Al menatap intens ke arah meja restoran yang paling ujung, dari sini ia bisa melihat sepasang kekasih tengah berpegangan tangan sembari berbincang ria. Sesekali mereka saling melempar senyuman manis dan tertawa bersama. Entah apa yang tengah mereka bicarakan, yang pasti itu terlihat sangat menyenangkan. Senyuman sinis tercetak jelas di bibir Al, ini bukan yang pertama, ke dua atau yang ketiga baginya. Ini adalah kesekian kalinya terjadi padanya.
Dengan santai ia membenarkan letak jam tangannya yang sedikit bergeser, hal itu membuatnya merasa sedikit tak nyaman. Usai jam tangannya terasa nyaman di lengannya, ia bangkit dari duduknya, berjalan dengan santai ke arah dua sejoli yang tengah di Landa mabuk asmara tersebut.
"Permisi," sapa Al dengan santai lengkap dengan senyuman manisnya yang lebar, dua sejoli tersebut menoleh, ke duanya memasang ekspresi yang berbeda. Nampak, sang cowok menatap Al dengan biasa, sedangkan sang gadis terlihat panik hingga melepaskan tangan mungilnya dari genggaman tangan sang cowok.
"Al!" Seru gadis itu dengan terkejut lalu bangkit dari duduknya, menatap Al tak percaya.
"Kok kaget? Seharusnya yang kaget kan aku, bukan kamu." Ujar Al pada Nadya, kekasih cantiknya yang dengan teganya menduakan cintanya dan melukai perasaannya.
"Al, aku bisa jelasin semuanya." Tutur Nadya dengan panik. Al mengangguk pelan lalu melipat ke dua tangannya di d**a. Netranya menatap dingin ke arah Nadya.
"Ya udah jelasin, aku dengerin." Balasnya dengan santai.
Nadya nampak sangat bingung, ia menatap Al dan kekasih gelapnya secara bergantian. Bingung harus menjelaskan apa.
"Sayang, dia siapa?" Cowok yang di duga selingkuhan Nadya mulai angkat bicara, ia ikutan bangkit dari duduknya dan menatap Nadya dan Al secara bergantian seolah meminta penjelasan.
Diam. Hening di antara mereka, suara orang-orang yang tengah memesan makanan, dentingan alat makan bergesekan hingga suara derap langkah para pelayan restoran terdengar sangat jelas.
"Kok diem? Aku kasih kamu waktu buat jelasin loh." Al kembali buka suara.
"Sayang, dia siapa?" Tanya cowok asing tersebut untuk yang ke dua kalinya.
"Dia.....," Nadya menggantung katanya, tak bisa melanjutkan. Tidak mungkin ia mengatakan pada pria tersebut bahwa cowok tampan dan tinggi di depannya ini adalah kekasihnya, dan ia menjadikan dirinya adalah selingkuhan.
"Gue bapak nya!" Jawab Al dengan santai lalu tertawa pelan.
"Al!" Tegur Nadya merasa bersalah.
Al kembali menatap Nadya dengan ramah lalu tersenyum manis.
"Aku harus se sempurna apa supaya di hargain sama kamu? Aku udah berusaha buat wujudin semua ke inginkan kamu. Kamu mau apa, aku turutin. Tapi kenapa kamu lakuin ini? Seharusnya, kalo kamu bosen tinggal bilang. Al, aku bosen sama kamu. Mendingan kita putus, kita udah gak cocok. Gak gini caranya." Celoteh Al dengan panjang lebar. Dari sini, sang cowok asing langsung paham kenapa situasi ini terjadi.
"Nad, dia pacar kamu?" Tanya cowok tersebut dengan menahan amarahnya. Ia tidak tahu kalau sebenarnya Nadya sudah memiliki seorang kekasih, gadis cantik itu mengaku pada dirinya tidak tengah menjalin hubungan dengan siapapun. Sebab itu, ia mendekatinya. Dan mereka akhirnya jadian, dan tepat hari ini mereka merayakan happy anniversary hubungan mereka yang ke lima bulan. Tapi apa yang ia dapati? Sebuah pengkhianatan?
"Tony, aku bisa jelasin." Ujar Nadya dengan kepanikan yang bertambah dua kali lipat.
"Lo diem dulu, biar dia jelasin semuanya ke kita." Kata Al pada cowok asing bernama Tony tersebut. Tony tak menyahut, ia terus saja menatap Nadya dengan kecewa.
Nadya meremas jari jemarinya, tak tahu harus bicara apa. Ia seperti seorang penjahat yang tengah tertangkap basah.
"Lama banget, pegel aku berdiri di sini terus." Omel Al mulai tidak sabaran dan kesal.
"Sebenarnya aku cuma manfaatin kamu doang, Al." Terang Nadya mulai membuka mulutnya. Al langsung terdiam mendengarnya.
"Kamu ganteng, dan hal itu bisa aku pamerin sama temen-temen aku, supaya mereka gak ngeledek aku lagi dan di katain gak laku dan gak ada cowok ganteng yang naksir aku. Tapi aku bisa buktiin sama mereka, kalo aku bisa dapetin kamu yang ganteng. Aku juga maanfaatin kamu mengenai semua hal yang aku pengenin. Aku gak peduli kamu mau nyebut aku cewek matre atau apa. Terserah. Dan sekarang, aku minta maaf." Jelas Nadya dengan panjang lebar, air matanya menetes dengan deras, mengatakan hal jujur itu memang menyakitkan. Menyakiti diri sendiri karena merasakan bersalah dan berpikir tak di maafkan, dan juga menyakiti orang lain yang berkaitan.
"Dan buat kamu Tony, aku sayang sama kamu sangat tulus. Maaf jadiin kamu selingkuhan, karena di sisi lain aku gak mau kehilangan..."
"Atm berjalan." Sambung Al dengan lantang. Nadya menatapnya dengan sayu, dan Al membalasnya dengan santai.
"Kamu gak mau kehilangan ATM berjalan kayak aku, kan?" Tanya Al dengan serius, dan Nadya langsung menangis sejadi-jadinya.
"Kamu tadi minta maaf, kan? Aku maafin kok." Lanjut Al mencoba untuk bersikap biasa saja padahal hatinya terasa seperti di tusuk oleh ribuan jarum tajam. Sakit sekali. Tapi ia harus menerima fakta ini, bahwa kekasih yang selama ini ia perjuangkan mati-matian ternyata lebih mencintai pria lain dan hanya menjadikannya sebagai pemberi segalanya. Ia akui, ia memang royal pada Nadya, setiap kali Nadya menginginkan sesuatu, ia pasti memberikannya. Itu karena ia memiliki prinsip harta tak ada artinya di bandingkan dengan rasa sayang dan cintanya pada gadis itu. Sebisa mungkin ia membahagiakan Nadya, tapi ternyata ia salah ngebahagiain orang.
"Sekarang tahu lah, hubungan kita bakal kayak apa setelah ini. Perlu di perjelas lagi?" Ekspresi Al mulai berubah, dingin tak tersentuh. Matanya bahkan menatap tajam ke arah Nadya seolah-olah gadis yang namanya masih tersimpan rapi di hatinya tersebut adalah musuh bebuyutan.
"Kita putus!" Ucap Al dengan jelas lantas pergi dari sana, meninggalkan Nadya yang tengah menangis tersedu-sedu dengan di temani Tony yang berada di sisinya. Tony Menatap Nadya tak percaya dan mulai menggoyahkan hatinya mengenai perasaan gadis tersebut. Benarkah Nadia mencintai dengan tulus? Atau hanya di jadikan pengganti ATM berjalan?
Kembali pada Al, pria itu butuh pelampiasan atas semua rasa sakit yang ia rasa. Ia tidak ingin menangis, prinsip cowok itu bukan menangis. Usai keluar dari restoran, ia menatap ke arah tembok parkiran mewah yang berada tak jauh darinya. Dengan langkah yang mantap, ia berjalan mendekat dan langsung saja memukul tembok tersebut dengan keras dan berulang kali dengan tangan kanannya. Membiarkan beberapa orang menatapnya dengan takut serta tak peduli dengan darah yang mulai keluar dari punggung jarinya.
"Pak! Sabar pak, sabar!" Seorang petugas keamanan datang dan memegangi tubuh Al dan membawanya menjauh dari tembok.
"Kalau ada masalah, jangan menyakiti diri sendiri pak, sabar."
"Jangan panggil gue pak, gue bukan bapak Lo!" Teriak Al dengan emosi.
Dengan pelan ia melepaskan tubuhnya dari petugas keamanan lantas berjalan gontai ke arah mobil sedan hitam miliknya.
Ia menatap cerminan dirinya di kaca pintu mobil, terlihat kacau.
"Gue butuh Irish."
Al merogoh saku celananya, mengambil ponsel lalu menelpon seseorang.
"Apaan?"
"Lesu banget Lo? Kenapa? Kepanasan?"
"Lo di mana?"
"Di base cam nya Dinda, sini nyusul. Gue mau curhat." Bohong Al, padahal ia masih berada di parkiran restoran, tapi ia memang akan segera ke sana usai menelpon sahabatnya, Irish.
"Otw, gue juga mau curhat."
"Ya udah sini, gue tungguin."
"Oke, gue tutup telponnya."
"Hati-hati di jalan," suara Irish berdehem menutup panggilan ke duanya. Al tersenyum miris, sepertinya bukan hanya dia yang terluka hari ini.