Di Pantai

2090 Words
Riasan natural telah selesai kupakai di wajahku. Dress putih selutut tanpa lengan kuayun-ayunkan ke kanan dan kiri. Tak lupa topi bucket berwarna krem, yang siap menutupi wajahku dari sinaran matahari. Sun block dan krim lain yang bisa melindungi kulitku dari teriknya matahari di pantai juga telah kuoles sempurna. Aku siap untuk pergi ke pantai bersama Devian. Menghabiskan akhir pekan berdua, setelah beberapa bulan hubungan kami merenggang. Setelah menunggu beberapa saat di sofa sambil memainkan permainan di ponsel, Devian datang menjemput. “Kamu cantik sekali, Sayang,” ucapnya saat melihatku. Aku tersenyum. Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar pujiannya. Kukecup pipinya sebagai tanda terima kasih. “Sudah siap?” tanyanya. Aku mengangguk. Kami pun meninggalkan apartemenku. Kugandeng tangannya selama berjalan menuju basement gedung apartemen. Namun, aku sempat melirik ke pintu apartemen Pak Rendra sebelum masuk ke lift. Sejak kemarin aku tak lagi melihatnya. Entah apa yang dia lakukan setelah insiden di restoran kemarin. Aku sama sekali tak mengerti tentang dirinya. Saat mobil Devian keluar dari basement, aku melihat mobil Pak Rendra dari arah berlawanan menuju basemen. Kedua mobil ini bersisian dari arah yang berbeda. “Kamu lagi ngelihatin apa, Ay?” tanya Devian, yang membuatku tersadar. Segera kuluruskan kepala menghadap ke depan. “Ah, tidak ada. Aku pikir tadi mobilnya Lesti.” “Mobil hitam yang barusan masuk tadi?” Aku mengangguk pelan, berharap Devian tidak tahu kalau itu mobilnya Pak Rendra. “Bukannya mobil Lesti Rush putih?” “I-ya,” jawabku gugup. “Kamu lupa mobil sahabat kamu sendiri?” “Tidak. Cuma, dia sesekali menjemputku pakai mobil orang tuanya. Mirip yang tadi,” jawabku berbohong, dengan menyembunyikan rasa gugup. “Oh,” sahut Devian singkat, tanpa terlihat curiga sedikit pun padaku. Sepertinya Devian memang benar-benar tidak tahu kalau itu adalah mobil manajer keuangan yang baru di Vent Group. Mobil Devian terus melaju hingga kami tiba di sebuah pantai yang sering kami berdua kunjungi. Dulu, minimal satu bulan sekali Devian membawaku ke tempat ini. Aroma air laut langsung terasa di hidungku. Angin sepoi-sepoi menyapu lembut wajahku. Rambut yang kubiarkan tergerai, melambai-lambai mengikuti arah angin. Aah, segar sekali rasanya berada di tepi laut seperti ini. Rasanya sudah cukup lama aku tak lagi mengunjungi tempat ini. Aku merentangkan kedua tangan ke samping, merasakan segarnya angin di tepian pantai. Tiba-tiba Devian mengejutkanku dengan memelukku dari belakang. Aku jadi merasa seperti ada di adegan film Titanic. “Sudah berapa lama kita tidak ke sini,” ujarnya sambil menyandarkan dagunya di pundakku. Kedua tanganku kini beralih memeluk lengannya. Aku hanya tersenyum dan menyandarkan kepalaku di kepalanya. Sambil memejamkan mata, aku merasakan kerinduan yang mulai terobati. “Aku mencintaimu, Ayana,” bisik Devian di telingaku. Aku lantas membuka mata dan menoleh padanya. “Aku juga mencintaimu, Dev,” balasku. Devian memutar tubuhku menghadapnya. Kedua tangannya kini membelai lembut pipiku. “Aku merindukan saat-saat seperti ini,” ucap Devian. Aku menggenggam kedua tangannya dengan lembut. “Aku lebih merindukannya dari apa pun.” “Terima kasih, Ay.” “Untuk?” “Sudah bersedia menungguku dan tetap menjadi Ayana-ku seperti dulu.” Aku tersenyum hangat, lalu mengajaknya berjalan mengitari pantai sembari menikmati udara segar dan pemandangan alam yang indah. Matahari sudah berada pada puncaknya. Kami pun beristirahat di sebuah rumah makan seafood, serta menikmati segarnya air kelapa muda, ditambah sejuknya angin pantai yang berembus ke dalam restoran terbuka ini. Saat sedang menunggu pesanan makanan kami tiba, ponsel Devian berdering. Ia mengambil ponsel dari saku celananya. Raut wajah lelaki di hadapanku itu langsung berubah saat melihat layar ponselnya. Sementara, dering ponsel masih terus terdengar. “Kenapa, Dev?” tanyaku penasaran. Ia lantas mematikan panggilan itu tanpa menjawabnya. “Kenapa kamu tolak? Bella yang menelepon?” tanyaku langsung ke intinya. Devian mengangguk pelan. “Sudahlah. Tidak penting. Aku mau menikmati—“ Belum selesai Devian berbicara, ponselnya berdering kembali. Kali ini raut wajah Devian tampak serius. Ia sampai mengerutkan dahi melihat layar ponselnya. “Angkat saja, Dev,” ujarku. “Ini bukan Bella,” sahut Devian. “Jadi siapa?” Devian tak menjawabku. Ia segera mengangkat telepon dan beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu menjauh dari meja dan berbicara dengan suara tertahan. Aku tak bisa mendengar apa yang Devian bicarakan dengan orang yang meneleponnya. Bahkan, aku sama sekali tidak tahu siapa yang menelepon Devian, hingga ia harus menghindariku seperti itu. Tak lama, Devian kembali ke tempat duduknya. Raut wajahnya tampak sangat kesal. “Ada apa?” tanyaku yang sudah tidak sabar ingin tahu. “Ay, aku harus segera pulang.” Aku sedikit terkejut mendengarnya, meski sudah menduga akan berakhir seperti ini. “Sekarang?” Devian mengangguk. “Bella, dia datang ke rumah orang tuaku. Barusan Mama yang menelepon dan memintaku pulang.” “Pulanglah,” balasku singkat. Aku tahu Devian tidak pernah bisa melawan kehendak ibunya. “Ay, aku—“ “Tidak apa-apa, Dev. Mereka lebih penting.” Devian mendesah kesal dan menyugar kasar rambutnya. “Kamu sangat penting bagiku, Ay.” “Tidak, Dev!” balasku tegas. Devian mematung mendengar jawabanku. “Kalau aku sepenting itu dalam hidupmu, pasti kamu lebih memilihku dibandingkan Bella, dan mengenalkanku pada dunia.” Lagi-lagi aku membahas hal itu, meski Devian sudah berkali-kali berjanji akan menikahiku setelah menceraikan Bella. “Kenapa kamu selalu mengungkit-ungkit hal itu, Ay?” Kali ini raut wajah Devian tampak marah padaku. Aku tahu dia sangat tidak senang jika aku membahasnya. “Pergilah, Dev. Mereka sudah menunggumu.” Lelaki itu menarik napas panjang dengan kesal. “Aku antar kamu pulang dulu,” ucapnya sebelum beranjak dari tempat duduknya. “Tidak perlu. Aku masih mau di sini,” jawabku. “Aku yang membawamu pergi, aku juga yang akan mengantarmu pulang!” tegas Devian. “Aku tidak mau, Dev! Aku masih ingin di sini. Pikiranku akan lebih segar di sini daripada di rumah, memikirkanmu yang sedang bersama Bella.” Devian tampak tak bisa berkata-kata mendengar ucapanku. Dia merapatkan gigi-giginya dan mengepalkan tangannya. “Oke!” ucapnya kemudian. Ia memanggil pelayan dengan mengangkat satu tangannya, lalu membayar semua makanan dan minuman yang kami pesan sebelum pergi. “Aku pergi,” ucapnya, lantas meninggalkanku seorang diri. Aku menghela napas panjang. Bahkan, untuk satu hari saja pun, Devian tak bisa lagi memberikannya padaku. “Silakan.” Seorang pelayan meletakkan pesanan makanan kami di meja. “Terima kasih,” ucapku pada gadis yang kutaksir masih berusia dua puluh tahun. Aku menatap lesu makanan di meja setelah pelayan itu pergi. Meski tampak lezat, tetapi aku tak lagi memikili nafsu makan. Rasa lapar yang sejak tadi melanda pun, kini menguap entah ke mana. “Mau kutemani?” Suara seseorang di belakang mengagetkanku. Spontan aku menoleh dan semakin terkejut melihat sosok yang berdiri sembari tersenyum lebar. “Pak Rendra?” “Kenapa? Kamu terkejut aku ada di sini?” tanyanya seraya duduk di hadapanku tanpa permisi. “Bagaimana Bapak bisa tahu saya ada di sini? Apa Bapak mengikuti kami?” Lelaki itu mengangguk. “Beruntung mobilku berpapasan dengan mobil direktur. Jadi, aku bisa langsung mengikuti kalian,” terangnya. Astaga! Jadi, sejak tadi Pak Rendra mengikuti kami? Bahkan dia sampai tahu aku dan Devian makan di sini, dan langsung menghampiriku begitu Devian pergi. “Anda benar-benar seorang penguntit profesional, Pak Ruri Narendra,” sindirku. Dia menaikkan sebelah bibirnya, tampak tak peduli dengan ucapanku. Aku tak ingin meladeni orang satu ini. Kuputuskan untuk pergi. Aku pun beranjak dari tempat dudukku, tak peduli lagi dengan makanan yang sama sekali belum tersentuh. “Mau ke mana?” tanyanya. Aku menoleh dan berkata, “Bukan urusan Anda.” Lalu berjalan keluar restoran seafood itu. Aku kembali berjalan di tepian pantai untuk membuang rasa kecewa terhadap Devian. Kuletakkan sandal sedikit menjauh dari ombak, lalu kubasahi kaki. Kubiarkan ombak menghantam kaki hingga membasahi ujung gaunku. Saat aku berbalik badan, kulihat Pak Rendra berdiri di dekat sandalku dengan kedua tangan bersedekap di d**a. Ia memandangku dengan tatapan datar. Ah, aku tak mau peduli. Sekarang aku hanya ingin melepas penat, sedih, marah, dan kecewa atas apa yang selama inj menimpa hidupku. Aku ingin semua rasa itu hilang bersama ombak yang terus datang menyapu pasir yang kuinjak. Aku berjalan semakin ke tengah. Kini tak hanya tumit dan ujung gaunku saja yang basah diterjang ombak, air juga sudah membasahi bagian atas lututku. Rasanya lebih segar. Mungkin, akan lebih segar lagi jika aku membasahi seluruh tubuhku dengan air laut ini. Seperti pengunjung lain yang dengan gembira mencemplungkan dirinya ke dalam air. Aku pun berjalan lagi hingga air laut menutupi bagian perutku. Namun, samar-samar aku mendengar teriakan dari belakang. “Ayana, apa yang kamu lakukan?” Aku menoleh dan melihat Pak Rendra melambaikan tangannya, memintaku untuk kembali ke tepian pantai. Aku tak peduli. Aku hanya ingin membasahi tubuhku dengan air laut. Aku merentangkan kedua tangan dan terus berjalan hingga air sampai di d**a. Perlahan-lahan semakin naik hingga aku benar-benar berada di bawah air. Rasanya benar-benar segar. Apalagi air laut ini begitu jernih dengan hamparan biru yang luas. Tiba-tiba tangan seseorang memegang lenganku. Aku terkejut sampai kehilangan keseimbangan dan nyaris tenggelam. Tangan itu kemudian menarikku ke permukaan hingga aku bisa kembali menguasai diri dan mengatur napas. “Apa kamu bodoh? Kamu mau mati hanya demi Devian?!” teriak lelaki yang kini masih memegang kedua lenganku. Wajahnya terlihat sangat panik, sama seperti saat ia menolongku keluar dari lift malam itu. “Bapak yang bodoh!” balasku berteriak. “Apa katamu?” “Bapak bodoh! Siapa juga yang mau mati?” Dia melepaskan tangan dari lenganku dengan kasar. “Lalu kenapa kamu berjalan ke tengah?” Aku menarik napas panjang sebelum menjawabnya, agar bisa berbicara dengan tenang. “Pak Ruri Narendra yang saya hormati,” ujarku pelan dan sangat sopan, “saya hanya ingin merasakan air laut yang jernih ini membasahi tubuh saya. Apa Bapak paham?” “Hhh! Yang benar saja! Kalau mau mandi, kenapa harus ke tengah?” “Ya suka-suka saya. Kenapa Bapak yang repot?” Dia tampak sangat marah setelah aku mengatakan itu. Tangannya lalu meninju air laut. “Matilah kalau kamu ingin mati!” ucapnya kasar sambil berjalan meninggalkanku. Tiba-tiba muncul sebuah ide nakal di kepalaku. “Aaa! Tolong!” Aku menjatuhkan diri dan berpura-pura hampir tenggelam. Namun, tak ada respon dari lelaki itu. “Pak Ren—“ Kuceburkan diri lagi ke bawah permukaan air laut hingga suaraku tak terdengar. Namun, masih juga tak ada tanda-tanda dia akan menolongku seperti tadi. Saat hendak berdiri, tiba-tiba kakiku mengalami kram. Rasanya begitu sakit hingga aku tak mampu menginjakkan kaki ke dasar. Aku kehilangan keseimbangan. Aku benar-benar akan tenggelam. Pak Rendra, tolong aku! Aku tidak bisa berteriak. Napasku mulai tersengal. Pandanganku mulai gelap. Pak Rendra, tolong .... Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Hingga samar-samar kudengar suara Pak Rendra menyebut-nyebut namaku. “Ayana! Sadarlah!” Aku terbatuk hingga mengeluarkan air dari mulut. Pak Rendra membantuku duduk. Wajahnya terlihat panik sekaligus kesal. Namun, ia juga terlihat lega. “Apa saya masih hidup?” tanyaku. Aku masih merasa takut atas kejadian tadi. Niat hati ingin menjaili Pak Rendra, malah aku yang kena batunya. Dia menatapku tanpa berkedip. “Kamu benar-benar ingin mati?” tanyanya dengan amarah yang tertahan. Aku menggeleng pelan. Mengapa rasanya ingin menangis dimarahi begitu oleh lelaki ini? “Maaf. Saya tadi hanya ingin mengerjai Bapak. Tapi tiba-tiba kaki saya keram,” tuturku. “Apa?” “Maaf ...,” ucapku tertunduk. “Jika tahu begitu, lebih baik saya biarkan saja kamu tenggelam,” ucapnya kesal sambil berdiri. Aku turut berdiri dan kembali meminta maaf padanya. “Maaf, Pak. Maaf, maaf, maaf!” Dia tak membalas lagi ucapanku, tetapi Pak Rendra membuka jaketnya, lalu kemejanya. Hingga ia hanya memakai kaus dalam berwarna hitam, yang menunjukkan otot-otot tubuhnya, termasuk otot lengan yang terlihat kekar, yang selama ini bersembunyi di balik jas maupun kemeja lengan panjangnya. “Pak, kenapa Bapak membuka pakaian?” tanyaku heran sekaligus malu berdiri di hadapannya seperti ini. Dia masih tak menjawab. Namun, dengan sigap ia pakaian kemejanya ditubuhku, kemudian mengikatkan jaketnya di pinggangku. “Percuma saja. Pakaian Bapak juga basah,” celotehku. “Kamu lihat pakaianmu!” balasnya. Aku pun memandang diriku sendiri dari d**a hingga lutut. Seketika kurapatkan kemeja Pak Rendra hingga menutup seluruh d**a hingga perut. Sedangkan jaketnya, menutupi bagian belakang bawah punggung dan bagian depannya. Gaun putihku tampak transparan setelah terkena air, dan membuatnya melekat di tubuh. Hingga setiap inci kulitku nyaris terlihat layaknya orang tanpa busana. Aku benar-benar merasa malu. Entah mau ditaruh di mana wajahku ini. Aku bahkan tak berani menegakkan kepala, menatap Pak Hendra. Pengunjung pantai juga masih banyak yang memperhatikanku. “Ayo jalan!” perintahnya sambil berbalik. “Pak!” Seketika aku menarik bagian bawah kaus dalamnya tanpa berani mengangkat wajah. “Terima kasih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD