SR - 3

1023 Words
Pria yang mengikutinya dari belakang tadi, sebenarnya sudah berdiri sejak kejadian itu belum terjadi. Dia bahkan tahu dalang dibalik jatuhnya Shera. Dia hanya mampu mengembus nafas saja hingga membuat mereka semua berhamburan karena menyadari kehadirannya. Mereka segera duduk di tempatnya masing-masing. Kelakuan salah satu penghuni asrama yang telah menjagal kakinya Shera juga dilihatnya. Pria itu melirik si pembuat ulah dengan tajam, tetapi wanita itu malah membalasnya tanpa takut. Pria itu terus berjalan, melawaninya juga percuma. Langkah kakinya terdengar menakutkan. Sepatu pantofel itu selalu dipakainya saat berjalan di sekitar asrama. Membuat efek segan hanya dengan mendengar suara ketukannya saja. Shera mengingat suara hentakan kaki itu, dia langsung berbalik dan terkejut karena melihat pria pallet warna yang sudah berurusan dengannya di bawah. Pria itu membawa tongkat kayu berukuran 30 cm, sambil mengunyah permen karet, tungkainya jalan menghampiri Shera. “Duduk!” perintahnya. Shera melihat ke sekitar, tidak ada kursi kosong di sana. “Aku duduk di mana?” tanyanya. Pria itu tertawa renyah. Dia mengayun lemah kayunya ke suatu sudut. Shera mengikuti arah benda itu dan melihat ada tumpukan kursi. “Ambil kursi di sana, lalu kau bawa ke sini dan kau bisa duduk di sini,” perintahnya dengan nada rendah, tapi tegas kemudian memukulkan kayu ditangannya ke atas meja tanpa penghuni. Alias masih kosong. Shera menelan salivanya lagi dan mengangguk. “Baik.” Dengan cepat gadis itu mengangkat kursi yang sangat berat tersebut, material kayu terbaik membuatnya memiliki bobot ekstra. Tak satu pun berniat membantunya. Setelah bersusah payah, Shera berhasil membawanya ke belakang meja kosong tadi. Shera melihat permukaannya sangat kotor. "Ada kain? Aku mau mengelap kursinya?” tanya Shera dengan berani pada pemuda tersebut. Semua mahasiswa mendelik melihat keberanian sikap Shera pada pria yang mereka takuti selama ini kalau sedang marah. Dibalik ketampanannya, dia ditakuti karena emosian dan mengatur semua penghuni asrama. Paling benci dengan hal yang bersifat kotor dan berantakan. Meski ditakuti, dia juga disenangi banyak wanita karena wajah dan sifatnya yang misterius. Pria itu berbalik arah, menyipit ke arah Shera, lalu mendekat lagi padanya hingga jarak mereka hanya 10 sentimeter saja. Dia menaruh kayu ke meja, lalu mendekatkan tangannya ke leher Shera, dengan terampil membuka syal yang hanya tersimpul sederhana itu. Dalam waktu singkat, syal itu di bawa ke depan wajahnya. “Pakai ini untuk membersihkan kursimu," katanya. Shera mendengus kesal, pria itu sudah membuatnyamalu. Tanpa sepatah kata pun, Shera mengambilnya, lalu menyadari semua orang menatapnya. Pandangannya menurun, dan memilih menuruti perintah pria yang belum diketahui peranannya di asrama itu. Shera membersihkan kursinya dengan syal tadi, lalu melipat benda tersebut dan menaruhnya dekat dengan kaki agar tidak lupa dibawanya kembali saat sudah selesai makan siang. Kondisi syalnya sangat kotor, warna merah jambunya telah berubah menjadi warna hitam kecokelatan. Siapa dia? Kenapa mereka semua takut padanya? batin Shera, ingin tahu dengan identitas pria yang sudah membuatnya penasaran sekaligus emosi tingkat neraka! Pria tampan yang gayanya sederhana, namun supel dan enak dipandang itu duduk paling depan, matanya melirik ke sana ke mari. Semua anak asrama diam, tidak berkutik sama sekali. Kondisi ini tidak normal menurut Shera. Pria itu bagaikan penjaga pintu surga dan neraka. Semua wajah tegang, menunduk tanpa kegiatan berbicara sedikit pun. Walau ada beberapa yang curi-curi pandang padanya, tetapi dominan dari mereka hanya menunduk. Shera memberanikan diri bertanya pada perempuan yang duduk di sampingnya saat ini. “Maaf, dia sebenarnya siapa? Kenapa kalian takut padanya?” tanyanya dengan nada berbisik. “Dia adalah anak pemilik asrama ini,” jawabnya. “Oh, anak bu Rana?” tanya Shera lagi. “Bukan,” jawabnya. "Bu Rana bukan pemilik asrama?" tanya Shera. "Bukan." Wanita itu menjelaskan sesuatu padanya. Shera jadi bingung, ternyata Rana bukan pemiliknya melainkan hanya pekerjanya saja. Alis Shera berkerut menatap ke arah pemuda itu. Shera merasa aneh dengan asrama dan penghuninya. Suara pegangan pintu terbuka terdengar lagi, semua mengalihkan perhatian termasuk Shera. Rana berdeham saat memasuki ruangan, melangkah dengan pembawaan diri berwibawa yang patut disegani. Rambut pendeknya berwarna mahogany membuatnya tampil elegan. Semua anak asrama berdiri menyambut kedatangan Rana. Otomatis, Shera ikut berdiri tegak, lalu melihat ke arah wanita yang berjalan diiringi oleh seorang wanita berpakaian serba hitam. Rana menatap dengan semua yang ada di ruangan secara singkat dengan senyuman. Dia berhenti di tengah ruangan makan yang kursi dan mejanya diatur seperti huruf U tersebut, Rana menyapa penghuni asrama. “Apa kabar semua?” tanya Rana. “Sehat, Bu Kepala!” sahut mereka serentak. “Hari ini cuaca sangat cerah, saya senang melihat semua ruangan sudah bersih. kalian bekerja sangat bagus! Saya harap kalian bisa pertahankan kebiasaan ini." "Iya, Bu!" sahut mereka lagi serentak. “Kita kedatangan teman baru,” kata Rana melirik pada Shera. "Silakan berdiri di sampingku," pintanya. Shera keluar dari mejanya lalu berdiri di sisi kiri Rana. Wanita itu memintanya memperkenalkan diri. Shera mengangguk. “Hai, Semua!” sapanya. “Halo!” jawab mereka. “Perkenalkan nama saya Shera Austin. Mulai hari ini saya akan tinggal di sini, senang bertemu kalian semua, mohon bimbingannya!" ucap gadis itu dengan senyuman lebar. Rana tertawa ringan melihat Shera menyapa teman-temannya dengan ceria. “Haha, terima kasih sudah memperkenalkan dirimu. Senang sekali bisa menerima anak secantik dirimu. Mereka mulai sekarang adalah temanmu juga Shera, beberapa mungkin akan menjadi sahabatmu atau saudara bagimu. Berlakulah sopan dan baik lah pada sesama anak asrama.” “Iya, Bu, terima kasih!” sahut Shera. “Begitu juga kalian, harus baik padanya dan teman kalian yang lain. Jika tidak! Kalian akan terkena hukuman dari saya.” “Baik, Bu!” jawab mereka serentak. Rana meminta Shera kembali ke kursinya. Makan siang segera dimulai ketika semua hidangan telah dibagikan secara adil menggunakan tempat khusus berwarna putih. Mereka berdoa bersama dipandu oleh pria galak yang kini duduk di samping Rana itu. Suaranya sangat bagus, mencerminkan sosok pria seutuhnya. Tegas dan juga berat. "Silakan dinikmati!" perintah asisten Rana yang sejak tadi menemaninya. Wanita yang berada di samping Shera mengingatkan padanya untuk tidak menyisakan makanan, bila hal itu terjadi maka pemuda yang galak tadi akan memberikan hukuman. Ada satu menu yang tidak disukai Shera, sayur buncis yang ditumis. Gadis itu tidak doyan sejak kecil, tetapi setelah mendengar ucapan wanita di sampingnya tadi, dia terpaksa menelannya demi menuruti peraturan di asrama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD