Kalau ada hal-hal yang harus aku syukuri hingga detik ini, maka aku akan mensyukuri kehadiran Harsaka Galuh, putraku.
“Harsa, ulang tahun tahun ini dirayain di rumah enggak apa-apa?”
Harsaka yang sedang membaca buku menoleh ke arah sang Mami. Ditatapnya wajah Mika dengan mimik bertanya. “Emang kenapa, Mi?”
“Tahun ini kan ada pandemi, jadi Mami sama Papa belum bisa bikin perayaan di luar rumah, apalagi di restaurant.”
Harsa ber-oh ria, kemudian, anak laki-laki itu mengangguk. Senyum cerah terpatri di wajahnya yang bulat. “Boleh, Mam. Asalkan sama Mami dan Papa, Harsa mau-mau aja.” Jawabnya.
Mika tersenyum. Kuasanya bergerak untuk mengusap rambut Harsa yang agak sedikit panjang. Maklum, anak itu belum sempat potong rambut. Jay sibuk ngehost, sedang Mika sendiri masih harus merampungkan filmnya. Jadi, mereka sama-sama tak bisa menamani Harsa potong rambut.
“Pintar, Anak Baik. Kalau gitu, Harsa mau dibuatin apa buat ulang tahun?”
Mika membaringkan tubuh di samping Harsa yang kini sudah tak lagi membaca buku. Anak itu telentang dan matanya sibuk melihat-lihat plafon kamar yang di tempeli dengan stiker bintang-bintang, yang jika di keadaan gelap gulita, akan menyala terang. Glow in the dark.
“Harsa kayaknya mau nasi kuning sama ayam goreng serundeng aja deh, Mam.” Ungkap Harsa.
“Itu aja? Cake enggak mau?”
Gelengan Harsa menjadi jawaban. “Harsa bosen. Harsa pengin yang beda aja deh kali ini. Boleh kan, Mam?”
“Sure, Sayang. Selain itu, mau apa lagi?”
Harsa terlihat berpikir. Anak laki-laki itu menatap langit-langit kamar dengan pandangan ragu. Akankah dia katakan pada Mami soal keinginannya ataukah tidak? Jika dia mengatakannya pada Mami, apakah Mami akan mengabulkannya ataukah tidak?
“Harsaka Galuh? Kok ngelamun?”
Harsa menggeleng cepat-cepat. Anak itu menggigit bibir bawah sambil menatap sang Mami. “Sebenernya Harsa pengin sesuatu sih, Mam. Tapi Harsa enggak tahu Mami mau atau enggak ngabulin permintaan Harsa.”
“Apa? Mami enggak bisa janji bisa kabulin, tapi Mami akan usaha. Emangnya apa yang Harsa mau?”
“Harsa mau temen, Mi. Maksudnya tuh, Harsa mau punya adik. Satuuuuuuuu aja. Perempuan juga enggak apa-apa kok, Mi.”
Otak Mika terasa blank. Dia hanya bisa menatap Harsa dengan pandangan kosong bahkan setelah lima menit anak itu selesai mengutarakan apa yang dia inginkan untuk ulang tahunnya yang ke-10. Mika shock, jujur saja. Harsa tak pernah mengatakan ini sebelumnya, ini adalah kali pertama bagi anak itu. Astaga. Mika … bagaimana?
“Harsa pengin adik?” Mika mengulang peryataan Harsa.
Dia ingin memastikan sekali lagi bahwa putranya tidak benar-benar serius. Bisa saja anak itu melantur, atau telinga Mika yang kotor karena belum dibersihkan jadi dia salah dengar. Namun, pengharapan hanyalah harapan. Saat anggukan Harsa tujukan sebagai jawaban, di sana lah Mika merasa kepalanya ingin pecah detik itu juga. “Kok tiba-tiba banget, Dek?”
“Enggak tiba-tiba, Mam. Harsa itu pengin punya adik dari dulu. Tapi Harsa enggak berani bilang. Setiap Harsa bilang ke Oma soal pengin punya adik, Oma selalu bilang ke Harsa, ‘Tunggu Harsa besar dulu ya, Nak. Nanti setelah Harsa besar, sudah bisa pakai baju sendiri, mandi sendiri, dan belajar tanpa disuruh lagi, baru deh Harsa minta adik ke Mami sama Papa.’ Tuh, Oma bilang gitu ke Harsa.”
Mika terdiam. Jari-jarinya memijat keningnya yang pening. “Jadi, Harsa sekarang udah ngerasa mandiri?”
“Iya, Mam. Harsa kan udah enggak disuruh lagi kalau belajar. Mandi juga udah mandi sendiri sejak kelas 3 SD, terus Harsa juga udah bisa pakai baju sendiri, rapi. Harsa juga udah mau masuk SMP, dua tahun lagi. Eh, iya enggak sih dua tahun lagi? Harsa enggak tahu. Tapi, Mam, Harsa serius. Harsa pengin adiiiiiik.”
Ini kali pertama bagi Mika melihat Harsa seantusias ini ketika meminta sesuatu. Maksudnya, Harsa memang selalu terlihat antusias jika orang tuanya akan memberi dia sesuatu, atau ketika ada hal yang Harsa inginkan. Tapi, Mika merasa, raut senang Harsa dan antusiasme dalam nada suaranya terlihat berbeda.
Kamu mendamba adik sejak lama ya, Sa?
“Harsa boleh kan, Mam?”
“Apa?”
“Ituuuuu, minta adik.”
Mika menarik napas berat, kemudian berujar selembut mungkin agar putranya tak merasa tertolak. “Mami coba pikirin dulu ya, Dek? Boleh kasih Mami waktu?”
Harsa mengangguk. “Boleh. Tapi, nanti kalau Mami udah dapet jawabannya, tolong kasih tahu Harsa ya, Mam?”
“Pasti. Makasih ya, Harsa.”
•
Rupanya, Harsa tak hanya mengatakan itu pada Maminya saja. Anak laki-laki itu juga mengatakannya pada sang Papa, yang kemudian membuat Jay diam tak berkutik. Jay tak tahu harus merespon permintaan Harsa dengan kalimat apa.
Biasanya, Harsa hanya akan meminta dibelikan buku, Lego, atau makan bersama dengan Mami dan Papa di mall, atau hanya pergi mengunjungi rumah Nenek Oma—orang tuanya Mika—di Jogjakarta. Kalau Harsa meminta itu, Jay pasti akan mengabulkannya dengan cepat, yah kecuali yang terakhir. Untuk saat ini, belum bisa. Karena masih pandemi, dan Jay juga tidak ingin mengambil risiko. Namun, permintaan Harsa di tahun ini bukanlah itu semua. Melainkan; adik. Catat baik-baik: Harsa. Minta. Adik. Kepada. Jay.
Astaga, Jay ingin gila rasanya!
“Jadi, gimana, Papa? Boleh enggak?”
Kuasa Harsa memeluk pinggang sang Papa dengan erat. Jay mengunjungi anaknya dan berniat untuk membacakannya sebuah cerita sebelum tidur—dulu, ketika awal-awal Harsa tidur sendiri, Jay dan Mika bergantian membacakan buku kepada Harsa agar anak itu tidur dengan cepat. Rupanya, kebiasaan itu ada hingga sekarang, walau tidak setiap hari. Jay menggoyang-goyangkan sebelah kakinya, terlihat berpikir, dan menimbang-nimbang apakah kalimatnya pantas atau tidak untuk dia utarakan untuk menolak permintaan sang anak.
“Harsa pengin banget punya adik?” Hanya itu yang keluar dari bibir Jay.
Harsa mengangguk. Kepalanya mendongak, menatap ke arah Jay dengan pandangan berbinar. “Harsa pengiiiiiiin banget punya adik. Biar Harsa ada temennya kalau pas Mami sama Papa sibuk syuting lagi.”
“Kan ada Mbak Marni, Sa. Emangnya masih kurang?” Tanya Jay.
Mbak Marni adalah orang yang mengasuh Harsa dari bayi. Mbak Marni itu bukan orang jauh kok. Dia masih keluarga jauh Mika dari almarhum Neneknya.
“Kurang atuh, Pa. Mbak Marni enggak bisa diajak main mainan anak kecil. Kalau adik Harsa nanti kan bisa!” Ada kekehan kecil yang keluar dari bibir Harsa.
Jay menarik napas. Dia memutar otak. Aku harus menolak dengan cara apa? Aku ingin menyerah, kan? Kenapa tiba-tiba Harsa pengin adik? Astaga ….
“Harsa minta adik gini udah bilang sama Mami?”
“Udah kok, Pa. Harsa bilang duluan ke Mami, kemarin.”
“Terus, Mami bilang apa?”
Harsa menarik ingus dan merapatkan tubuh ke arah Jay karena merasa dingin. Pendingin ruangan di-setting ke angka 16, sedangkan cuaca di luar sedang hujan. “Mami bilang, Mami minta waktu buat mikir. Jadi, Harsa kasih Mami waktu deh.”
“Mami enggak bilang apa pun lagi?”
“Iya.”
“Oke deh.”
“Oke apa, Pa?” Tangan Harsa menarik ujung piyama Jay dan membuat pria itu menunduk ke arahnya. “Jadi, jawaban Papa apa?”
“Masih soal adik?” Harsa mengangguk. Jay menarik napas berat. Kuasanya mengusap punggung sang putra dengan sayang. “Nanti, ya. Papa pikir-pikir dulu boleh? Karena punya adik itu bukan hal yang gampang, Harsa. Tanggung jawabnya besar sekali.”
“Tanggung jawab? Apa itu tanggung jawab, Pa? Dan besar, memangnya sebesar apa?”
“Tanggung jawab itu artinya kamu siap nanggung segala risiko dari keputusan yang kamu buat.”
“Hah?”
Jay tertawa. “Gini, kalau Harsa makan cokelat terus, ntar gigi Harsa rusak. Harsa siap enggak dibawa ke dokter gigi dan dicabut giginya?”
“Enggak mau.”
“Nah, tanggung jawab itu kayak gitu. Kalau Harsa udah mutusin untuk makan cokelat, akibatnya gigi Harsa rusak. Karena gigi Harsa rusak, jadi Harsa harus ke dokter gigi untuk cabut giginya, supaya bagus lagi.”
“Harsa enggak ngerti.”
Jay tertawa lagi. “Enggak apa-apa. Enggak semua hal harus Harsa paham sedari dini.”
“Iya, Pa. Tapi, sebesar apa emang tanggung jawabnya?”
“Besar banget, Nak. Harsa pernah kan Papa kasih lihat video waktu Mami melahirkan Harsa?” Harsa mengangguk. Jay pernah memberi tahu Harsa tentang video Mika saat melahirkan buah hatinya. “Nah, adik yang Harsa minta itu, nanti dilahirin sama Mami. Harsa lihat kan, seberapa sakit Mami waktu itu? Harsa mau Mami kayak gitu lagi?”
Harsa termenung. Dulu, saat Papa memberinya video itu, Harsa menangis. Dia tak tega melihat Mika yang kesakitan sepanjang video karena kontraksinya yang lama. Belum lagi, waktu itu, Harsa lahir dengan berat badan yang besar. Jadi, Mika agak susah untuk mengeluarkannya.
“Kalau Mami sakit kayak gitu lagi, kayaknya adiknya enggak usah jadi aja deh, Pa.”
“Kenapa?”
“Harsa takut. Takut Mami kenapa-kenapa, takut Mami pergi ninggalin Harsa bareng Papa dan Adik bayi.”
Kini, Jay yang termenung. Ucapan Harsa mengandung makna yang dalam sekali. Jay bisa merasakan Harsa mencintai Mika lebih dari apa pun yang anak itu punya di dunia ini.
“Jadi, adik bayinya enggak jadi?” Tanya Jay, memastikan.
Harsa mengangguk. “Iya, enggak jadi aja. Dibanding pengin adik bayi, Harsa lebih pengin sama Mami sama Papa aja.”
Jay tersenyum. Dia menarik Harsa untuk semakin mendekat padanya. Dikecupnya pucuk kepala sang anak dengan penuh kasih sayang.
Maafin Papa ya, Sa. Papa enggak bisa kasih apa yang kamu mau.
•
Pukul sebelas malam lewat sepuluh menit, mobil Alphard yang dikendarai Mika berhenti di garasi rumahnya. Wanita itu bangun dari tidur ayamnya dan menggeliat. Tangannya meraba sisi kanan kirinya, mengambil handphone dan tas kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana.
“Udah sampai, Mbak Mika. Istirahat ya, Mbak. Besok pagi syutingnya agak berat soalnya.” Kata asisten Mika.
Mika mengangguk pelan. Wanita itu mengucapkan terima kasih kepada supir dan dua asistennya sebelum keluar dari mobil. Mika berjalan dengan perlahan. Sejujurnya, Mika masih mengantuk. Dia baru saja tidur sekitar satu jam setengah, setelah seharian melakukan syuting beberapa adegan yang memerlukan latihan fisik berlebih.
Mika merogoh kunci di dalam tas, memasukannya ke dalam lubang kunci dan memutarnya. Matanya langsung menyipit kala dia melihat lampu masih menyala terang.
“Jay?”
Jay, yang dipanggil menoleh. Kuasa pria itu menggenggam cangkir berisi teh hangat. “Baru pulang, Mika?”
“Iya.” Mika berjalan ke arah meja makan. Menghampiri Jay, dan menerima cangkir teh hangat miliknya. “Makasih buat teh hangatnya.”
“Enggak masalah. Saya emang berniat bikin ini untuk kamu.”
Mika mengangguk. Setelah menyeruput teh hangat dari cangkir itu, Mika menarik kursi di depan Jay. Duduk di sana sambil memperhatikan daksa suaminya.
“Kamu ada sesuatu yang ingin dibicarain sama saya?” Jay bertanya.
“Hah? Enggak ada kok.”
Jay mengangguk. “Saya dengar dari Harsa, katanya dia ingin adik. Dia juga bilang sama kamu.”
“Oh, itu. Harsa emang bilang sama aku, kalau dia pengin punya adik sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-10.”
“Terus kamu jawab apa?”
“Harsa pasti udah bilang sama kamu soal jawaban aku, kan?” Tebak Mika. Jay mengangguk. Tipikal Jay.
Jay mengembuskan napas berat, dan menggenggam pegangan cangkirnya dengan lebih erat. “Saya udah bilang sama dia, enggak sih, saya kasih pengertian ke dia kalau punya adik itu tanggung jawabnya besar. Saya juga ingetin dia sama video waktu sebelum kamu melahirkan dia, saya bilang sama dia, seberapa sakit kamu pas proses melahirkan dia. Dia ngerti, dan juga paham.”
“Enggak jadi minta adik?”
Jay menggeleng. “Aman.”
“Syukurlah.”
“Enggak masalah. Saya Cuma enggak pengin memperumit keadaan, Mika. Kamu tahu kan kondisi kita sekarang gimana? Saya yakin, yang ingin menyerah di pernikahan ini bukan cuma saya aja, tapi kamu juga. Kamu juga ingin menyerah, Mika.”