Aku tidak bisa melihat apa pun. Semuanya gelap. Lift juga berhenti.
Lututku mendadak lemas. Bayang-bayang kelam masa kecil itu muncul kembali di saat-saat seperti ini.
Seorang anak kecil berusia enam tahun yang dikurung oleh anak-anak lain di gudang terkenang kembali. Anak kecil yang menangis ketakutan di dalam ruangan yang gelap. Ia menjerit meminta tolong, tetapi tak seorang pun menolongnya.
Ia terus berada dalam kegelapan itu sendirian, dalam waktu yang lama. Gadis kecil itu ... kini tampak di hadapanku, dengan wajah yang penuh air mata ketakutan.
Tidak! Tolong aku! Siapa pun tolong aku!
Aku ingin berteriak, tetapi napasku tercekat. Dadaku begitu sesak. Tubuhku terkulai lemah di lantai lift. Aku benar-benar tidak bisa bergerak. Aku takut gelap. Aku sangat takut ....
Tolong! Pak Rendra ... tolong aku!
Lampu tiba-tiba menyala kembali. Aku bisa melihat lift ini lagi. Lampu di tombol lantai lift juga menyala. Namun, aku masih tak bisa bergerak. Bahkan lidahku sulit berbicara.
Dadaku benar-benar sakit. Fobiaku terhadap kegelapan terlanjur kambuh.
Aku hanya bisa menjerit dalam hati agar seseorang menemukanku di dalam lift ini. Aku benar-benar merasa lemas.
Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka. Seseorang berlutut di depanku dan memegang kedua lenganku.
“Ayana, kamu baik-baik saja?”
Perlahan aku menoleh padanya. Wajah itu terlihat panik, sama seperti suaranya yang kudengar barusan.
“Ayana, jawab saya!”
Aku masih belum mampu berbicara. Air mataku yang perlahan mengalir dengan bibir yang kucoba untuk terbuka.
Pak Rendra langsung mengangkatku dengan kedua tangannya (bridal style). Ia menggendongku keluar dari lift dan berjalan menuruni anak tangga menuju lantai satu.
Tanpa sadar aku terus menatap wajahnya yang memandang lurus ke depan. Entah mengapa aku merasa nyaman berada dalam gendongannya seperti ini. Sekelebat bayangan masa kecil itu pun tak lagi melintas di benakku.
Ia mendudukkanku di sofa lobi kantor, lalu mengambil air mineral yang tersedia di meja.
“Minumlah.” Pak Rendra meletakkan mulut botol itu di bibirku dan menuangnya perlahan-lahan.
Setelah tiga tegukan air masuk ke tenggorokan, aku merasa lebih baik. Kuhapus air mata yang masih tersisa di pipi.
“Sudah lebih baik?” tanya Pak Rendra.
Aku mengangguk.
“Ayo pulang.”
Aku mengikutinya berdiri. Namun, lututku masih terasa lemas hingga aku nyaris terjatuh. Untung saja Pak Rendra sigap menahan lenganku.
“Kamu bisa jalan tidak?” tanyanya.
“Bi-bisa, Pak.” Akhirnya aku bisa kembali berbicara meski masih terbata-bata.
“Ayo, pelan-pelan.”
Kami pun berjalan menuju tempat parkir. Lelaki ini dengan sabar berjalan pelan di sampingku.
“Naik mobil saya saja,” ujarnya ketika kami sudah tiba di tempat parkir.
“Sa-saya bawa mobil, Pak.”
“Saya khawatir kamu menyetir dengan kondisi seperti ini. Ayo ikut, jangan banyak protes.”
Aku tidak tahu itu perintah atau bentuk kepedulian. Nada bicara dan tatapan matanya sulit untuk kuartikan. Padahal, saat di lift tadi, aku melihat dia begitu khawatir padaku.
Aku pun akhirnya menurut, pulang dengan mobilnya. Aku kesulitan memasang sabuk karena tanganku masih gemetar, walau kejadian di lift tadi sudah berlalu beberapa menit.
Pak Rendra tiba-tiba membantuku memasang sabuk pengaman. Dia menarik sabuk dari sisi kiriku hingga wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Refleks aku menegang dan memundurkan kepala hingga bersandar di kepala jok mobil.
Ia menatapku sejenak, lalu kembali ke posisinya di balik kemudi.
“Apa kamu fobia gelap?” tanyanya setelah mobil melaju.
“Iya. Saya sangat takut berada di tempat yang gelap.”
“Apa pernah terjadi sesuatu hingga kamu fobia dengan kegelapan?” tanyanya lagi.
Aku menarik napas sejenak. Menceritakan itu berarti akan membangkitkan kembali memori akan kenangan-kenangan buruk itu.
“Ya sudah kalau tidak mau cerita,” ujarnya lagi setelah melihatku hanya diam.
“Sudah sangat lama,” ucapku kemudian. Dia menoleh dan kami saling bertatapan. Dari sorot matanya aku bisa melihat kalau Pak Rendra sangat ingin tahu.
“Saya tinggal di panti asuhan sejak kecil.”
Lelaki itu menoleh lagi mendengar pengakuanku.
“Di sana, saya sering mendapat bully dari anak-anak panti, jika tidak ada yang mengawasi kami,” lanjutku. “Ketika saya berumur enam tahun, sore itu ibu panti sedang keluar, kakak-kakak yang bertugas di sana juga tidak kelihatan. Di situ anak-anak panti lainnya mem-bully saya habis-habisan.”
Aku mengatur napas sejenak agar bisa mengendalikan hati dari ingatan buruk itu. Sementara, Pak Rendra masih diam menunggu ceritaku.
“Puncaknya, mereka mengurung saya di gudang. Tempat itu sangat gelap. Saya tidak bisa melihat apa pun.”
Dadaku mulai sesak menceritakan bagian ini. Ayana kecil dengan wajah ketakutan dan basah penuh air mata mulai muncul di hadapanku.
“Tidak usah dilanjut jika kamu tidak bisa,” ujar Pak Rendra.
Aku menggeleng, lalu melanjutkan kisah yang membuatku trauma dengan tempat yang gelap.
“Saya berteriak, menggedor pintu, tapi mereka sama sekali tidak peduli.”
Kedua mataku mulai menghangat. Kelopak mataku mulai dipenuhi dengan air mata.
“Saya hanya mendengar tawa mereka di depan pintu. Saya menangis, memohon, tapi semuanya sia-sia, hingga suara mereka tak terdengar lagi.”
Air mataku mulai mengalir menceritakannya. Pak Rendra memberikan tisu padaku. Kuusap air mata dan melanjutkan ceritaku.
“Ruangan itu sangat menakutkan. Ada sesuatu yang berjalan di dekat kaki saya. Saya tidak tahu itu apa. Saya menjerit dan melompat-lompat. Saya begitu ketakutan sampai tak lagi merasakan apa pun.”
“Entah sudah berapa lama saya berada di gudang. Saat saya membuka mata, saya sudah berada di ruang kesehatan bersama ibu panti.”
Aku mengusap kembali air mata dan menarik napas panjang.
“Lalu, apa kamu menceritakannya kepada ibu panti?”
“Tidak. Saya terlalu takut untuk menceritakannya. Tapi, ibu panti bilang dia menemukan saya di gudang malam hari setelah mencari-cari saya, dan akhirnya ada yang memberitahu di mana saya berada.”
“Apa yang terjadi dengan anak-anak itu?” tanya Pak Rendra.
“Mereka semua dihukum membersihkan seluruh ruangan selama seminggu dan tidak diberi uang saku.”
Aku melihat Pak Rendra menghela napas mendengarnya. Tidak tahu apa yang ia pikirkan.
“Meski mereka dihukum lebih berat dari itu pun, tetap menyisakan trauma bagi saya, yang hingga saat ini belum bisa saya hilangkan.”
“Kamu harus melawannya.”
Aku menoleh padanya. “Me-melawannya?”
“Iya. Ketakutan seseorang harus dilawan agar bisa hilang.”
“Caranya?” tanyaku penasaran.
“Menghadapinya.”
Aku mengerutkan dahi melihatnya.
“Jika ada waktu, saya akan membantumu menghilangkan fobiamu itu,” tuturnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu kembali bersandar dan melihat ruko-ruko dan gedung-gedung tinggi dari balik kaca mobil.
Setelah itu, tak ada yang bersuara di antara kami. Pak Rendra hanya fokus mengemudi. Aku juga tak ingin berbicara apa-apa lagi.
Aku memejamkan mata, merasakan tubuh yang begitu lelah, juga lelah hati dan pikiran. Hingga tanpa terasa aku terlelap selama perjalanan pulang.
“Sudah sampai. Bangun, Ay.” Samar-samar terdengar suara Pak Rendra.
Aku masih enggan membuka mata.
“Ay, kamu mau tidur di sini saja?”
Perlahan kubuka mata dan melihat sekitar. Ternyata sudah sampai di basement gedung apartemen kami.
“Ayo turun,” ucapnya lagi.
Aku pun turun dari mobil dan berjalan sempoyongan di belakang Pak Rendra. Dari basement ke lantai empat, kami juga saling diam, hingga sampai di depan pintu apartemen masing -masing.
“Pak!” panggilku saat Pak Rendra membuka pintu.
Ia menoleh padaku.
“Terima kasih,” ucapku.
Pak Rendra mengangguk dan tersenyum, lalu masuk ke apartemennya.