku." Kirana meringis didepan Ibu mertua dan kakak iparnya.
“Kelewatan? Memangnya kamu siapa? Kamu itu bukan siapa-siapa, kamu yang mendobrak masuk ke kehidupan Anka dan menghancurkan semua rencana kita, apa kamu sadar yang telah kamu lakukan itu? Kamu itu murahan. Menginginkan hidup mewah, lalu menjual diri?”
“Apa? Hidup mewah? Apa selama ini aku hidup mewah? Semua penghasilan Mas Anka di berikan kepada Mbak dan Ibu, apa kalian lupa? Lalu salahku di mana? Kalian mengatakan bahwa aku sengaja melakukan ini demi hidup mewah, lalu kemewahan apa yang aku rasakan selama menikah dengan Mas Anka? Katakan.”
“Kamu—” Dania hendak menampar Kirana, namun Kirana langsung memasang wajahnya didepan Dania. “Kamu sudah gila. Aku tidak perduli kamu hamil atau tidak."
“Mbak dan Ibu jangan kira selama ini aku diam, karena aku bodoh. Bukan karena aku bodoh, tapi karena kalian aku hargai seperti keluarga sendiri. Tapi, kalian malah berusaha menghancurkanku dengan cara kalian?”
“DIAM KAMU!” teriak Wahida.
“Kenapa, Bu? Marah karena aku katakan itu ke Ibu? Terus Ibu dan Mbak mau laporkan ini ke Mas Anka? Selama empat bulan aku belajar untuk terus sabar menghadapi kalian semua, semakin aku terbiasa semakin aku tidak perduli lagi apa yang akan Mas Anka lakukan kepadaku. Aku sedang hamil cucu Ibu, tapi sedikitpun kasih sayang tidak aku dapatkan dari keluarga ini."
Dania murka, ia langsung mendorong Kirana dan membuat Kirana terhempas ke lantai, sang Ibu menyuruhnya berhenti karena apa yang Kirana katakan memang ada benarnya. Pasti Kirana tidak main-main akan melaporkan Dania di polisi.
“Bu, ini tidak benar. Aku harus membuat dia membayar apa yang telah ia katakan,” kata Dania.
“Berhenti, Dania. Kamu mau mencelakai dirimu? Dia sedang hamil.”
“Sudahlah, Bu. Jangan percaya sama ancamannya. Terserah deh, dia lebih baik jangan lahirkan anak itu kan?”
Bukannya takut, Kirana malah tertawa seperti orang gila, ia sudah harus menunjukkan kegilaannya.
Kirana meringis, perutnya menjadi sakit karena didorong Dania. Kirana memegang perutnya terus.
Selama ini, ia menjadi anak yang sangat beruntung mendapatkan keluarga yang sangat baik kepadanya, namun ia merasakan kesusahan setelah menikah.
Kebahagiaannya raib semenjak menikah dengan Anka, yang selalu Kirana dapatkan hanya lah sebuah cercaan, makian dan piluh di hati. Sedikitpun kebahagiaan tidak ada.