1. Something
Wedding Organizer
Something?
Udara sejuk di pagi hari, membuat kita bersemangat akan menyambutnya pagi hari. Tersenyum untuk mengawali hari yang cerah. Jangan kalah ceria dengan burung yang sudah berkicau sejak pagi tadi. Sebagian orang sudah bergegas ke tempat aktifitasnya. Ada yang ke sekolah, kantor, tempat perkumpulan, restoran dan lain sebagainya. Ada juga yang membuka toko usahanya lebih pagi. Konon katanya, kalau kita tidak bangun pagi. Rezekinya di patok ayam haha. Lucu sekali. Tapi, kita tidak boleh meremehkan perkataan itu juga. Mungkin perkataan ini, perpengaruh besar juga. Buktinya sejak ayam berkokok, para manusia sudah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
“Praaanngg!” suara itu memecahkan ke heningan di pagi hari. Semua mata tertuju ke sumber suara. Untung saja sang pemilik kantor sedang tidak ada di tempat. Kalau ada habis sudah.
“Cepat beresin Nurmala. Nanti kalo Clarisa dateng, tahu vas itu pecah. Kamu bisa di marahin abis-abisan. Abis di beresin kamu buang. Pokoknya harus cepet-cepet di buang!” hardik Rini yang baru saja masuk ke ruang dekor yang akan menjadi pesta pernikahan besok.
“Iya mbak Rini. Maaf Mala ga sengaja. Baik Mala bersihkan,” Nurmala tampak gugup. Syukurnya dia hanya kepergok oleh Rini, bukan Clarisa pemilik Molefatho Wedding Organizer. Rini menjabat sebagai kepala pelaksana di sana. Bisa di bilang asisten Clarisa. Bukan hanya itu, Rini juga merupakan sahabat Clarisa. Rini tahu betul watak Charisa akhir-akhir ini. Yang jelas berbeda jauh dengan Clarisa yang dulu.
Clarisa yang Rini kenal dulu adalah Clarisa yang lemah lembut, baik hati, periang dan selalu ceria. Persahabatan mereka begitu indah. Sampai-sampai semua iri pada kedekatan mereka. Bagaimana tidak, seperti layaknya perangko dan amplopnya. Nempel terus, di mana ada Clarisa di situ pasti ada Rini. Sayangnya semua itu sirna ketika Maura Alairasy Molefatho ibunda Clarisa, meninggal akibat kecelakaan. Semua sikap Clarisa berubah. Clarisa menjadi pemarah, sombong dan cuek pada orang lain. Rini juga bingung kenapa Clarisa bisa seperti itu. Yang jelas sekarang Clarisa seperti orang asing bagi Rini. Tapi, Rini berharap Clarisa yang lama dapat kembali. Clarisa sahabatnya. Bukan Clarisa yang sekarang.
“Mbak Rini, Mbak Clarisa lima menit lagi sampai. Katanya langsung gladi resik,” lapor Lutfiani salah satu crew pelaksana.
“Ya udah. Udah siapkan semuanya. Clarisa datang kita brefing dulu sebentar,” ucap Rini sedikit mengeraskan suaranya agar para tim WO Molefatho mendengar perintahnya.
Lima menit kemudian.
Clarisa sudah ada di tengah-tengah mereka. “OK. Semua udah beres?”
“Udah mbak!” Sahut Tim WO Molefatho.
“Bagus. Ullie gimana semua barang perlengkapan udah lo siapin?”
“Udah mbak,” jawab Ullie.
“Liana, Erinda, Lutfiani. Udah siap buat gladi resik? Apa ada kendala di antara kalian?” seperti biasa Clarisa selalu mengecek hasil kerja timnya secara mendetail. Clarisa selalu menginginkan yang sempurna. Tidak mau ada ke gagalan. Memang selama ini, ia tidak pernah gagal dalam melaksanakan jasa WO. Pantas saja jasa Molefatho Wedding Organizer selalu di cari oleh pasangan yang akan menikah.
“Mala. Lo lagi-lagi buat kesalahan kan?” terka Clarisa. Terlihat sekali Nurmala gugup. Bagaimana tidak. Bukannya tadi, hanya Rini saja yang mengetahui kejadian itu?
“I..ii.. iya mbak maaf,” Nurmala tergagap.
“Lo tuh becus engga sih sebagai kepala dekorasi? Kalo kaya gitu terus. Lo mau gue turunin jabatan lo cuma jadi staff?” ancam Clarisa.
“Ma.. maaf mbak. Ga akan saya ulangi,” sesal Nurmala.
“Silvi! Sudah beres lo make up-in pengantinya? Sesuai perintah gue kan?” Clarisa malah cuek dengan penyesalan Nurmala. Dia malah bertanya pada Silvi kepala make up.
Silvi mengangguk “Udah mbak,”
“Bugus. Anggi, Sri. Client kita tambah lima puluh porsi lagi. Apa sudah kalian tambah? Jangan sampe tamu undangan kehabisan makanan. Bisa mampus kita, kalo tamu undangan sampe kelaperan,” bahasa Clarisa memang terdengar sedikit kasar. Sebagai bos, seharusnya dia bisa lebih sopan. Yang belum tahu sikap Clarisa sekarang, pasti akan kaget. Clarisa selalu pakai gue-elo kalau berbicara dengan timnya. Mereka sudah tak aneh. Dulu, Clarisa memang sopan. Murah senyum, baik hati. Yah semua itu berubah. Tapi, kalau berbicara dengan client. Clarisa sangat sopan. Ya, mana ada yang mau pake jasa WO Clarisa jika ia tak berlaku sopan.
“Udah mbak,” jawab Anggi dan Sri bebarengan.
“Good! Ana jangan lupa foto-foto pre wedding client. Letakan sesuai gambaran gue kemarin,”
“Baik bu,” ceplos Ana. Semua mata tertuju pada Ana. Ana adalah editor foto pre wedding yang baru. Ia tak tahu kalau Clarisa tidak suka di bilang 'ibu' oleh pegawai. Waaah ada bahan Clarisa bisa ngamuk.
Clarisa mendekati Ana “What? Ibu? Lo pikir gue setua itu sampe-sampe lo bilang gue ibu?” Ana hanya mematung bingung. Sepertinya ia bingung. Ana sebetulnya hanya ingin menghormati Clarisa sebagai bosnya. Apa yang salah dengan sebutan ibu?
“Ris, wajarin aja lah kan Ana masih baru. Jadi belum tahu. Ana, harusnya kamu bilang Clarisa mbak aja yah. Mba Clarisa,” Rini membela Ana.
“Maaf mbak Clarisa saya ga tahu,” lagi-lagi Clarisa tidak memperdulikan perminta maafan Ana.
“Oke. Gue minta semua kompak! Jangan ada kesalahan. Ada ke salahan nanti pas acara. Gue langsung pecat tanpa tolelir. Ini hari penting! Client kita sekarang bukan sembarang client. Dia anak duta besar Australia. Jangan malu-maluin. Gue mau acara kita sukses. Oke Molefatho?”
“Baik mbak,” jawab mereka kompak.
“Oke sebelum kita mulai acara dan gladi resik. Kita berdo'a dulu menurut agama dan ke percayaan masing-masing. Berdo'a... di mulai,” di balik sikap kasar dan tidak perdulinya, Clarisa. Ia masih ingat berdo'a sebelum acara.
“Selesai, Molefatho Wedding Organizer!” teriak Clarisa seraya merentangkan tangan ke depan di ikuti juga oleh tim. “Molefatho Sucses Complite!”
♡♡♡♡
Acara selesai.
Semua sesuai dengan rencana. Client puas dengan kerja Tim WO Molefatho. Clarisa tersenyum puas. Selama ia menjabat jadi di rektur kantor ini, ia tak pernah gagal dalam acara yang ia laksanakan. Pujian bertubi-tubi ia dapatkan dari client. Mungkin itu yang membuat Clarisa menjadi angkuh dan sombong. Tidak ada kata gagal dalam kamusnya. Jika ada kesalahan, Clarisa langsung membereskannya. Clarisa tidak suka hal yang tidak sempurna. It's perfect. Semuanya harus sempurna baginya. Sudah banyak sekali karyawan yang ia pecat hanya kesalahan yang tak seberapa. Pikir Clarisa, masih banyak di luar sana orang yang lebih bagus dari pada mempertahankan orang yang jelas-jelas gagal menurutnya.
“Lo kenapa keluar? Gue kan cuma kasih SP,” mata Clarisa membulat serius. Pembicaraan di ruangan Clarisa sangat serius.
“Maaf mbak sebelumnya, saya udah ga sanggup kerja di tempat ini lagi. Maaf sekali. Saya tahu mbak cuma kasih SP sama saya. Tapi, lebih baik saya mengundurkan diri saja,”
Clarisa mengerutkan dahinya. “Lo yakin mau keluar dari kantor ini? Gue lihat kinerja lo selama setaun ini lumayan bagus. Apa lo dah nemuin pengganti lo, Angga?”
Angga menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Saya punya temen mbak. Fotografer juga. Tapi bukan di bidang WO. Tapi, jangan salah. Hasil foto-fotonya keren mbak. Lebih bagus dari saya. Gambarnya juga lebih detail dan lebih fokus, kebetulan saat ini dia belum kerja. Bagaimana mbak?”
Clarisa mempertimbangkan perkataan Angga. Jujur memang Clarisa membutuhkan fotografer pengganti Angga. Sebetulnya Angga tidak melakukan kesalahan yang begitu fatal. Tapi, memang loyalitas dan dedikasi tinggi karyawan yang di perlukan di perusahan ini. Angga sering telat akhir-akhir ini. Itu sangat menghambat pekerjaannya. Sampai Clarisa memberikan SP padanya.
“Boleh, siapa namanya?” tumben sekali Clarisa tidak marah. Mungkin memang ia membutuhkannya juga.
“Rendy Manantha, mbak. Lulusan S1 Design Grafis. Nanti saya suruh dia ke sini hari senin,” sahut Angga.
“Oke kalo itu keputusan lo. Gue tunggu temen lo itu hari senin,”
♡♡♡♡
Setelah aktivitas seharian. Saatnya meregangkan otot-otot yang kaku. Minggu yang melelahkan. Dalam minggu ini, ada tiga acara pernikahan sekaligus. Dan syukurnya semua berjalan dengan lancar.
“Udah pulang kak? Tumben pulang cepet,” Clarisa melirik ke arah suara.
“Elo Jas, ia nih cape banget gue. Seminggu lagi ada wedding. Gue baru aja kehilangan fotografer handal gue, hhuuft” desah Clarisa.
“Pasti gara-gara kakak kasih SP lagi deh. Bulan lalu juga gitu kan?” ceplos Inti adik Clarisa yang paling bontot.
“Terus urusan gue apa? Kalo mau kerja di kantor gue ya harus disiplin. Harus perfect!” tukas Clarisa.
“Coba deh kakak pikirin. Udah berapa banyak pegawai kita yang ngundurin diri karena sikap kakak yang sekarang? Giliran kurang orang, kakak kewalahan sendiri kan?” Inti memang paling berani menegur Clarisa di banding Jasih.
“Ya salah mereka lah. Kok jadi gue yang salah!” nada suara Clarisa meninggi.
“Nah ini nih yang bikin mereka kabur gara-gara sikap kakak yang keras kepala,” sepertinya Inti belum puas menasehati kakaknya.
“Udah ah gue males ngomong sama lo. Bikin mood gue tambah jelek aja!” Clarisa pergi meninggalkan Inti dan Jasih di ruang tengah. Saat Inti akan mengejar, Jasih mencegahnya.
“Udahlah de.. kakak tahu kamu bermaksud baik, kakakmu sekarang emang kaya gitu,” cegah Jasih.
“Sampe kapan kak? Sampe usaha bunda bangkrut gitu kak?” decak Inti.
“Sayang, dengar kakak. Kak Clarisa lebih tahu bunda di banding kita. Kakak yakin sesuatu yang kak Clarisa sembunyikan itu, hal besar. Kalo engga. Kak Clarisa ga mungkin bisa berubah derastis kaya gitu. Tapi, kakak yakin kok suatu saat kak Clarisa bakalan kaya dulu lagi. Kak Clarisa yang hangat, penuh kasih sayang dan ramah. Dan kak Clarisa pasti cerita tentang kecelakaan bunda,” Jasih menasehati Inti.
“Ya kak. Kayanya lebih ngerti kita di banding kak Clarisa. Semoga aja yah kak Clarisa bisa kaya dulu. Inti kangen kak Clarisa yang dulu kak,”
Jasih tersenyum. “Iya sayang do'ain aja yah,”