Perubahan Sikap Ibu

1220 Words
Kirana bersiap ke rumah Ibu mertuanya karena ada panggilan, ia sudah bersiap dan hendak keluar dari rumah, namun langkahnya terhenti ketika suaminya tiba didepan rumah. “Mas Anka?” Kirana meraih tangan suaminya, namun seperti biasa, sang suami langsung menghindarinya. “Mau kemana kamu?” tanya Anka dengan tatapan intimidasi. Ya seperti itu lah biasanya. Tidak ada yang berubah. "Aku mau ke rumah Ibu mas tadi Mbak Dania telepon katanya aku di suruh ke sana." "Oke." Jawaban yang singkat, bukan? Seperti itulah biasanya, setelah mengantarkan suaminya sampai ke dalam, Kirana langsung melangkah keluar dari rumah dan menuju ke rumah Ibu mertuanya. Setibanya Kirana di rumah Ibu mertuanya, Kirana melihat Ibu mertuanya dan Mbak iparnya sedang duduk berdampingan seraya terkekeh-kekeh melihat majalah didepan mereka. “Assalamu’alaikum,” ucap Kirana berdiri dihadapan keduanya. “Kamu sudah datang?” tanya Ibu mertuanya dengan wajah semringah. “Iya, Bu.” “Bagaimana kondisimu beberapa hari ini? Maaf karena Ibu tidak pernah datang menengokmu,” kata Wahida masih dengan senyuman diwajahnya. “Ibu apaan sih,” geleng Dania. “Kenapa malah menyambutnya?” “Ada apa memanggilku kemari?” tanya Kirana. “Cucian numpuk di dalam sana, dan piring kotor juga, kamu cuci semuanya dan jangan kembali kalau belum selesai,” titah Dania membuat Wahida menoleh dan menggelengkan kepala. “Kan biasanya itu menjadi tugasmu, Dania,” kata sang Ibu. “Ibu apaan sih, sudahlah. Kenapa terlalu banyak drama?” Dania kesal sekali karena sang Ibu seolah menyambut kedatangan Kirana dan menjadi Ibu mertua yang baik. “Aku memanggil dia kemari buat nyuci, karena pakaian dan piring kotor kita numpuk.” Kirana mendesah napas halus, ia berusaha menahan diri agar tak terjadi keributan lagi. “Baiklah. Aku akan kerjakan,” kata Kirana menganggukkan kepala. Kirana merasa ingin marah, tapi dia tidak punya hak untuk marah, jadi percuma saja jika ia harus berkoar-koar sendiri tanpa ada yang membelanya. Semua ini sudah menjadi tugasnya seperti biasa. “Dania, kamu bantu Kirana sekarang,” kata sang Ibu. “Bu, kenapa harus aku sih, aku malas ahh,” kata Dania. “Kamu ini kenapa sih, cucian itu banyak dan piring kotor banyak pun bisa kamu kerjakan.” “Bu, ini sudah menjadi tugas Kirana sebagai adik ipar dan menantu Ibu.” “Tapi—” “Tidak apa-apa, Bu, biar saya kerjakan,” kata Kirana lalu melangkah cepat menuju dapur. Ia menggelengkan kepala beberapa kali melihat piring kotor yang menumpuk, seolah seluruh isi lemari di keluarkan karena saking malasnya pemilik rumah ini. “Apa kamu tidak terlalu keras kepada Kirana?” tanya Wahida menoleh menatap putri tunggalnya. “Ibu ini kenapa sih, Ibu terus saja membelanya.” “Bukan membelanya, tapi Ibu anggap itu keterlaluan.” “Ibu kan dulu melakukan hal yang sama,” kata Dania. “Ya dulu, sekarang Ibu mulai sadar,” jawab Wahida. “Ibu sudah mau punya cucu dari Kirana, jadi sepertinya tidak benar untuk membuatnya bekerja terlalu keras.” “Ibu ini kenapa? Ibu di beri sesuatu oleh Kirana?” “Kirana tidak memberi Ibu apa pun,” geleng Wahida. “Ibu hanya tahu mana yang salah dan mana yang benar. Dan caramu tadi itu tidak benar.” “Ibu kok berubah begini? Biasanya Ibu yang paling antusias memberi pelajaran kepada Kirana. Ibu tidak asyik sekarang.” “Dania, Kirana itu sedang mengandung keponakanmu. Dan, mengandung cucu Ibu juga. Ibu takut jika kondisi Kirana kurang baik sehingga menyebabkan kehamilannya terganggu. Jadi, Ibu berusaha bersikap baik sekarang,” kata Wahida membuat Dania semakin kesal. “Sudah lah, Bu, Ibu ini berlebihan tahu gak sih,” geleng Dania. “Kamu membentak Ibu?” tanya Wahida. “Aku kesal sama Ibu,” jawab Dania. “Ya kesal sih kesal, tapi jangan membentak Ibu dong.” Wahida menggelengkan kepala lalu melangkahkan kaki pergi meninggalkan Dania yang masih kesal kepadanya. Wahida menghampiri Kirana yang saat ini mencuci piring kotor, Wahida mulai sadar bahwa yang ia lakukan selama ini salah kepada menantunya, Wahida hanya terpancing oleh kekesalan Anka kepada Kirana yang menganggap pernikahan ini terjadi karena kesalahan Kirana. “Ada yang bisa Ibu bantu?” tanya Wahida tersenyum menatap Kirana. “Eh Ibu,” ucap Kirana. “Tidak ada, Bu. Ibu istirahat saja, nanti yang mengerjakan ini semua aku.” “Kamu pasti kesal kan karena sikap Dania, tapi Ibu yakin kamu bisa memakluminya,” kata Wahida. Kirana tersenyum dan mengangguk, ia juga selalu berusaha memaklumi Dania, selalu berusaha menenangkan hatinya dan memberikan pengertian kepada dirinya, bahwa Dania seperti itu karena kesepian, Dania membencinya karena yang salah dalam hal ini adalah Kirana sendiri. “Ibu istirahat saja,” kata Kirana. “Ibu tidak bisa tidur,” geleng Wahida. “Ibu yang akan nyuci ya, kamu lanjutkan saja piring kotornya.” “Tidak usah, Bu, biar aku yang kerjakan, Ibu santai saja.” “Sudah. Ibu tidak akan bisa santai kalau kamu kerjakan semuanya sendiri, piring kotor saja sudah sangat banyak, ditambah kamu mau mencuci pakaian.” “Kan pakai mesin, Bu.” “Tidak apa-apa. Kamu kerjakan pekerjaanmu, nanti Ibu yang mengurus cucian.” Wahida tetap memaksa. Kirana tersenyum melihat perubahan sikap Ibu mertuanya, biasanya Ibu mertuanya akan ikut mencercahnya, tapi sekarang perubahan sikap itu membuat Kirana senang, setidaknya di dalam keluarga Anka, ada yang membelanya. Kirana melanjutkan pekerjaannya, ia melakukan semua ini dengan ikhlas dan tidak pernah mengeluh. “KIRANA!” teriak Anka memanggil namanya. “Kamu mengejutkanku saja,” geleng Dania. "Bisa tidak suaramu di kontrol?" “Kirana mana?” tanya Anka. “Dia sedang mencuci piring kotor,” jawab Dania. “Lihat istrimu, dia menyuruh Ibu mencuci pakaian kotor.” Anka melihat sang Ibu sedang mengerjakan pekerjaan itu, sementara Kirana melanjutkan pekerjaannya dan memilih tak berbalik melihat Anka karena Anka pasti akan marah kepadanya. “Bukankah itu semua tugasmu?” tanya Anka kepada Dania. “Tugas apa sih,” geleng Dania. “Kamu yang harusnya mencuci pakaian kotor dan mencuci piring kotor itu, kenapa kamu memanggil Kirana dan membiarkan Ibu mengerjakannya?” Anka begitu marah. Dania membulatkan mata karena heran melihat sikap adiknya itu, biasanya Anka tidak mempermasalahkan Kirana mau bekerja di sini atau tidak, tapi kali ini malah Ibu dan adiknya itu berubah dan seolah membela Kirana. Membuat Dania semakin kesal dan tidak terima. “Kamu ini bicara apa sih, kamu mau Mbak kerjakan itu di saat istrimu ongkang-ongkang kaki?” tanya Dania bangkit dari duduknya dan menatap kesal ke arah adiknya. “Mbak lupa kalau Kirana sedang hamil anakku?” tanya Anka. “Kenapa baru sekarang kamu tidak menerimanya?” “Sudahlah. Kenapa kalian bertengkar? Jangan buat kepala Ibu pusing,” kata Wahida berusaha menenangkan diri. “Tiap bertemu kalian pasti bertengkar.” “Kirana! KIRANA!” teriak Anka. Kirana berbalik dan menatap suaminya. “Ada apa, Mas?” “AYO PULANG! PULANG!” bentak Anka. “Kamu tidak bisa berbicara dengan lembut apa?” geleng Wahida. “Tapi ini belum selesai, Mas,” kata Kirana. “Sudah simpan saja, Mbak Dania yang akan melanjutkannya.” “Kok aku.” “AYO PULANG!” teriak Anka lagi. Kirana tidak bisa menolak perkataan suaminya, ia akhirnya meninggalkan piring kotor yang masih banyak itu dan menghampiri suaminya. “Pekerjaan Kirana di rumah saja masih terbengkalai, Mbak malah memanggilnya kemari,” geleng Anka. Kirana merasa tak enak kepada ibu mertuanya karena telah meninggalkan banyak pekerjaan, namun ia pun tidak bisa melakukan apa pun jika Anka sudah berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD