Masa Lalu yang Kelam
Acara pernihakahan hari ini berjalan lancar. Lagi-lagi Molefatho Wedding Organizer, memdapatkan pujian dari client dan beberapa tamu undangan. Mereka sangat puas bahkan, ada pula yang memesan dari jauh hari. Kalau kata Clarisa it's perfect. Semuanya harus sempurna.
“Planing kita berikutnya nuansa Islami. Dari mulai pre wedding sampe akad. Semuanya harus berbau islami. Rendy, besok lo sama Ana dateng ke rumah client buat foto Pre wedding. Lo Cristiana, Ayas, selesaikan gaun bridal muslim yang gue rancang minggu lalu. Rini nanti lo serahin susunan acaranya ke gue. Ulli gue minta peralatan sound sytem dan lain-lain lo cek lagi. Jangan sampe ada ke salahan teknis. Silvi, Client minta make up yang ga terlalu menor. Berhubung nuansa islami, lo harus dandanin yang natural, tapi memukau. Lo Nurmala, dekorasi lo, harus lebih kreatif. Jangan monoton. Ajak tim dekorasi supaya ada dekorasi baru. Gue minta hasilnya besok. Sri, cari lagi makanan nusantara sampe luar negeri biar bervariasi lagi. Erinda, Liana dan lo Lutfiani, lo harus sigap sebagai creaw pelaksana. Kalo biasa tingkatkan promosi biar job kita banyak. Semua mengerti?” terang Clarisa pada Timnya.
“Mengerti mbak,” jawab mereka kompak.
“Bagus!” kemudian merentangkan tangannya ke depan. “Molefatho Wedding Organizer!” seru Clarisa.
“Molefatho Susces Complite!!” teriak mereka bebarengan.
♡♡♡♡
Keesokan harinya. Jam istirahat. Clarisa sedang di lorong kantor. Ia melihat keluar jendela. Mungkin, sedang mencari inspirasi untuk konsep lusa. Bagi Clarisa, pekerjaan adalah nomor satu. Sering sekali di tanya client. “Oh mbak Clarisa belum nikah? Kapan nyusul?” Clarisa hanya menjawabnya dengan senyuman kecutnya. Rasanya aneh kalau menikah terlalu dini. Lalu karir? Apa tidak penting bagi seorang wanita? pikir Clarisa.
“Mau kopi?” ucap seorang cowok. Clarisa membalikan badan. Di lihatnya cowok atletis, tinggi dan maskulin itu sedang nyengir di depannya.
“Ga usah gue mau kerja lagi,” saat Clarisa akan pergi Rendy berbicara lagi.
“Ini kan jam istirahat. Ya, ga usah di forsir juga kali Ris. Lo kan bukan robot. Robot aja, ada istirahat,” tegurnya ringan.
“Apa lo bilang? Ga usah so perhatian deh sama gue. Perduli apa lo sama gue? Dan satu, berani banget lo ngomong lo gue sama atasan lo!” Ya, watak Clarisa yang keras kepala kembali.
“Lo juga ga pernah sopan kok sama bawahan lo. Apa bedanya. Lo juga ngomongnya lo gue. Lagian selisih umur kita ga beda jauh kok, sayang sih kalo WO sebesar ini. Tapi, pemiliknya galaknya minta ampun,” sindir Rendy tanpa takut.
“Mau gue pecat lo ngomong kaya gitu? Harusnya lo sadar, lo cuma bawahan!!” ancam Clarisa.
“Silahkan aja, kalo lo bisa. Lo lupa di surat kontrak tertera kalo gue ga bisa di pecat atau mengundur kan diri selama setahun. Surat kontrak yang aneh. Terus isinya, boleh mengundurkan diri dengan catatan kondisi tertentu. Kecelakaan fisik, baik mental dan meninggal dunia. Parah kan. Perlu cacat atau mati dulu mau ke luar dari kantor ini? Mau sampe kapan lo pecat orang terus? Mungkin Angga setelah setahun ngundurin diri. Ya, karena ini. Bosnya yang keras kepala,” Rendy masih geregetan buat menyadarkan Clarisa. Rendy sangat frontal.
“Terus kalo tahu sikap gue kaya gini. Kenapa lo mau kerja disini?” tandasnya kesal.
“Bagi gue kerjaan ini tantangan. Ya, gue coba aja. Kadang gue kasian sama lo. Senyum ke bawaan aja engga. Kerja kudu tepat waktu. Salah sedikit lo pecat. Lama-lama abis lah orang di sini,” perdebatan mereka semakin memanas.
“Lo jangan so nasehati gue yah. Gue lebih tahu dari pada lo!”
Rendy tersenyum sinis. “Gue rasa lo harus berubah. Bawahan juga perlu di hormati dan di hargai. Dengan kaya gitu mereka pasti hormat sama lo. Bukan takut.”
“Rese ya lo! Gue ga mood denger ocehan lo!!!” Clarisa pergi dengan kesal.
“Lebih baik lo dengerin kata-kata gue tadi,” ujar Rendy sedikit teriak. Mungkin sengaja agar Clarisa mendengar.
“Dia emang kaya gitu,” siapa lagi ini? Rendy melirik ke arah suara.
“Eh mbak Rini,” Rendy tersenyum santun. Senyumannya yang maut itu bisa bikin cewek-cewek klepek-klepek deh.
“Clarisa berubah saat ibunya meninggal. Aku sebagai sahabatnya aja sedih banget, lihat dia kaya gini sekarang. Tapi, percaya deh Ren. Dulu Clarisa itu baik banget. Murah senyum dan selalu ramah sama orang lain. Pasca ibunya meninggal. Dia yang ambil alih kantor ini. Dia PHK besar-besaran karyawan di kantor ini,” cerita Rini. “Setelah puas memecat yang tidak penting baginya. WO ini sukses di berbagai kota. Tim yang takut dengan Clarisa di tuntut harus sempurna,” tambah Rini.
“Hhehe.. Maaf nih bukannya aku ikut campur mbak. Aku cuma kasian aja sama Clarisa. Sebagian mereka yang di pecat, bisa aja kan dendam sama dia,” Rendy nyengir kuda.
“Ya, saya juga takut kaya gitu. Tapi, mau gimana lagi. Yah, semoga aja Clarisa bisa berubah kaya dulu. Saya tahu kamu orang baru di sini. Tapi, saya baru lihat. Clarisa ga berkutik saat kamu tegur tadi. Kamu orang pertama yang menegur dia,”
Rendy tersenyum. “Mbak bisa aja. Aku cuma mau dia sadar aja kok mbak. Ga lebih,” Rini senang mendengar hal itu. Ternyata masih ada yang perduli sama sahabatnya.
“Ya sudah sana istirahat dulu. Lima belas menit lagi kita meeting konsep. Setelah itu kamu ke rumah Client sama Ana,” perintah Rini.
“Siap mbak,” Rendy hormat ala tentara yang siap untuk pergi berperang.
♡♡♡♡
Flash Back
“Apa-apaan ini? Kenapa semua design baju-bajuku di pamerkan di butik lain. Kalian menjualnya?” hadik Maura bundanya Clarisa. “Semua konsep ada di sana! Apa kalian menjualnya?” tidak ada yang menjawab satupun. Semua kacau.
“Bunda sabar,” Clarisa menenangkan.
“Maaf bu, kami terpaksa menjualnya. Kami butuh uang,” jawab salah satu karyawan.
“Apa uang? Berapa banyak yang kalian butuhkan sampe kalap kaya gitu? Ini merusak nama kantor! Kalian harusnya ga kaya gini. Ini penghianatan namanya! Design itu kan rahasia kantor juga!” nada suara Maura semakin meninggi.
“Sudah lah. Saya ga tahu harus kaya gimana lagi!” Maura pergi di ikuti Clarisa. Mereka masuk mobil.
“Kamu lihat kan? Bunda kurang baik apa sama mereka? Bunda sedih mereka khianatin bunda. Bunda bebasin mereka. Tapi apa? Mereka mengkhianati bunda!” bunda Maura menstater mobilnya. Saat itu hujan sangat deras. Petir menyambar di sana sini.
DUUARR!!
Suara petir itu menggelegar. Membuat gendang telinga begetar.
“Semua penghianat. Semua yang bunda percaya berbalik menghianati bunda. Dan Ayah mu.. dia.. dia selingkuh di belakang bunda!!” bunda Clarisa menangis sambil berbicara. Mereka berdua sekarang sedang berada di dalam mobil.
Kring.. kring.. kring..
Ponsel bunda Maura berbunyi. “Haloo.. apa..? Engga mungkin... Apa? Bukan saya yang salah, kalo kamu kaya gitu...” Clarisa hanya memandang bundanya. Di otaknya terus berputar. Apa yang sebenarnya terjadi pada bundanya?
“Bun..” rengek Clarisa. Bunda Clarisa melambaikan tangannya, tanda tidak mau di ganggu. Bunda Clarisa terus marah-marah dalam telepon itu. Entah siapa yang menelepon bunda. Kayanya, sangat menjengkelkan sekali. Malam ini hujan sangat deras, tidak kalah pertir sangat menggelegar membuat Clarisa ketakutan. Bunda mulai kehilangan kendali. Clarisa melihat ada sebuah mini bus di depannya. Bunda lepas kontrol.
Cekkkkkkiiitt.
“Hhhhaaahh” Clarisa mendesah mengingat kejadian itu. Rasanya seperti mimpi buruk baginya. Bunda meninggal, dan saat itu Clarisa koma. Clarisa berhasil selamat dari maut. Dukanya yang mendalam, membuat Clarisa semakin benci akan kehidupan. Kejadian itu membuat Clarisa semakin benci hujan dan petir. Memang dasarnya Clarisa benci petir. Tidak benci hujan. Namun semenjak kejadian itu ia benci hujan.
“Client minta lo dateng ke proses pre wedding,” suara Rendy mengejutkan Clarisa yang tadi sedang melamun.
“Oke. Ayo kita berangkat sekarang!” Clarisa memang selalu totalitas dalam bekerja. Time is money. Itu yang ia pegang.
Bagaimana konsep islami yang akan Clarisa bawakan?
Apakah Rendy mampu mengubah sikap Clarisa?