Irish membuka pintu base cam milik Dinda dengan kasar, netranya menoleh ke sembarang arah, melihat siapa saja yang berada di dalam sana. Wajah cantik Dinda menyapa kedatangannya, gadis itu tengah berdiri di depan kulkas lantas melambaikan tangan sembari tersenyum ke arahnya. Irish membalas senyumannya lantas mengalihkan perhatiannya pada sosok tampan yang kini tengah duduk di sofa. Irish tersenyum kecil, tapi pria itu sama sekali tak menatap ke arahnya, ia sibuk melamunkan sesuatu.
Dengan langkah lemas, Irish menutup pintu yang sempat ia buka dengan kasar lantas berjalan santai mendekat ke arah Al. Di sinilah mereka sekarang berada, sebuah rumah sempit yang hanya ada sofa santai yang satu ruangan dengan dapur dan meja kerja, satu buah kamar mandi dan satu kamar tidur. Rumah super sempit dan minim ini adalah milik Dinda, mereka tak menyebutnya rumah, tapi base cam. Walaupun sempit, tapi semua yang berada di dalam tertata sangat rapi dan terkesan sangat cantik. Dinda adalah sahabat Irish dan Al, ia bekerja sebagai seorang arsitektur untuk bangunan mewah tapi dengan tempat yang kecil, jadi tak heran jika ia membangun base cam nya dengan sangat rapi dan indah.
Sebuah decitan sofa di duduki membuat Al tersadar, ia menoleh ke samping, menatap Irish dengan sendu lalu tersenyum miris.
"Kenapa?" Tanya Irish sembari mengarahkan tangannya untuk berada di punggung keras sahabatnya tersebut, mengelusnya dengan gerakan naik turun untuk menenangkan. Al tak langsung menyahut, ia memiringkan posisi duduknya agar berhadapan langsung dengan Irish lantas mengucapkan sesuatu.
"Gue harus se sempurna apa lagi supaya di hargai ketulusan gue sama cewek?" Tanya Al dengan sendu, dari ucapan cowok itu, baik Irish dan Dinda sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dinda yang baru saja meneguk minuman sodanya lantas menatapnya tak percaya.
"Gak mungkin Nadya selingkuh, kan?" Tebak Dinda dengan terkejut. Irish pun sama, ia menatap Al seolah minta penjelasan yang jelas.
"Iya," Al mengangguk, memperjelas keadaannya. Dinda membuang nafasnya dengan kasar, tidak percaya ini semua terjadi.
"Gak nyangka gue, cewek kayak Nadya selingkuh? Ya ampun! Rasanya dunia mau runtuh." Umpat Dinda sedikit tak terima. Tak di sangka, gadis biasa seperti Nadya yang ia pikir memiliki hati yang baik mempermainkan perasaan orang lain.
"Gue kira dia baik, gak kayak cewek-cewek lainnya. Tapi nyatanya apa? Sama aja loh!" Celoteh Dinda mendadak kesal. Sebagai sahabat Al, tentu saja ia kesal saat sahabatnya di sakiti oleh orang lain. Terutama Al yang sudah beberapa kali mendapatkan pasangan seperti ini. Ini bukan kali pertama Al memiliki kekasih dan di selingkuhi, yang Dinda hitung, ini adalah kali ke empat. Ya ampun!
Irish masih mengelus punggung Al dengan lembut agar pria itu tetap tenang. Hingga akhirnya netranya berhenti di tangan kanan Al yang terdapat darah. Perlahan, ia menyentuh tangan itu lalu memekik terkejut.
"Lo gila, ya?" Desis Irish dengan kesal, ia tahu sosok Al. Pastinya ia menyakiti dirinya sendiri tatkala ia tengah marah.
"Dari pada gue nyakitin orang lain?" Sahut Al dengan santai.
"Gak gini caranya, Al!" Tegur Irish dengan sendu. Dengan gerakan cepat Irish lantas bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kulkas.
"Kenapa dia? Nyakitin dirinya sendiri?" Tanya Dinda dan langsung di angguki oleh Irish. Irish membuka kulkas, ia mengambil air dingin yang ia tuangkan ke dalam mangkuk besar lantas mengambil sapu tangan bersih untuk membersihkan luka Al.
Dinda menghembuskan nafasnya dengan berat, melihat wajah serta mata Irish membuatnya sedikit terganggu, ada yang mengganjal dari sahabatnya tersebut.
"Lo kenapa?" Tanya Dinda pada Irish, gadis itu tersenyum manis lalu menggeleng pelan.
"Gak papa,"
"Gak papa tapi Lo habis nangis?" Sinis Dinda. Ia tahu, sahabatnya yang ini juga tidak dalam kondisi yang baik.
"Ada masalah apa?" Tanya Dinda lagi. Kali ini Irish menjawabnya dengan bohong.
"Gue habis debat sama atasan gue, gue gak mau kerja di luar ruangan lagi. Panas, tapi gue malah di bentak." Terangnya dengan bohong.
"Kerjaan itu kan kerja sosial, kenapa Lo nolak? Gak baik tau. Toh juga Lo di suruh bagi-bagiin makanan dan sembako buat orang gak mampu di jalanan gak gratis. Lo di bayar. Kenapa Lo tolak coba."
"Gue gak mau kepanasan."
"Sok lo, Ris!" Seru Dinda dan Irish hanya tersenyum simpul lantas membawa air dingin dan sapu tangan bersih menuju ke sofa.
"Sini tangan Lo," Irish menyentuh tangan Al, mengelap luka yang berada di sana dengan hati-hati dan lembut, sesekali ia melirik ke arah Al untuk memastikan apa pria itu kesakitan atau tidak karena sentuhannya.
"Sakit?" Tanya Irish, dan Al hanya tersenyum meresponnya.
"Sampai kapan Lo mau kayak gini? Kalau Lo di sakitin sama orang lain, jangan Lo nyakitin diri Lo sendiri. Gak baik." Omel Irish dengan perhatian.
"Ya habisnya, gue gak tahu harus lampiasin dengan cara apa. Gak mungkin kan gue lampiasin ke orang lain yang gak bersalah? Gak mungkin juga gue banting barang-barang, ujung-ujungnya juga bakal ngerepotin orang juga." Sahut Al dengan wajah tampannya yang tanpa ekspresi sama sekali, dingin, datar, tak tersentuh.
"Kayak gini juga Lo ngerepotin orang," balas Irish masih fokus menatap tangan Al yang penuh dengan luka.
Al mendekatkan wajahnya ke wajah Irish, jarak ke duanya sangat dekat, hal itu sukses membuat Irish mendongakkan kepalanya, ke dua netra mereka bertemu. Dari sana, mereka bisa melihat ada luka dalam yang tengah mereka rasakan masing-masing.
"Gue ngerepotin Lo?" Tanya Al sok serius. Irish tersenyum simpul lalu mengangguk pelan.
"Iya, Lo ngerepotin gue." Jawabnya dengan jujur. Bukannya merasa bersalah atau apapun, Al justru tertawa pelan mendengar jawaban dari sang sahabat. Masa bodo dengan dirinya yang merepotkan Irish, ke duanya saling merepotkan satu sama lain di waktu tertentu. Beginilah sahabat, tidak ada rasa gengsi atau merasa di repotkan. Mereka tulus melakukannya.
"Bungkus pake ini, Ris." Dinda datang, memberikan sebuah perban dan alkohol untuk membersihkan luka.
"Alkohol? Perih dong!" Rengek Al mendadak menjadi sosok seperti anak kecil.
"Bayi Lo!" Ejek Dinda lantas pergi meninggalkan ke duanya. Ia duduk di kursi kerjanya, berhadapan dengan laptop untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"AU! Perih Ris!" Jerit Al kesakitan.
"Gak usah manja." Sahut Irish dengan santai, ia mengoleskan alkohol dengan kapas pada luka, usai itu ia baru membungkusnya dengan perban yang ia lilitkan ke tangan.
"Udah kelar." Desah Irish dengan lega. "Perbannya ganti setiap sehari sekali, mendingan Lo ke dokter deh. Buat periksa, kali aja parah."
Al membolak-balikkan tangannya yang sakit lalu menatapnya dengan remeh. "Parah dari mananya? Seminggu paling sembuh."
"Sok lo!"
Irish menyenderkan punggungnya ke sofa dengan santai lalu mendesah berat. Sepertinya ia harus menunda curhatannya mengenai Adnan hari ini, ia tahu kondisi fisik dan hati Al sedang tidak baik. Ia akan mencari waktu lain saja. Dan malam ini, ia sudah menyiapkan tisu yang banyak untuk menghapus air matanya yang mungkin menetes sepanjang malam.
"Lo tadi mau curhat apa?" Tanya Al pada Irish, gadis itu menggeleng pelan lalu memeluk Al dengan erat. Dari sini, ia bisa merasakan nyamannya d**a bidang Al dan hangatnya pelukannya.
"Lo yang sabar ya, suatu saat nanti, gue yakin kok. Lo bakal di pertemuin sama seseorang yang jauh lebih baik dari Nadya. Seseorang yang mampu menjaga hatinya cuma buat Lo dan gak pernah ngeduain Lo lagi. Gue yakin bakal datang orang kayak gitu dalam hidup Lo. Lo nya aja yang harus sabar." Kalimat menenangkan dari Irish sedikit membuat hati Al menghangat, ia memeluk tubuh berisi Irish dengan erat. Dan Irish sangat menyukai pelukan tersebut, hangat, nyaman dan ia merasa seperti tengah di lindungi.
Dinda menatap ke arah ke duanya lantas tersenyum miring. Ia tahu, Irish juga tengah ada masalah. Kalimat kebohongan gadis itu tak begitu saja membuatnya percaya. Irish bukan tipe orang yang menolak melakukan kebaikan hanya demi tidak kepanasan. Jadi berdebat dengan atasan hanya karena ia di tugaskan memberi sembako pada orang tidak mampu di jalanan adalah bohong.
"Kenapa kalian gak nikah aja, sih? Kayaknya cocok."
"Nikah sama bapak Lo!"
"Dinda ih."