Tak seperti malam minggu sebelumnya, setelah setahun jomblo akhirnya ada juga laki-laki yang ngapel Mala di malam ini.
Adik kembar Mala yang SMA sedang pergi acara sekolah sejak kemarin, sementara Adel menemani ibu menonton televisi di dalam.
Mala dan Axell lebih memilih duduk di teras rumah. Teras yang tak terlalu besar, hanya ada empat kursi yang membentuk setengah lingkaran.
Di meja telah tersedia pastel dan dua gelas es teh manis. Axell yang malam ini membawa gitarnya pun terlihat sibuk mengajari Mala gitar.
“C tuh telunjuknya disini.” Axell menggeser telunjuk Mala ke senar ke dua dari bawah. Mala memetik gitar itu dengan pelan dan fals.
“Kurang di teken ayang.” Axell terlihat gemas dan menekan jari Mala dengan cukup keras.
“Sakit.” Desis Mala dengan tatapan membunuh. Axell tertawa dan memperlihatkan jemarinya yang menebal.
“Memang sakit, tapi kalau enggak gitu suaranya enggak indah. Lihat ini udah berkali-kali kapal-an, bahkan dulu pas baru belajar, sampai berdarah.” Mala menarik telunjuk Axell dan merabanya, merasakan kulitnya yang sangat kasar.
“Trus kenapa tetep dimainin udah tau sakit sampai berdarah.” Axell menautkan jemari Mala dan menggenggamnya erat. Tatapannya menusuk mata Mala memperhatikan wajah wanita yang dicintainya itu dengan seksama.
“Karena aku suka, nyatanya sekarang aku bisa maininnya kan?”
“Meski sakit?” Suara Mala parau dan getir, kata-kata yang sarat akan makna yang berbeda.
“Ya meski sakit.” Jawab Axell pelan, ada sesak di dadanya ketika mengucap sakit. Sama seperti yang dia rasakan, dia sangat menyukai Mala, tapi bersamanya ternyata membuatnya sakit. Sakit akan masa depan yang terasa jauh dari angan.
Axell mendekatkan wajahnya, Mala membuka mata, tak ingin malu seperti waktu itu barangkali Axell hanya iseng. Nafas mereka hampir menyatu kalau saja pintu tak tiba-tiba terbuka.
“Mal,” suara Ibu Mala seperti suara hantu di siang bolong bagi mereka, Axell menarik tubuhnya hingga kursi berderit. Mala menoleh ke arah Ibu dengan gerakan kaku. Sambil berharap mudah-mudahan ibu tak melihatnya.
“Sudah solat isya belum? Kayaknya belum masuk dari tadi?” Tanya Ibu, Mala langsung berdiri dan menghampiri ibu.
“Nak Axell mau sholat juga, di depan sana ada mushola, atau mau sholat di dalam nanti ibu siapkan?” Tawar Ibu dengan senyum ramah, namun senyum itu justru terlihat menyeramkan bagi Mala, sementara Axell hanya tersenyum kaku.
“Lho kok malah senyum, ehh Mala.. kenapa?” Mala membelalakkan mata dan menarik ibu ke dalam, rasanya jadi canggung. Setelah memastikan pintu tertutup rapat dan mereka agak jauh dari Axell, baru lah Mala melepaskan tangan dari ibunya.
“Kenapa sih nak?”
“Mah, Axell non muslim.” Mala menunduk takut.
Ibu melotot tak percaya.
“Kamu bilang dia pacar kamu?”
“Iyaa.. tapi...”
“Jadi kamu pacaran sama seseorang yang beda agama? Mau bertahan berapa lama? Apa Mamah terlalu memberi kebebasan ke kamu? Putusin sekarang Mal, mamah enggak mau lihat kamu sampai.. sampai...” Ibu Mala tak kuat menahan kata-kata selanjutnya, dia membalik badan. Membelakangi Mala. Mala memeluk ibunya dari belakang.
“Maafin Mala mah, tapi Mala bahagia sama dia, kebahagiaan yang enggak pernah Mala rasakan sampai sekarang. Mala bisa jadi diri Mala sendiri di depan dia. Mala sayang dia.” Mala mengecup bahu ibu.
Ibu Mala melepas tangan anaknya untuk memisahkan diri.
“Kamu harus tahu kapan waktunya harus berhenti!” Ibu Mala pun berlalu masuk kamar. Sementara Mala memutuskan untuk melakukan sholat isya sambil menenangkan diri sebelum keluar. Dia tak mau Axell berpikiran macam-macam melihat raut wajahnya.
***
“Mamah kamu marah?” Pertanyaan pertama Axell setelah Mala duduk di kursi dan membuka buku musik yang Axell bawa tadi. Mala hanya menggeleng.
“Cuma syok hahaha,” Mala tertawa, mencoba mencairkan suasana. Axell justru mengacak-acak rambut Mala.
“Yaudah kamu nyanyi, aku yang iringin.” Axell berusaha mencairkan suasana, tak mau membuat perasaannya dan Mala jadi semakin memburuk. Toh dia sudah pernah menebak konsekuensi berpacaran dengan wanita yang beda keyakinan dengan dirinya itu.
“Suara aku jelek,”
“Iya aku tahu,” kekeh Axell yang langsung mendapat cubitan dari Mala, bukannya dihibur atau apa? Malah dibilang sudah tahu. Pacar enggak peka!
Mala menyanyikan lagu dari Andmesh – Cinta Luar Biasa, Axell mengiringinya dengan sangat mahir, seolah hapal diluar kepala. ‘Lagu Kere’ kalau kata mereka berdua karena memang di lirik itu menceritakan bahwa dia adalah seorang pria yang tak punya apa-apa meski hanya sekuntum bunga. Meskipun begitu, dia mempunya cinta luar biasa yang bisa dipersembahkan untuk sang pujaan hati.
Wajar sih Axell banyak hapal kunci dari lagi-lagu karena memang dia sering manggung di cafe sebagai gitaris. Sementara Stephan biasanya pegang drum. Selain jago menggunakan spatula, lelaki bertato itu juga jago menabuh drum. Dan Retha yang menjadi vokalisnya.
Sejak sekolah menengah atas, Axell sudah membentuk Band dengan Stephan dan Retha yang memang mereka bersahabat sejak kecil, bersama dengan dua orang teman lainnya.
Namun di cafe kini ada pemain band tetap karena Stephan justru sibuk memasak, dan Retha yang sibuk melayani pelanggan. Sementara biasanya Axell sibuk jadi mandor dan bikin rusuh dua sahabatnya itu.
“Retha bilang dia dulu naksir kamu?” Setelah menyanyikan dua lagu, Mala mencoba mengatur nafas dengan bertanya hal lain. Ya wajarlah nafasnya tersengal memang dia sangat jarang nyanyi sebelumnya.
Nyanyi pun paling hanya reff nya saja, dia memang suka mendengarkan musik, tapi kalau untuk pengetahuan menyanyi, nol besar.
Masih untung jika saat dia menyanyi ada yang tau lagu yang dia nyanyikan, karena biasanya dari awal sampai akhir nadanya selalu flat.
“Retha? Hahaha itu mah dulu waktu TK, dia ngikutin aku kemana aja aku pergi lucu deh. Trus dia bilang ke mamih kalau dia suka sama aku. Aku aja enggak ngerti suka-sukaan akhirnya aku suruh Stephan yang bales suka sama dia,” Kenang Axell sambil tertawa. Konyol memang bagaimana bisa membalas perasaan seseorang lewat orang lain.
“Kok lucu sih, trus Stephan jadi beneran suka gitu?” Kekeh Mala melihat ekpresi Axell yang menjadi cerah tak seperti tadi.
“Kita bersahabat karena tetanggaan juga sih satu kompleks. Dari kecil, Retha tuh tomboy banget, pas aku dibikinin rumah pohon sama papi, dia ikut-ikutan naik ke atas. Sampai SMA aku sama Stephan enggak pernah anggep dia cewek karena tomboynya itu. Tapi pas Prom Nite, dia pake gaun. Tetep aja enggak ada yang mau ajak dia dansa, akhirnya si Stephan yang ngajak dia dansa, daripada liat si Retha mewek kan? Setelah itu malah Stephan suka beneran dan mereka jadian setahun setelah Prom.”
“Kamu enggak Dansa? Enggak laku ya?” Kekeh Mala meledek Axell, Axell hanya mengangguk daripada jadi perang dunia. Karena yang sebenarnya terjadi, malam itu beberapa cewek sampai baku hantam ingin berdansa dengannya. Bahaya kalau Mala tahu. Lebih aman keep silent.
Malam semakin larut, dengan hati-hati Mala membuka pintu kamar ibunya. Terlihat Ibu Mala belum tertidur hanya terbaring menatap kosong pada langit-langit kamar. Mala jadi merasa bersalah, tapi dia juga tak kuasa memutuskan hubungan saat sedang cinta-cintanya.
“Mah,”
“Hmmm,” Jawab Ibu Mala.
“Axell mau pamit pulang.” Ibu Mala menatap Mala lalu membalikkan tubuh, tak mau melihat Mala. Mala menarik nafas panjang dan menutup pintu lagi. Ibu orang yang keras, Mala tahu itu dan tak mudah membuatnya berubah fikiran. Karena itu untuk saat ini Mala mengalah.
Dia keluar dan melihat Axell yang sudah berdiri dengan menenteng tas gitar.
“Mamah udah tidur, besok aku salamin ya.” Axell hanya tersenyum, tak ada yang bisa dia lakukan selain tersenyum dan menunjukkan pada Mala bahwa dia baik-baik saja dengan ini semua.
“Ya udah aku pamit ya, ini gitarnya taruh kamar kamu aja ya.”
“Kamu mau ke kost-an?” Mala mengambil tas berisi gitar itu dan mencangklongnya.
“Mau mampir ke Cafe dulu, liat anak kunyuk beres enggak kerjaannya?” Mala hanya tersenyum simpul. “Hati-hati ya,”
“Iya Ay,” Axell memegang tangan Mala, “Masuk gih udah malem,”
“Nyuruh masuk kenapa tangannya malah dipegang?” Contoh nyata ketika mulut dan perbuatan tak sinkron ya seperti ini nih. Axell menatap wajah Mala lama dan dalam. Lalu dia menaikkan kedua alisnya. “Apa?” Desis Mala, tak mengerti. Tangan kiri Axell merengkuh kepala Mala agar lebih dekat lalu dia mendaratkan bibir di kening Mala.
“Good nite, ketemu di mimpi yaa.” Ucapnya setelah beberapa detik menahan bibirnya di kening Mala. Mala tersenyum malu, apa sih? Kan dia sudah pernah pacaran selama lima tahun pula. Tapi kenapa kini rasanya beda, jauh lebih berdebar.
Tapi Mala dengan cepat menepis rasa itu, toh dulu juga ketika dia pertama kali dicium oleh mantannya, dia merasa degupan jantung seperti ini.
“Hati-hati ya.” Ucap Mala sambil melambaikan tangan, Axell mengangguk dan melajukan motornya meninggalkan Mala yang langsung berbalik badan, masuk ke dalam rumah.
***
Mala mengetuk pintu kamar ibunya, tak ada jawaban. Diapun melongokkan kepala, melihat apakah wanita yang melahirkannya dua puluh tujuh tahun itu sudah tertidur?
Ternyata ibu Mala masih bangun, matanya menatap kosong ke langit-langit rumah. Persis seperti tadi ketika Axell mau pamit.
“Mah,” Ibu Mala nampak melihat putrinya, lalu membalikkan tubuh menghadap tembok-lagi.
Mala duduk di kasur ibunya, dia menarik nafas panjang. Tangannya mengusap bahu ibunya lembut. Lalu dia menariknya karena ibu Mala seperti menolak.
“Mamah tau, Mala sudah mengubur jauh semua keinginan Mala sejak Ayah meninggal tujuh tahun lalu?” Tak ada reaksi dari ibunya, Mala pun membalikkan tubuh, menghadap ke lemari baju ibunya. “Dulu Mala kuliah sambil kerja, apapun Mala kerjakan demi bisa menutup bayaran kuliah. Mala tidak sepandai Adel yang sering dapat beasiswa dan bisa mengajar privat. Yang Mala bisa lakukan hanya bekerja di toko dengan gaji yang hanya cukup untuk menutupi bayar kuliah.” Mala menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Semua Mala lakuin karena Mala enggak mau nambah beban mama, kalau masalah malu, ya sebagai anak pertama yang sedari kecil selalu terpenuhi kebutuhannya, tentu Mala pernah juga merasakan malu membawa gorengan, bahkan Mala ikut berjualan di kelas. Tapi Mala kubur dalam-dalam rasa malu itu, demi bisa memberikan Mamah uang hasil penjualan gorengan itu.”
“Sampai Mala lulus dari kuliah dan bekerja, apa Mamah pernah lihat Mala ganti tas? Enggak kan Mah? Tas yang Mala pakai itu sudah bertahan hampir sepuluh tahun, warnanya sudah pudar. Tapi Mala tetap menggunakannya, Mala berfikir kalau adik-adik lebih butuh gaji Mala untuk sekolah dan kegiatan lainnya.” Suara Mala agak bergetar tapi tak bernada tinggi. Dia mencoba mengontrol emosinya sekuat tenaga.
“Mala menekan semua keinginan Mala, demi Mamah dan adik-adik. Demi keluarga kita, tapi kali ini mah... hanya kali ini aja, Mala sangat menginginkan sesuatu Mah, yaitu mamah setidaknya membiarkan Mala berpacaran dengan Axell. Mala merasakan kebahagiaan yang enggak pernah Mala rasakan sebelumnya mah ketika Mala bersama dia.”
Terlihat Ibu Mala membalikkan tubuh, menghadap punggung Mala yang terlihat naik turun menahan emosi dan sedih.
Kalau saja ibu Mala tak mempunyai fisik yang lemah, ingin rasanya dia bekerja seperti wanita karir pada umumnya. Tapi sejak lulus sekolah dan menikah dengan ayah Mala, dia tidak diperbolehkan bekerja dan hanya diperbolehkan mengurus anak dan rumah tangga saja.
Meskipun hidup mereka jauh dari kata berkelebihan, tapi ayah Mala selalu berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya, banting tulang demi empat anak perempuannya.
Karena itu ketika Ayah Mala meninggal, dunianya seakan ikut runtuh. Pria satu-satunya yang menghidupi keluarga telah pergi untuk selamanya. Sementara dia tak mempunyai pegangan lain. Membiayai empat anak yang bahkan anak terakhirnya masih kecil-kecil dan kembar sungguh tak mudah.
Beberapa barang berharga habis dijual untuk kebutuhan hidup. Akhirnya ibu Mala mencoba membuat gorengan dan menaruh di warung-warung karena untuk berjalan jauh menjajakan gorengan pun dia tak terlalu mampu akibat fisiknya yang lemah dan sering jatuh sakit.
“Mala tahu Mamah masih butuh waktu untuk menerima ini semua, Mala hanya berharap setidaknya Mamah bisa memberikan senyum Mamah ke Axell seperti sebelumnya. Terlepas dari mamah tahu tentang keyakinan kita yang berbeda.” Mala menoleh ke arah ibunya, tak sadar bahwa ibunya sudah berbalik badan menghadapnya.
Ibu Mala duduk dan mengusap punggung Mala. Bibirnya bergetar menahan sesak di d**a. Anaknya telah lama menderita karena faktor ekonomi. Kini saat anaknya tengah bahagia, betapa teganya dia menghancurkan kebahagiaan anaknya dalam sekejap pandang.
“Mamah, Cuma enggak mau Mala merasakan sakit nantinya. Sebelum rasa sayang itu semakin besar, sebaiknya Mala hentikan sekarang.” Mala menggeleng dengan kuat, digigit bibir bawahnya agar tak menangis, tapi sialnya air itu tetap turun dengan deras seperti rinai hujan.
“Rasa sayang Mala ke dia udah terlampau besar Mah, sekarang atau nanti sama saja. Mala akan merasakan sakit. Semua hanya tentang waktu Mah,” ucap Mala dengan nada memohon, diusap dengan kasar pipi yang basah itu.
“Sssst, Mala selama ini pasti tersiksa banget ya jadi anak sulung?” Tanya ibunya yang lebih seperti pernyataan. Tanggung jawab anak sulung, yang hanya bisa dirasakan oleh semua anak pertama dalam keluarga.
Bukannya mereda, tangis Mala malah semakin keras, dia bahkan terisak dan meraung. Ibu Mala segera memeluknya, membiarkan anak pertamanya yang difikir paling kuat menunjukkan sisi terapuhnya.
“Maafin Mamah ya sayang, Mala boleh lakuin hal yang Mala suka, tapi inget pesan Mamah ya, Mala harus tahu kapan waktunya untuk berhenti?” Mala hanya mengangguk dan semakin mengetatkan pelukan pada orangtua tunggalnya itu.
Yang Mala tidak tahu, bahwa hati ibunya terluka sangat dalam. Merasakan kesakitan anaknya yang terlalu dalam. Memikirkan masa depan anaknya yang nampak semakin abu-abu.
***