Maestro Ulama Indpnesia Yang Mendunia
Syaokh Abdur Rauf ,Singkil )Acrh),Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi, Syaokh Soleh Darat (Semarang), Syaikh Arsyad al Banjari dan Syaikh Kholil Al Bangkalan.
(1) Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili
Penyebar Thariqah Syatariyyah Dari Aceh
Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal.[1] Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya.[2] Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi tsuma al-Fansuri as-Singkili.[3] Menurut riwayat masyarakat, keluarganya diduga berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13.[butuh rujukan] Namun hal itu belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah keluarganya, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Beberapa ahli[siapa?] berpendapat bahwa ia merupakan putra asli pribumi beretnis Minang Pesisir di Singkil yang telah menganut agama Islam pada masa itu.[butuh rujukan] Pendapat lain[siapa?] mengatakan dari etnis Batak Singkil beregama Islam yang tidak diketahui lagi marganya.[butuh rujukan] Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.[butuh rujukan]
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,[4] syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya.[5] Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Dakwah dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatra Barat), Syeikh Nur Qodim Al Baharuddin (dari Djagat Besemah Libagh-Semende Panjang/Sumatera Selatan) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.(***)
(2) Hadrotussyeikh Ahmad Khotib Syambas
Mursyid Thoriwah Qadiroyyah wa Naqsanandiyah Ternams
Hadrotussyeikh Ahmad Khotib Syambas Al-Qodiri An-Naqshabandi ibn Abdul Ghaffar QS. wa RA. adalah seorang Ulama dari Tanah Air yang Masyhur di Mekkah, Mursyid Kamil Mukammil, sekaligus Pengasas Perkumpulan Thoriqoh Qodiriyah wa Naqshabandiyah. Perkumpulan Tarekat ini merupakan sebuah Majelis gabungan, penyatuan, dan pengembangan terhadap metode dua Tarekat Sufi besar. yakni Thoriqoh Qadiriyah dan Thoriqoh Naqshabandiyah.
Yang dipimpin oleh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Tarekat yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun ia juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.
Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Ia selain amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Desember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281.
Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.
sejarah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktik-praktik Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
sejarah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktik-praktik Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
(3) Syekh Mahfud At Tarmasy,
Mahaguru Ulama Nusantara
Seabad lebih sebelum kemerdekaan sebutan ulama at-Tarmasi telah mewarnai dunia Islam. Tidak terbatas di dalam negeri, bahkan di Saudi Arabia yang saat itu menjadi gudang ulama , Syaikh At Tarmasie menjadi salah pilar utama ulama Hijaz.
Keterbatasan geografis dan teknologi saat itu tidak menjadi penghalang dan melesatnya derajat kemuliaan. Dari bumi Tremas yang terpencil lahirlah ulama KH Abdul Manan (1830-1842) generasi awal Tremas.
Awal mula adanya perguruan Islam Tremas tidak mudah. Jauh sebelumnya sekitar abad 15, Nusantara saat itu dipimpin kerajaaan Majapahit. Hampir seluruh masyarakat nya saat itu memeluk agama Hindu dan Budha.Kedua agama ini berkembang di Indonesia ketika di negara asalnya , India mulai mengalami masa-masa kemunduran. Begitu pula di daerah Wengker selatan atau pesisisr selatan yang saat itu dikuasai oleh orang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling. Daerah ini dikenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan.
Kegoncangan masyarakat pimpinan Ki Ageng Buwana Keling mulai terjadi seiring dengan datangnya para mubaligh dari kerajaan Demak. Rombongan Mubaligh ini dipimpin Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi. Mereka bertiga meminta Ki Ageng Buwana Keling dan masyarakat sekitar agar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun tidak terelakkan dan akhirnya dimenangkan mubaligh Demak.
Sejak itulah wilayah Pacitan dengan mudah memeluk agama Islam. Demikian dari tahun ke tahun sampai masa bupati Jagakarya yang berkuasa tahun 1812, perkembangan Islam di masa itu maju dengan sangat pesat. Bahkan tiga tahun kemudian putra Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari pesantren di Ponorogo nyantri dengan Kiai Hasan Besari Sepuh. Dengan dukungan ayahnya R Ngabehi Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren di Semanten (2 kilometer dari arah utara kota Pacitan).Setelah kurang lebih satu tahun ia pindah ke Tremas. Inilah awal berdirinya pondok Termas.
Kepindahan Bagus Darso ke daerah Tremas bukan tanpa laasan. Diantaranya adalah faktor kekeluargan. Saat itu mertua dan istri beliau menyediakan sebidang tanah di derah yang Jauh dari pusat pemerintahan. Sehingga ia cocok dan Bagus Darso kemudian berganti nama menjadi KH Abdul Manan.
Nama Tremas sendiri memiliki latar belakang yang cukup unik. Tremas berarti keris pusaka kecil yang terbuat dari emas. Keris ini awal mulanya dimilki pungawa Keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot. Oleh Raja Surakarta saaat itu, Ketok Jenggot diperintahkan membuka hutan di daerah Pacitan dengan bekal keris pusaka tersebut. Setelah berhasil, keris tersebut di tanam di tempat pertama kali ia membuka hutan, akhirnya daerah tersebut disebut Tremas.
Periode Tremas
Secara garis besar, kepemimpinan Tremas di bagi dua masa. Masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Periode pertama Tremas di bawah asuhan KH Abdul Manan (1830-18412). Sebagai pondok rintisan, jumlah santrinya saat itu tidak begitu banyak. Mertua KH Abdul Manan yakni Raden Ngabehi Honggowijouyo menjadi pendukung utama pesantren terutama dalam hal pendanaan pesantren. Pengajian-pengajian yang KH Abdul Manan berikan berkisar masalah shalat dan ilmu tauhid. Ia wafat pada minggu pertama bulan Syawal 1282 H dengan meninggalkan tujuh orang putra dan dimakamkan di desa asalnya yakni Semanten.
Sejak kecil KH Abdul Manan dikenal sebagai anak yang cerdas dengan berbagai keistimewaaan. Bahkan guru beliau, KH Hasan Besari Sepuh dari Tegalrejo Kabupaten Ponorogo saat itu mengakui kemuliaan KH Abdul Manan.
Periode kedua Tremas dipimpin oleh KH Abdullah (1862-1894). Ia adalah putra pertama KH Abdul Manan. Pada masa kecilnya ia berguru langsung dengan ayahnya. Setelah cukup dewasa KH Abdul Manan mengajaknya ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah beberapa tahun di Mekkah, ia langsung pulang dan membantu mengajar di Tremas. Pada Masa kedua itulah itulah santri Tremas semakin berkembang Tidak hanya dari Solo, Ponorogo, Salatiga, Kediri , Purworejo dan lain-lainnya.
Karena tidak ada kendaraan, maka untuk ke Tremas mereka harus berjalan kaki melewati gunung dan hutan yang lebat. Dengan jumlah santri, maka dibangunlah asrama santri di sebelah selatan jalan. Asrama ini pada masa KH Dimyathi dikenal sebagai pondok wetan.
Pada masanya KH Abdulloh mengkader dengan cara mempercayakan kepada santri-santri lama untuk mengajar santri-santri baru. Sementara bagi mereka santri lama diberikan kitab yang lebih tinggi. KH Abdullah juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama besar pada jamannya.Pada masa itu muncul sebutan ulama At-Tarmasi yang sangat disegani di negara Arab. Bermula dari beliau yang belajar di Mekkah.
Kemudian KH Abdullah mengirim piutranya yakni Moh Mahfudz untuk menuntut Ilmu di Mekkah. Setelah mukim di Mekkah, Muhammad Mahfudz belajar dengan Syaikh Abu Bakar Syatha hingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukan dirinya menjadi salah satu pengajar di masjidil Haram.
Selang beberapa tahun, KH Abdullah menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Kala itu ia mengajak ketiga orang putranya yaitu K Dimyathi, K Dahlan dan K Abdur Rozaq. Dengan tujuan agar ketiga bersaudara ini bisa belajar langsung dengan Syaikh Mahfudz At Tarmasie. Selain tiga saudara ini terdapat KH Hasyim Asy’ari Jombang yang berguru dengan Syaih Mahfudz At Tarmasie.
Syaikh Mahfudz terbilang sangat produktif dalam menulis kitab, telah beberapa kitab ia tulis dan menjadi acuan belajar di beberapa perguruan tinggi di Maroko, Iraq, Saudi Arabia dan lain sebagainya. Ia mukim di Mekkah hingga ia wafat.
Muhammad At-Tarmasi boleh dibilang penulis produktif. Dia mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Sayang, banyak karyanya yang belum sempat dicetak, dan beberapa di antaranya bahkan dinyatakan hilang.Dalam menulis, konon Syekh Mahfudz ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hira menjadi tempatnya mencari inspirasi. Dia biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama itu. Kecepatan Mahfudz dalam menulis kitab, juga boleh dibilang istimewa. Khabarnya, kitab ”Manhaj Dhawi al-Nazhar” beliau selesaikan dalam 4 bulan 14 hari. Mahfudz mengatakan bahwa kitab ini ditulis ketika berada di Mina dan Arafat.
Syeikh Muhammad Mahfuz Termas termasuk salah seorang ulama nusantara yang banyak menghasilkan karangan dalam bahasa Arab seperti halnya ulama’-ulama nusantara lainnya yang bermukim di Mekah, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Abdul Hamid Kudus.
Diantara kitab yang ditulis olenya adalah As-Siqayatul Mardhiyah fi Asamil Kutubil Fiqhiyah li Ashabinas Syafi’iyah, Selesai penulisan pada hari Jum’at, Sya’ban 1313 H. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taraqqil Majidiyah al-’Utsmaniyah, Mekah (tanpa tahun). Muhibah zil Fadhli `ala Syarh al-’Allamah Ibnu Hajar Muqaddimah Ba Fadhal, Kitab fiqh empat jilid ini merupakan syarah atau komentar atas karya Abdullah Ba Fadhl ”Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah”. Kitab ini boleh dibilang jarang diajarkan di pesantren, lebih banyak digunakan oleh kiai senior sebagai rujukan dan sering dikutip sebagai salah satu sumber yang otoritatif dalam penyusunan fatwa oleh para ulama di Jawa. Kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid pertama diselesaikan pada 25 Safar 1315 H,. Jilid kedua diselesaikan pada hari Jum’at, 27 Rabiulakhir 1316 H. Jilid ketiga diselesaikan pada malam Ahad, 7 Rajab 1317 H. Jilid keempat, diselesaikan pada malam Rabu, 19 Jamadilakhir 1319 H. Dicetak oleh Mathba’ah al-’Amirah asy-Syarfiyah, Mesir, 1326 H.
Kifayatul Mustafid lima ala minal Asanid, diselesaikan pada hari Selasa, 19 Safar 1320 H. Kandungannya membicarakan pelbagai sanad keilmuan Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi/at-Tirmisi. Dicetak oleh Mathba’ah al-Masyhad al-Husaini, No. 18 Syari’ al-Masyhad al-Husaini, Mesir (tanpa tahun). Kitab ini ditashhih dan ditahqiq oleh Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, al-Mudarris Daril `Ulumid Diniyah, Mekah.
Manhaj Zawin Nazhar fi Syarhi Manzhumati `Ilmil Atsar, diselesaikan pada tahun 1329 H/1911 M. Kandungannya membicarakan Ilmu Mushthalah Hadits merupakan Syarh Manzhumah `Ilmil Atsar karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kitab ini merupakan bukti bahwa ulama nusantara mampu menulis ilmu hadis yang demikian tinggi nilainya. Kitab ini menjadi rujukan para ulama di belahan duni terutama ulama-ulama hadis. Dicetak oleh Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, Mesir, 1352 H/1934 M. Cetakan dibiayai oleh Syeikh Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhihi Ahmad, pemilik Al-Maktabah An-Nabhaniyah Al-Kubra, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Dua kitabnya di bidang ushul adalah ”Nailul Ma’mul”, syarah atas karya Zakariyya Anshari ”Lubb Al-Ushul” dan syarahnya ”Ghayat al-wushul”, dan ”Is’af al Muthali”, syarah atas berbagai versi karya Subki ”Jam’ al-Jawami’. Sebuah kitab lainnya mengenai fiqh yaitu ”Takmilat al-Minhaj al-Qawim”, berupa catatan tambahan atas karya Ibn Hajar al-Haitami “Al-Minhaj al-Qawim”. Al-Khil’atul Fikriyah fi Syarhil Minhatil Khairiyah, belum diketahui tarikh penulisan. Kandungannya juga membicarakan hadits merupakan Syarh Hadits Arba’in. Al- Badrul Munir fi Qira-ati Ibni Katsir. Tanwirus Shadr fi Qira-ati Ibni Amr. Insyirahul Fawaid fi Qira-ati Hamzah. Ta’mimul Manafi’ fi Qira-ati Nafi’, Al-Fuad fi Qiraat al Imam Hamzah. Tamim al Manafi fi Qiraat al-Imam Nafi’, Aniyah ath Thalabah bi Syarah Nadzam ath Tayyibah fi Qiraat al Asy’ariyah , As-Saqayah al-Mardhiyyah fi Asma’i Kutub Ashhabina al- Syafiiyah, kajian atas karya-karya fiqih mazhab Syafi’i dan riwayat para pengarangnya. Al-Fawaidut Tarmasiyah fi Asamil Qira-ati `Asyariyah, Syeikh Yasin Padang menyebut bahawa kitab ini pernah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Majidiyah, Mekah, tahun 1330 H. Is’aful Mathali’ Syarhul Badril Lami’. Al-Minhah al-Khairiyya.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syaikh Mahfudz mencapai lebih 20 karangan. Karya-karya beliau cukup banyak, dan menjadi rujukan dan sekaligus kekayaan bagi Arab Saudi sendiri. Beberapa karya ilmiyah beliau mendunia, dan dijadikan rujukan kampus-kampus ulama-ulama Arab Saudi, dan ulama Arab pada umumnya. Ada sekitar 20-30 lebih karya beliau yang sudah diterbitkan. Di salah satu di antara karya beliau yang begitu fenomenal, sekitar 8 jilid yang dijual dengan harga 400 RS (110 U$) yakni Mauhibah Dzil Fadl Ala Sarhi Al-Allamah Ibn Hajar Muqoddimah Bafadl yang diterbitkan Darul Minhaj Jeddah KSA.
Mengingat karyanya yang berbagai-bagai itu, tidak berlebihan kiranya jika Syeikh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatra Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an, menjuluki Mahfudz At-Tarmasi: al-alamah, al-muhadits, a- musnid, al- faqih, al- ushuli dan al- muqri. Yang menarik, kitab-kitab karangan Syeikh Mahfudz tidak hanya dipergunakan oleh hampir semua pondok pesantren di Indonesia, tapi konon banyak pula yang dipakai sebagai literatur wajib pada beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti di Marokko, Arab Saudi, Iraq dan negara-negara lainnya. Bahkan sampai sekarang di antara kitab-kitabnya masih ada yang dipakai dalam pengajian di Masjidil Haram. Muhammad Mahfudz At-Tarmasi wafat pada hari Rabu bulan Rajab tahun 1338 Hijrah bertepatan dengan tahun 1920 M. pada hari Rabu Bulan Rajab tahun 1338 H dan dimakamkan di Mekkah denghan suasana mengharukan disaksikan keluarga besar sang guru utama yakni Syaikh Abu Bakar Syatha.(*****)
Aji Setiawan, alumni of the Indonesian Islamic University in Yogyakarta
(4.)Syekh Nawawi al Bantani
Penghulu Ulama Jawa di Haromain
Sekh Nawawi Banten, nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil al-Jawwi al-Bantani. Lahir di Tanara Tirtayasa Serang Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada 1314 H/1897 M. Nama al-Bantani digunakan sebagai nisbat untuk membedakan dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dan produktif dari Nawa Damaskus, yang hidup sekitar abad XIII Masehi.
Ayah Syekh Nawawi adalah seorang penghulu di Tanara, setelah diangkat oleh pemerintah Belanda. Ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara. Di masa kecil, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Muthi. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon. Dari garis keturunan ayah, berujung kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, sedangkan dari garis ibu sampai kepada Muhammad Singaraja.
Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M sedang berada dalam periode terakhir, di ambang keruntuhan. Raja saat itu, Sultan Rafiudin, dipaksa oleh Gubernur Raffles untuk menyerahkan tahta kekuasaan kepada Sultan Mahmud Syafiudin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara. Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam sejak berusia lima tahun, langsung dari ayahnya.
Bersama-sama saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama adiknya bernama Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah satu ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu ke Raden H. Yusuf di Purwakarta.
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi berangkat pergi ke Arab Saudi. Di samping untuk melaksanakan ibadah haji, keberangkatan itu penting bagi Syekh Nawawi untuk menimba ilmu. Seperti ulama Al-Jawwi pada umumnya, pada masa-masa awal di Arab Saudi, dia belajar kepada ulama Al-Jawwi lainnya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota dan lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan tersebut dijalankan tanpa pandang bulu hingga menimpa pula pada makam Syekh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya, yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet dan tidak ada tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain kafan penutup jasad Syekh Nawawi tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian tersebut mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil, yaitu larangan dari pemerintah untuk membongkar makam Syekh Nawawi. Jasadnya lalu dikuburkan kembali seperti sediakala, dan hingga sekarang makam Syekh Nawawi tetap berada di Ma'la, Mekah.
Shalat di Dalam Mulut Ular Besar
Suatu hari ketika dalam perjalanan, Syekh Nawawi istirahat di sebuah tempat untuk azan kemudian salat. Setelah ia azan ternyata tidak ada orang yang datang, akhirnya ia qamat lalu salat sendirian. Usai shalat Syekh Nawawi kembali melanjutkan perjalanan, tapi ketika menengok ke belakang, ternyata ada seekor ular raksasa dan mulutnya sedang menganga. Akhirnya ia tersadar bahwa ternyata ia salat di dalam mulut ular yang sangat besar.
Syekh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi. Makamnya terletak di Jannatul Mu'alla, Mekah. Makam dia bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.
Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah air, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara di Tanara, Serang, asuhan K.H. Ma'ruf Amin.
Puncak hubungan Indonesia (orang-orang Melayu) dengan Mekkah terjadi pada abad 19 M. Karena, pada saat itu banyak sekali orang Indonesia yang belajar di Mekkah. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka diberi kesempatan mengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minankabawi asal Minangkabau, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.
Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang komunikatif, simpatik, mudah dipahami penjelasannya dan sangat mendalam keilmuan yang dimiliki. Dia mengajar ilmu fiqih, ilmu kalam, tashawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Di antara muridnya di Arab Saudi yang kemudian menjadi tokoh pergerakan setelah kembali ke tanah air adalah KH. Hasyim Asyari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH. Asyari (Bawean), KH. Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH. Ilyas (Kragilan Banten), KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH. Tb. Bakri (Sempur Purwakarta), KH. Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.
Syekh Nawawi lebih banyak dijuluki sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz, karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah, juga menjadi salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Nusantara. Pengalaman belajar yang dimiliki cukup untuk menggambarkan bentuk pembelajaran Islam yang telah mapan dalam Al-Jawwi di Mekkah. Dalam konteks keberadaan pesantren di Indonesia, Syekh Nawawi diakui sebagai salah satu arsitek pesantren, sekaligus namanya tercatat dalam genealogi intelektual tradisi pesantren.
Telunjuk Bersinar
Karomah Syekh Nawawi ada banyak sekali, diantaranya telunjuknya bisa bersinar. Pada suatu waktu di sebuah perjalanan dalam syuqduf (rumah-rumahan di punggung unta) Syekh Nawawi pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuknya sebagai lampu. Hal tersebut terjadi karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yang ia tumpangi, sementara aspirasi untuk menulis kitab tengah kencang mengisi kepalanya. Syekh Nawawi kemudian berdoa kepada Allah agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu, menerangi jari kanan yang akan digunakannya untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraqi al-'Ubudiyyah syarah Matan Bidayah al-Hidayah itu harus dibayarnya dengan cacat pada jari telunjuk kiri, karena cahaya yang diberikan Allah pada telunjuk kirinya itu membawa bekas yang tidak hilang.
Melihat Ka'bah
Karamah lain Syekh Nawawi juga diperlihatkannya di saat ia mengunjungi Masjid Pekojan, Jakarta. Masjid yang dibangun oleh Sayyid Utsman bin 'Agil bin Yahya al-'Alawi (mufti Betawi keturunan Rasulullah ﷺ) itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.
Tak ayal, saat Syekh Nawawi yang dianggapnya hanya seorang anak remaja tak dikenal menyalahkan penentuan kiblat, Sayyid Utsman sangat terkejut. Diskusipun terjadi antara keduanya, Sayyid Utsmân tetap berpendirian bahwa kiblat Mesjid Pekojan tersebut sudah benar, sementara Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat haruslah dibetulkan. Saat kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsmân dan dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat, kemudian berkata,"Lihatlah Sayyid!, itulah Ka'bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka'bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke arah Ka'bah."
Sayyid Utsman termangu. Ka'bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas.
Haul Syekh Nawawi digelar Banda Bulan Syawal.Peringatan haulnya selalu ramai dihadiri para santri Nusantara, bahkan mancanegara.(***) Aji Setiawan.
(5)Mahakarya Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari.
KH Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
KH Hasyim menikah dengan Nyai Khodijah, Nafiqoh dan Masruroh. Menikah dalam arti, karena sang istri wafat. Lepas meninggalnya Nyai Khodijah. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Selama ini KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Padahal, selain jasa-jasanya yang besar dalam pendirian republik ini, KH Hasyim Asy’ari ternyata juga meninggalkan warisan banyak kitab yang dijadikan rujukan oleh ulama dalam menentukan sebuah hukum.
Bahkan puluhan buku itu di antaranya tulisan tangan langsung dari KH Hasyim Asy’ari sendiri. Kitab hasil tulisan tangan KH Hasyim Asy’ari tersebut sampai saat ini masih disimpan rapi di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Pondok Pesantren Tebu Ireng merupakan salah satu pondok pesantren besar di tanah air yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Salah satu warisan KH Hasyim Asy’ari yang masih bisa disaksikan, adalah sejumlah kitab yang ditulisnya sendiri. Meskipun kondisinya sudah mulai rusak, namun kitab-kitab kuno yang sudah berusia lebih dari satu abad tersebut sampai kini masih tersimpan rapi di perpustakaan Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Kepala Perpustakaan Pesantren Tebu Ireng KH Zaenal Arifin menjelaskan, seluruh kitab KH Hasyim Asy’ari, baik yang ditulis sendiri maupun kitab yang diajarkan kepada muridnya pada masa lalu, sampai saat ini masih di simpan rapi di ruangan khusus di perpustakaan pesantren. Beragam kitab yang merupakan tulisan tangan dari KH Hasyim Asy’ari, di antaranya adalah kitab tentang hadis, tafsir, dan ilmu fiqih.
“Sebagian kondisi kitab ini sekarang sudah mulai lapuk sehingga tidak sembarang orang diperbolehkan menyentuhnya. Sedangkan untuk keperluan pembelajaran atau memperdalam ajaran yang disampaikan, pihak pesantren sudah menggandakan dan mencetaknya untuk kebutuhan santri maupun masyarakat,” katanya.
Meskipun sangat dijaga, namun pihak pesantren sama sekali tidak pernah merahasiakan apa yang diwariskan KH Hasyim Asy’ari melalui kitab-kitabnya tersebut. Pengelola pesantren selalu membuka diri dan telah memberikan kesempatan kepada banyak pihak baik dari dalam maupun luar negeri yang ingin meneliti atau mempelajari kitab-kitab kh hasyim asyari tersebut.
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, di antaranya:
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
Wafat
Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu di Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor.
Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga ia jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.(****) Aji Setiawan
(***) Aji Setiawan