Axell tiba di cafe yang mulai terlihat sepi. Pada hari biasa cafe akan tutup pukul sepuluh tapi khusus weekend cafe buka sampai jam dua belas malam.
Sekarang baru jam sebelas, masih ada waktu satu jam bagi pengunjung untuk menikmati malam minggu mereka.
Axell tak tertarik dengan band yang masih menyanyikan lagu-lagu romantis. Dia langsung berjalan ke tangga menuju lantai atas.
Tempat tinggal Stephan dan istrinya. Juga ada satu kamar khususnya juga diatas.
Stephan melihat kedatangan Axell namun tak sempat menyambutnya, dia harus segera menyelesaikan tugas malam ini sebelum menghibur sahabatnya itu. karena tanpa bertanya pun Stephan tahu kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Axell, nampak jelas dari raut wajahnya yang sedih.
Axell masuk ke kamar berukuran empat kali empat tersebut. Banyak poster band rock menghiasi dinding. Kasur dengan ranjang berukuran single, juga televisi dan lemari kayu berukuran kecil.
Axell duduk di karpet bulu yang berwarna abu-abu, sementara badannya bersandar pada tepian ranjang.
Sekitar satu jam kemudian, Stephan masuk dengan wajah terlihat lelah. Dia langsung bersandar seperti Axell.
Stephan memperhatikan raut Axell yang masih tak berubah, tetap tampak sedih.
“Kenapa?” Tanya Stephan, Axell menarik nafas panjang dan meletakkan kepalanya di ranjang, menatap langit-langit kamar.
“Ibunya Mala kelihatan enggak setuju dengan hubungan kita.” Ucap Axell sedih, Stephan malah mendengus sebal.
“Yee, dikira kenapa? Lagian bukan Cuma ibunya yang enggak setuju, kalau boleh jujur nih ya, gue sama Retha juga enggak setuju sama hubungan kalian.”
Axell hanya berdecak tak menghiraukan.
“Lagian elonya nekat sih, udah tau sakit masih aja dijalanin.” Stephan menarik handphone dari saku celana dan mulai melihat pesan-pesan yang tadi diabaikannya. Toh Axell juga terlihat diam tak membalas ucapannya.
“Gue enggak pernah rasain ini sebelumnya, semuanya terasa berbeda saat gue bersama dia. Rasanya gue bahagia.” Ucap Axell setelah beberapa menit terdiam.
“Kebahagiaan semu Xell, yaudah elo jalanin aja dulu kalau lo bahagia. Tapi lo harus inget bahwa bukan Cuma ibu dia aja yang enggak setuju, mami lo juga pasti enggak setuju. Lo tau dia taat banget kan?” Stephan melirik patung bunda Maria kecil yang ada di meja kamar.
Patung pemberian ibu Axell saat berziarah ke suatu tempat. Axell menatap patung itu dan kembali menatap langit kamar.
Sampai sekarang bahkan dia belum menceritakan hubungannya ini dengan ibunya dan juga ke lima kakaknya.
Termasuk Samuel, kakak yang paling dekat dengannya. Axell takut ceritanya akan melukai keluarganya. Awalnya dia sempat berfikir perasaan untuk Mala tak akan bisa terlampau besar seperti ini. Setelah membahagiakan diri sendiri mungkin dia akan bisa berpisah dengan Mala secara baik-baik. Egois!
Namun ternyata keegoisannya kalah akan nuraninya, akan perasaannya yang mengatakan bahwa mereka berhak merasakan bahagia, mereka berhak bersama.
Jadi saat ini, dia ingin semuanya berjalan seperti air. Tak ingin memperkeruh suasana hatinya dengan hal-hal lain. Tak ingin merusak kebahagiaan yang ada.
‘Tuhan, kenapa rasa ini harus ada?’ bisik Axell lirih. Malam ini dia memutuskan bermalam disini, dan tidak pulang ke kost atau kerumah orangtuanya.
***
Senin yang cerah, namun tak secerah hati Mala. Pagi tadi Axell mengabarkan kalau dia tugas luar hari ini, mengambil gambar di luar kota untuk keperluan promo iklan di tempat mereka bekerja.
Jadi lah Mala yang sudah terbiasa di antar jemput Axell berangkat kerja sendiri.
Pukul sebelas dia sudah berada di taman, ruangan kerja membuatnya sedikit sesak mengingat tak ada pria yang dicintainya disana. Baru ditinggal tugas luar saja sudah segalau ini, apalagi kalau ditinggal selamanya?
Tiba-tiba Simon datang dan duduk di kursi samping Mala, membawa cemilan dari maret-maret.
Lelaki berperawakan tinggi berpotongan rambut pompadour dengan ciri khas potongan rambut tipis bagian samping dan tebal di tengah atau terlihat seperti jambul. Sementara dia mengenakan celana jeans dan sepatu sport juga kemeja yang lengannya digulung se-siku. Tak lupa id card yang digantung di lehernya. Wajahnya cukup tampan dengan hidung mancung dan kulit bersih.
Di wajahnya tak ada jerawat sedikitpun, alisnya tebal dengan mata yang besar. Juga warna bibir kecoklatan akibat terlalu banyak menyentuh rokok.
“Mau?” Tawarnya ke Mala, tumben.
Mala mengambil satu snack rasa keju dan membuka bungkusannya. Harusnya Anneke sudah datang tapi entahlah, wanita hamil itu sepertinya masih ada kerjaan.
“Lo gak ikut keluar bareng Axell?” Tanya Mala basa basi. Simon menyalakan puntung rokok dan mulai menghisapnya perlahan, jujur Mala risih, dia tak suka dengan asap rokok yang dapat menyesakkan. Tapi dia tak bisa berbuat banyak toh di dunia kerja memang dia harus terbiasa bergaul dengan para karyawan yang tak bisa lepas dari benda itu.
“Abel yang tugas bareng dia,” Simon menghembuskan asap rokok itu ke udaha. Lanjutnya, “jadi bener gosip elo pacaran sama Jojo?” Tanya Simon tanpa melihat wajah Mala. Dia dan teman lainnya tetap memanggil Axell dengan nama Jojo atau Jonathan tak seperti Mala yang lebih suka memanggilnya Axell.
Mala hanya terdiam dia memang tak pernah menutupi hubungannya, toh selama ini dia lebih sering berangkat dan pulang kerja dengan Axell meskipun ketika di ruangan dia tak terlalu sering ngobrol.
Pasti yang liat juga risih lah, lagipula mereka bukan anak remaja yang biasa pacaran dimana saja tak kenal waktu dan tempat. Tak tahu bahwa ternyata sahabatnya mengumpat karena waktu main jadi berkurang karena gaya pacaran itu.
“Kok diem?” Simon menjulurkan kepala ke depan wajah Mala. “Apaan sih!” Sergah Mala sambil mendorong bahu Simon karena terasa jarak mereka terlalu dekat.
“Cowok yang naksir elo di kantor banyak dan mereka seagama, kenapa elo malah milih Axell? Gak niat nikah? Umur udah tua juga.” Ledek Simon, Mala mencebikkan bibirnya sebal. Enak aja nih anak main dikte sembarangan. Pikir Mala.
“Banyak darimana coba? Masih untung ada laki yang suka sama gue macam Axell.” Tutur Mala tangannya masih sibuk mengambil ciki keju itu dan menjejalkan ke mulutnya. Simon hanya tertawa.
“Makanya jadi orang tuh yang peka dikit kenapa?” Ucap Simon, Mala menautkan alisnya tak mengerti.
“Coba lo inget-inget lagi, mikir lagi. Berapa banyak laki-laki yang sering nyapa elo? Dan suka elo kacangin juga... berapa banyak cowok yang terkadang sengaja berdiri atau duduk di deket lo padahal masih banyak tempat lega lain. Dan satu lagi, pantry mini kan samping meja lo, coba lo inget berapa banyak cowok yang berlama-lama bikin kopi disana? Alasannya Cuma satu. Mereka kirim sinyal ke lo, tapi elonya gak nangkep. Geblek.” Toyor Simon saat mengakhiri ucapannya. Mala tak marah, dia hanya berfikir, apakah benar yang diucapkan Simon?
“Kelamaan mikir!” Tutur cowok itu lagi dengan senyum miring.
“Bawel banget sih lo!” Mala rupanya kesal, di injak kaki Simon yang disampingnya. Membuat Simon malah tertawa lebar, seru mengerjai wanita yang terkadang lemot ini.
Mala berkutat dengan fikirannya. Mengingat semua yang dikatakan Simon, jika memang itu yang terjadi. Maka dia tahu Simon lah yang paling sering melakukan hal itu. seperti naik lift, laki-laki itu selalu memilih disamping Mala, terkadang di belakang Mala saat Lift berdesakan. Untuk menyapa, dia lah yang paling sering aktif menyapa Mala, meskipun Mala memang sering mengacanginya atau hanya balas tersenyum. Mungkin Mala memang kurang peka? Atau pendengaran dia yang sedikit terganggu hingga suka tak menyadari ada yang menyapa.
Masalah pantry Mini, ya para lelaki yang hobi nongkrong ini memang seringkali mondar mandir membuat kopi yang rak nya ada disamping meja Mala. Tak hanya Simon yang biasanya lama berdiam diri disitu, mungkin ngobrol dengan toples kopi? Atau bercanda dengan toples gula? Entahlah. Tapi yang Mala ingat, Axell juga dulu sering berlama-lama membuat kopi, Mala yang sering sibuk dengan pekerjaannya terkadang tak menyadari siapa saja yang mengambil waktu lebih lama di dekatnya.
Setelah menyadari itu semua, dia menoleh ke arah Simon yang terang-terangan memperhatikan wajahnya. Simon kaget melihat ekspresi Mala yang tiba-tiba berubah jadi senyum-senyum sendiri itu.
“Kenapa lo? Jangan mikir yang enggak-enggak deh!” Sergah Simon sambil menghisap puntung rokoknya.
“Dih kepedean,” Kekeh Mala. Jika benar indikator sinyal yang diucapkan Simon tadi, berarti Simon juga termasuk salah satu cowok yang suka Mala? Tentu Mala jadi Ge-er, apalagi Simon bisa dibilang good looking juga, hanya tampangnya aja agak terlihat sedikit berandal, dan jahilnya luar biasa.
Mala membuka ponsel genggamnya dan membaca pesan dari Axell yang baru saja masuk.
Axell : Lagi ngapain Ay?
Entah sejak kapan lelaki itu terbiasa memanggil Mala dengan Ay, singkatan dari Ayang maksudnya sayang. Lebay kan? Memang!
Mala : Ngobrol sama Simon di taman.
Axell : Berdua doang?
Mala : Iya, tadinya Anneke mau kesini, ternyata dia dipanggil HRD ngomongin cuti lahiran katanya sih.
Axell : Kangen,
Mala : Lebay ih.. kamu lagi ngapain?
Axell : Belum selesai ambil gambar nih, habis ini mau ke lokasi 2. Aku lanjut kerja ya, kamu jangan lama-lama berduaan sama Simon-nyong. (plus icon ngakak)
Mala : Hahaha, parah! Btw kenapa emangnya?
Axell : Aku cemburu.
Mala : Dasar gembel.
Mala tertawa sendiri membaca chat itu, sampai tak sadar bahwa disampingnya masih ada Simon.
“Balik keruangan yuk,” Ajak Mala, Simon mengangguk dan berdiri lebih dahulu. Kemudian dia membereskan plastik makanan ringannya yang masih tersisa beberapa bungkus.
“Bawa nih, buat lo semua.” Ucap Simon sambil menyodorkan plastik maretmaret itu.
“Asik...” Tutur Mala, mereka pun berjalan berdua menuju ruangan. Sepanjang jalan, beberapa karyawan wanita menyapa Simon, karena memang sifat Simon yang ramah dan mudah bergaul makanya banyak yang mengenalnya. Tak hanya itu, juga dia mendapatkan perhatian besar ketika melewati beberapa orang penonton alay bayaran untuk acara musik di kantornya.
Penonton yang berbusana seksi-seksi itu tersenyum manja pada Simon, tak hanya yang wanita. Bahkan Pria yang ‘mungkin nalurinya wanita’ itupun ikut mencuri pandang pada Simon.
Tak ayal Mala jadi memperhatikan rekan kerjanya itu, Lelaki itu cukup tampan. Apalagi tinggi badannya sangat menunjang penampilannya. Bahkan jika jadi artis pun pasti dia bisa.
Meskipun begitu tetap saja bagi Mala, Axell adalah oppa paling ganteng yang dia kenal yang membuatnya tak bisa berpaling ke lain hati.
Mala melewati kursi Anneke, yang ternyata sudah diduduki wanita itu. Mala mendengus sebal, dia lama menunggu di taman, tapi wanita itu malah asik main handphone di ruangan.
“Ye Mak lampir, gue tungguin juga!” Decih Mala, Simon menarik kursi hingga berderit dan duduk di dekat Anneke, ya memang meja kerjanya kan didekat Anneke. Mala menarik kursi kosong milik Axell dan duduk disana, duduk diantara Anneke dan Simon. Tak lupa menaruh bungkusan cemilan di meja.
“Sorry, tadi ribet banget sama HRD baru kelar, ini mau nyusul kata lo udah jalan balik.” Anneke memelas, Mala memanyunkan bibirnya pura-pura marah.
“Gue traktir deh makan siang, udah pesen OB tadi dua porsi buat kita berdua, gimana?” Anneke mengedipkan matanya, menyuap Mala ini sih.
“Hmm baiklah, hehe pesen apa?” Nahkan merubah mood Mala memang cukup mudah, selain disodorkan foto aktor korea, makanan merupakan trik jitu kedua agar wanita itu senyum dan tak marah lagi.
“Ayam cabai hijau biasa kesukaan lo. Eh Mon mau juga enggak biar gue pesen ke OB sekalian?” Tawar Anneke ke Simon yang sudah berkutat dengan pekerjaannya.
“Enggak deh, masih kenyang gue. Thanks Ke,” Jawab Simon sesekali melirik ke arah Mala.
“Eh gue balik ke meja gue dulu yaa, by the way mau enggak?” tawar Mala sambil menyodorkan bungkusan cemilan itu ke Anneke.
“Simpen aja buat sore ntar kita ngemil.” Anneke mendorong pelan tangan Mala yang sudah terulur itu. Mala mengangguk dan pergi meninggalkan Anneke.
Setelah sampai meja kerjanya, terlihat Anneke menggeser duduk ke samping Simon. Simon yang memakai headset itu pun melepasnya ketika terlihat Anneke ingin membicarakan sesuatu.
“Gimana tadi pedekate nya lancar?” Bisik Anneke,
“Kacau lo, dia udah pacaran sama Jojo juga masih aja di mak comblangin ke gue.” Decih Simon.
“Yaelah, biar gimanapun gue tetep lebih suka elo yang jadian sama dia dibanding Jojo.” Anneke menggumam sambil melipat tangan di d**a.
“Parah ah, Jojo juga kan temen kita. Masa gue tikung?” Simon menggeleng sambil tertawa lalu dia melanjutkan pekerjaannya lagi.
Tadi memang Anneke yang membuat Mala menunggu di taman, dan dia pula yang mengirim pesan ke Simon untuk menemani Mala ditaman sementara dia sedang ada urusan di HRD. Sebagai sahabat tentu Anneke ingin melihat Mala menikah dan berumah tangga. Dia berfikir menghadirkan pria lain bisa membuat Mala setidaknya berfikir ke arah pernikahan. Tak seperti sekarang ini yang membuat Mala berubah fikiran, padahal Anneke tahu dengan jelas bahwa dulu Mala menargetkan menikah di usia dua puluh tujuh tahun, tahun ini. Tapi kenyataan berkata lain, sekarang menikah menjadi bukan prioritas lagi di benak Mala. Dan Anneke tak suka itu.
Anneke sadar bahwa yang dilakukan itu jahat. Tapi dia tahu suatu saat nanti Mala pasti akan terluka dengan langkah yang dijalaninya saat ini. dan Anneke tak mau melihat sahabatnya sakit akan takdir mereka.
***