Media Tengah Sekarat Di Tengah Pandemi
Jurnalisme itu hidup ditentukan khalayak. Rumus ini terpatri kuat oleh Goenawan Muhammad sang pendiri Majalah Tempo. PT Tempo, selain menggarap majalah, koran juga online, komunitas Utan Kayu,JIL, Obat-obatan,KBR 68H.
Saya kira Tempo adalah rujukan garda terdepan jurnalisme bermutu yang paling unggul saat ini karena akurat, tajam dan banyak membela kepentingan khalayak.Selain Tempo , raksasa media lainnya adalah Kompas dan Jawa Pos.Media cetak memang lain, di banding media online, media daring, media elektronik (televisi dan radio) apalagi setelah WiFi masuk ke desa-desa, khalayak mempunyai ruang pilihan yang sangat beragam. Tentu berbeda saat Orde Baru berkuasa di mana narasi pemerintah adalah sama idemnya dengan narasi media.
Seragamisasi wacana itu diproduksi oleh Orba melalui Menteri Penerangan. Media yang berlawanan dengan pemerintah, pasti disikat(diberangus-breidel-red)SIUPP pasti dicabut, wartawannya di bui dengan berbagai alasan menentang pemerintah.
Media-media yang masih bertahan hari ini adalah media yang sudah pasti kaya modal, idiologi medianya jelas, iklan banyak, oplah tinggi, kesejahteraan jurnalis terjamin, uang lembur dan transpot di luar gaji pokok, pekerja pers dapat saham dan dapat asuransi JAMSOSTEK.Kondisi mainstream lembaga pers semacam itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh pers yang punya idiologi, integritas dan berpihak serta mencintai kebenaran dan kejujuran.
Bila menengok sejarah penerbitan Pers Kebangsaan, kiranya para sejarawan Pers Indonesia bisa membaca kembali kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan “Medan Prijaji” adalah permulaan pertambia menjadikan pers sebagai alat pergerakan.
Surat Kabar “Medan Prijaji” yang terbit pertama kali pada pada hari Jum’at, 1 Januari 1907 mempunyai jargon kebangsaan ini kemudian berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar, sekaligus mengadvokasi publik dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom.Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air.
Di i masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus. Wartawan berperan sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional. Selain itu wartawan juga berperan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers di Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Pers Indonesia turut memberikan kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Reformasi telah bergulir, kebebasan pers saat ini bisa dinikmati oleh siapa saja dan berdampak besar bagi kemajuan hak berdemokrasi dan penegakan HAM. Episode Lengsernya Soeharto dan berlanjut dengan Pemerintahan Reformasi secara berturut-turut Habibie, Gus Dur, Mega ternyata membawa dampak luarbiasa dalam perkembangan pers nasional.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia langsung masuk ke dalam barisan tiga negara yang dikategorikan memiliki kebebasan Pers, sesudah Filiphina dan Thailand. Beberapa organisasi pers, semacam AJI malah membentuk South East Asia Press Alliance (SEAPA), yang bertugas mengekspor kebebasan pers ke negara-negara tetangga.
Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi dalam meliput dan menyiarkan berita. Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak pers. Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet, Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan disebarkan. Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk organisasi.
Tapi di balik cerita manis prosesi demokrasi dengan adanya kebebasan pers sendiri masih tersisa wajah buruk pers. k*******n demi k*******n terhadap wartawan terus terjadi. Simak saja laporan Tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen).Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 84 kasus k*******n yang menimpa wartawan di berbagai daerah sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2020.
Tapi dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak p**********n yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin, kasus tersebut selama 25 tahun belum terungkap jelas.
Pandemi Covid-19 membuat kerja jurnalis ikut terdampak.
Misalnya semenjak ada Covid-19 dan diberlakukan Physical Distancing dan Work from Home (WFH) membuat para jurnalis harus melakukan orientasi pemanfaatan digital, yang biasanya mereka harus bekerja di lapangan namun kini mereka harus kerja dari rumah.
Bekerja dari rumah membuat para jurnalis mau tidak mau merasakan kesulitan. Misalnya saja dalam hal mengakses internet. Di beberapa kota, internet di kota seperti Bogor, Depok dan Bekasi saja terkadang masih sulit diakses. Bahkan karena dampak Pandemi, saat ini warung internet sudah banyak ditutup, berganti usaha yang lain.
Efeknya apa, misalnya ketika wawancara berlangsung melalui telepon atau video call tiba-tiba internet terputus, kan jadi susah. Atau ketika lagi liputan virtual, jaringan lambat pasti Jurnalis juga merasa kesusahan. Bagaimana lagi dengan teman-teman jurnalis yang berada di Papua pasti lebih susah lagi.Oleh karena itu jurnalis didorong untuk kreatif semaksimal mungkin agar keakuratan dan kualitas informasi masih bisa tetap terjaga.
Biasanya metode jurnalis yang paling jitu dilakukan untuk menjaga keakuratan dan kualitas informasi didapatkan melalui metode wawancara secara langsung. Namun dikarenakan pandemi, tidak memungkinkan untuk mereka melakukan wawancara secara langsung kecuali hanya menggunakan metode wawancara melalui telepon dan melalui jaringan media sosial seperti f*******:, Twitter, instalgram dll.
Sekalipun ada relaksasi di beberapa wilayah, tetap harus mematuhi protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) agar tidak ada kontak langsung antar objek liputan di mana pun. Berkurangnya akses aktivitas di lingkungan kerja, mestinya disikapi dengan mengerahkan segala daya dan upaya melalui perangkat teknologi yang ada untuk menghasilkan laporan jurnalistik yang baik dan bermutu.
Memang bila dilihat dari persaingan media, siapakah yang akan sanggup bertahan di kondisi pandemi sekarang ini? Evolusi persaingan media sekarang tengah terjadi di tengah industrialisasi media yang tengah sekarat selama masa Pandemi Covid-19 setahun terakhir ini . Pandemi ini belum berakhir, seorang jurnalis bisa menulis apa saja secara kreatif, naratif mulai kolom, opini, artikel, resensi, investigasi dll. Manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menulis dan berkarya.(***)
Meluruskan Sejarah Pers Indonesia
Sejarah Pers Nasional Indonesia dimulai jauh sebelum masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Media umumnya memuat seputar berita pemerintahan Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar.
Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan.
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.Jadi pers Nasional pada masa sebelum kemerdekaan dimulai Pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Kantor berita Antara didirikan oleh Soemanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna.[3] Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama.
Polemik tentang hari Pers Indonesia sesungguhnya sudah berlangsung lama.Dimana perayaan Hari Pers Nasional (HPN) yang ditetapkan 9 Februari sepertinya belum sepenuhnya utuh di kalangan masyarakat pers. Melihat penetapan HPN pada 9 Februari ini bertepatan dengan kelahiran sebuah organisasi profesi wartawan, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946.
Mantan Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas, Daniel Dhakidae mengatakan, pemerintah ketika itu keliru menetapkan HPN jatuh pada 9 Februari. HPN sendiri ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani Presiden RI ke-2 Soeharto. Menurut Daniel, penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan. Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar.
Jika ditelisik dari sejarah, maka kelahiran Medan Prijaji pada medio 1 Januari 1903 yang paling mampu mengklaim kelahiran pers nasional. Sehingga, menurut dia, hari pers ini seharusnya merujuk pada kemunculan surat kabar pertama yang terbit mingguan milik pribumi sendiri ketika itu. Dunia pers Indonesia bisa dibilang semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Apa boleh buat Hari Pers Nasional akhirnya diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985. Tanggal 9 Februari sendiri memiliki nilai historis bagi perkembangan pers di Indonesia karena bertepatan dengan HUT PWI. Pada tanggal 9 Februari 1946 itu diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia. Soemanang yang juga merupakan pendiri Kantor Berita Antara ditetapkan sebagai Ketua PWI pertama pada pertemuan itu.Hanya saja kalau boleh berbeda dan jujur pada sejarah, saatnyalah jurnalis Indonesia untuk menengok ke belakang sejenak, ada catatan Medan Prijaji yang jauh lebih tua dari hari Pers Nasional, kiranya ini bisa menjadikan catatan sejarah bahwa Hari Pers Nasional seperti yang dikatakan oleh Daniel Dakidae bahwa penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan.
Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar.(***)
Perlunya Sinergi Antara Media Sosial dan Media Jurnalistik
Oleh: Aji Setiawan
Media sosial dan jurnalisme sebaiknya bersinergi dan saling melengkapi. Agar tetap terpercaya, media mainstream harus menjaga kredibilitas jurnalistiknya. Mereka hanya dapat bertahan di tengah media sosialdengan tetap mengelola integritas dan konsistensinya.
Sejumlah studi menyebutkan, 2/3 pengguna internet di seluruh dunia mengunjungi media sosial seperti f*******: dan Twitter, dengan melupakan koran untuk mencari informasi. Selain itu, 51 persen orang yang berusia 18 hingga 24 tahun percaya bahwa media sosial lebih cepat menyajikan berita terkini daripada media mainstream.
Media sosial dan media jurnalistik keduanya punya karakter yang berbeda. Media sosial hanya menyajikan rumor, sedangkan media mainstream menyampaikan kebenaran melalui konfirmasi, verifikasi dan investigasi.
Berita adalah informasi yang diolah dengan semangat dan keterampilan profesionalisme wartawan dengan tujuan mengabdi kepada publik. Apabila media mainstream mempertahankan kebenaran tersebut, maka mereka akan tetap hidup. Karena pengguna media sosial akan tetap mencari kebenaran melalui media yang selama ini mereka percaya.
Apakah media sosial mengancam keberadaan media mainstream? Kalau orang bilang media sosial ancaman bagi media mainstream, jawabannya bisa ya bisa tidak. Kehadiran media sosial justru menjadi tantangan bagi wartawan dan perusahaan-perusahaan media. Bisa jadi ini bukan ancaman, karena ketika dulu radio dianggap akan mematikan media cetak, ternyata terbukti tidak benar.Hingga kini koran dan radio masih dinikmati para pembaca dan pendengar setia.
Media sosial seperti f*******:, twitter, youtube, sebagai sarana percakapan semua orang tentang berbagai hal yang benar maupun yang belum tentu benar. Di Indonesia, situs jejaring sosial Twitter menempati urutan kedua dalam hal jumlah pengguna setelah f*******:. Namun mayoritas jejaring sosial atau media sosial ini justru digunakan hanya untuk hal-hal kurang produktif.
Padahal, situs jejaring tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal bermanfaat. Biasanya orang yang sering nge-tweet itu adalah orang yang tidak punya pekerjaan, kurang kerjaan. Lebih sering untuk update yang tidak produktif.
Sekadar catatan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna terbesar ketiga dunia untuk f*******:. Begitu juga dengan akun Twitter. Dengan besarnya jumlah pengguna f*******: dan Twitter tersebut, pengguna seharusnya mampu memanfaatkan jejaring sosial tersebut untuk hal yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk pertemanan, bisnis hingga periklanan.Dengan potensi jumlah pengguna yang besar di Twitter maupun f*******:, seharusnya pengguna bisa serius memanfaatkan untuk membangun bisnis digital.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan situs jejaring sosial untuk mendistribusikan segala konten atau informasi dari media yang sedang dibangun. Di sisi lain, anak muda zaman sekarang lebih cenderung untuk mencari informasi melalui jejaring sosial. Sehingga peran guru dan orang tua akan sedikit terabaikan. Selain situs jejaring sosial, anak zaman sekarang juga memanfaatkan mesin pencari (search engine) untuk mencari informasi yang diperlukan.
Kini anak zaman sekarang lebih suka tanya ke Google atau lewat temannya di situs jejaring sosial. Malah hasil pencarian bisa lebih lengkap, tidak hanya teks, tapi juga foto maupun video. Kecenderungan konten informasi berupa teks, foto dan video ini sudah disadari oleh pemilik media untuk membuat kontennya lebih beragam.
Patut disadari oleh seluruh seluruh media jurnalistik saat ini harus mampu 3M, yaitu Multimedia, multiformat dan multiplatform. Padahal besaran anggaran perusahaan untuk iklan sebenarnya terbatas, sehingga media mau tidak mau harus kreatif membuat konten atau informasi agar pengiklan tetap datang. Dengan konten atau informasi bersifat 3M dan disalurkan melalui situs jejaring sosial, maka masyarakat akan lebih dekat dengan media mainstream. Situs jejaring sosial ini jadi lebih bermanfaat.
Untuk itulah, informasi yang didapat dari media sosial dapat dipakai sebagai referensi awal dalam membuat berita. Media sosial dapat dimanfaatkan media mainstream untuk memantau dan mengoreksi berita. Tidak itu saja, media sosial juga bisa memakmurkan perusahaan-perusahaan media mainstream.
Di tengah maraknya pemanfaatan media mainstream sebagai alat partai politik untuk mencapai kekuasaan, media sosial punya peran sebagai penyeimbang informasi agar opini publik tak selamanya didominasi media mainstream. Dengan sistem kepemilikan media yang terpusat seperti sekarang, ada kekhawatiran pemilik modal menggiring konten informasi sesuai dengan kepentingannya. Sehingga, pemberitaan terhadap subjek yang didukung cenderung “berlebihan”.
Dibutuhkan media alternatif yang dapat membantah dan meluruskan pemberitaan macam ini. Seharusnya, media sosial, seperti blog, f*******: dan Twitter, bisa mengisi posisi tersebut. Di sini media sosial berperan sebagai watchdog untuk media mainstream.
Butuh partisipasi aktif dari warga kepada media mainstream yang berusaha memanipulasi opini publik. Ada baiknya jurnalis warga berperan sebagai ekstra redaksional yang bersikap kritis terhadap pemberitaan media mainstream. Apalagi, konten di media mainstream masih didominasi oleh berita elit dan peristiwa yang terjadi di Jakarta, sementara peristiwa dari daerah lain porsinya tidak banyak. Luka sebagian warga daerah ini bisa terobati dengan membuat sosial media berbasis komunitas yang menyuarakan isu-isu lokal.
Cara murah namun efektif untuk membuat media sosial salah satunya adalah media komunitas adalah dengan menggunakan media online, bisa situs web ataupun blog. Industri media menuju single platform, yaitu Internet Protocol. Konvergensi menjadi hal yg tidak terelakkan untuk media. Sehingga harapannya warga tak hanya menjadi komentator yang berkoar di f*******: dan Twitter. Warga yang peduli pada suatu masalah, bisa menekan balik dengan membuat berita bantahan, menciptakan wacana baru dan analisa mendalam. Konten menarik dibuat dengan keterampilan jurnalistik yang bisa dipelajari oleh jurnalis warga.
Maka perlu insting jurnalistik bisa dilatih. Kualitas tulisan juga bisa dilatih, bisa sama dengan standar media mainstream. Berita, foto, ataupun video yang dipublikasi oleh warga harus memiliki gimmick (sesuatu yang unik dan spesial) untuk menarik minat warga lain agar melihatnya.
Karena kita perlu optimistis internet tidak akan memusnahkan industri media. Kini yang menjadi pesaing media cetak secara nyata adalah media televisi, radio, dan media digital. Kekuatan media cetak hingga kini masih dipersepsi sebagai trusted media dan sumber informasi kredibel. Dan yang mesti dilakukan dalam menjawab tantangan media sosial agar tetap bertahan adalah selalu kreatif baik dari sisi konten maupun bisnis. Caranya, dengan investasi pada pre-press dan percetakan serta kreatif premium dan inovasi redaksi.
Karenanya media mainstream tak bisa melepaskan diri dari perkembangan internet. Karena internet menjadi sumber berbagai informasi bagi masyarakat dunia. Kini dan seterusnya, semua orang bahkan dapat menyampaikan informasi terkini secara bebas melalui media sosial dalam satu wadah yang bernama jurnalisme warga (citizen journalism) .Mungkin banyak informasi “s****h” (berita hoaks) di media sosial, tapi bisa jadi banyak juga informasi yang benar.
Oleh sebab itu, media sosial dan jurnalisme sebaiknya bersinergi dan saling melengkapi. Agar tetap terpercaya, media mainstream harus menjaga kredibilitas jurnalistiknya. Mereka hanya dapat bertahan di tengah media sosial yang semakin digemari, dengan tetap mengelola integritas dan konsistensinya dalam menyampaikan informasi.(*)
Mencari Payung Hukum Pers Mahasiswa
Saat melakukan proses kerja jurnalistik, para pegiat pers mahasiswa (persma) acap kali dihadapkan pada posisi yang sulit. Di mana dewasa ini, banyak sekali terjadi kasus pembungkaman terhadap persma, misalnya intimidasi dari narasumber, pelarangan terbit, dan perampasan produk setelah terbit. Payung hukum terhadap persma pun menjadi perbincangan yang menarik saat ini. Sementara di lain sisi, dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tidak tertera nama persma di dalamnya. Lalu kemanakah persma harus berlindung?
Payung hukum terhadap persma amat lah penting. Hal tersebut sebagai pelindung jika terjadi masalah saat proses kerja jurnalistik berlangsung. Bahkan meskipun persma sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik dalam melakukan proses kejurnalistikannya, selalu ada intimidasi dan pelarangan terbit.
Sebenarnya tidak hanya persma yang belum jelas payung hukumnya. Ada beberapa kasus yang menimpa jurnalis media massa dan sampai saat ini belum tuntas. Kasus Udin contohnya, sudah sangat lama sekali dan belum selesai hingga sekarang. Persoalan itu muncul karena negara belum bisa memberikan kepastian hukum secara penuh.
Walaupun sebenarnya, kebebasan pers sudah sangat dihargai. Kebebasan pers yang kita nikmati saat ini niscaya merupakan buah yang paling signifikan dari gerakan reformasi di Indonesia. Sudah selayaknya pers berterimakasih kepada kaum muda, mahasiswa dan rakyat, yang berjuang meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru yang otoriter dan represif.
Berbagai kritik pun, terutama yang ditujukan ke alamat kekuasaan dengan mudah dapat disampaikan tanpa hambatan. Akses terhadap informasi pun mudah didapat, hampir tak adalagi fakta yang ditutup-tutupi seperti di masa orde baru. Lewat pers yang bebas ini, diharapkan proses demokratisasi dapat berkembang secara sehat.
Sepanjang sejarah Republik Indonesia, inilah kebebasan pers yang sebenar-benarnya. Kini, setiap warga negara dapat menerbitkan media tanpa terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pemerintah. Semarak kebebasan pers pun diwarnai dengan terbitnya berbagai macam media. Mutu penampilan, penyajian berita dan politik redaksionalnya pun sangat beragam.
Berkat dibukanya keran kebebasan pers pula, kini jumlah penerbitan pers berlipat-lipat dibanding tiras masa lalu. Apakah motivasi yang mendorong orang menerbitkan media? Inilah sebenarnya yang pertama kali harus dipertanyakan. Apakah para penerbit sudah benar-benar memahami misi pers? Agaknya sebagian besar penerbit memang memahaminya, meskipun ada beberapa di antaranya yang semata-mata terdorong oleh euphoria kebebasan pers. Bahkan ada pula yang semata-mata menginginkan keuntungan komersial.
Memang, posisi dan peran media sedikit banyak ditentukan oleh pemilik bersama pemimpin redaksi. Namun posisi pers di lingkup masyarakat sipil yang demokratis saat ini juga ditentukan oleh kepercayaan publik. Pers yang tak lagi dipercaya oleh publik dengan sendirinya akan ditinggalkan pembacanya. Sebab, publik yang cerdas menghendaki media massa yang mengutamakan kepentingan umum, bukan kepentingan politik pemilik modal atau pribadi pemimpin redaksi.
Maka dari itu pers harus independen dari berbagai kepentingan politik, apalagi yang saling bertentangan. Agar pers mampu bersikap independen, dengan sendirinya pers harus mandiri secara ekonomi dan manajemen. Tetapi tetap, di atas segala-galanya adalah integritas. Hanya media pers dan juga wartawan yang berpegang teguh pada integritas moral yang tinggi lah, yang mampu independen. Dan jika pers dikelola secara profesional, suatu saat pers akan tumbuh sebagai industri penerbitan yang kuat secara ekonomi. Bahkan bukan tak mungkin kemudian tampil menjadi semacam konglomerasi yang sangat berkuasa dalam mempengaruhi opini.
Selain itu, ujung tombak media pers adalah wartawan. Mereka harus memiliki integritas moral yang tinggi sembari dipandu dengan Kode Etik Wartawan Indonesia yang berlaku untuk seluruh wartawan Indonesia, termasuk persma. Moral dalam arti kata yang luas ialah nilai-nilai kebajikan yang diakui oleh dan berlaku di masyarakat beradab. Sedangkan integritas, sesungguhnya adalah “ideologi” bagi para pekerja pers, sebagai pegangan atau pedoman yang harus ditaati dalam menjalankan tugas profesi.
Seorang wartawan, selain harus profesional ia juga harus independen. Profesional dalam artian mampu bekerja dan menghasilkan karya sesuai ukuran-ukuran kelayakan jurnalisme, serta independen atau tak bergeming di tengah benturan berbagai kepentingan yang saling berbenturan. Namun keduanya saja tak cukup, wartawan harus pula mempunyai komitmen kuat dengan integritas moral yang teruji.
Jika semua itu dikaitkan dengan kebebasan pers, ada satu hal yang selama ini dilupakan. Bahkan juga oleh kalangan pers sendiri. Yaitu, kebebasan pers sesungguhnya bukanlah semata-mata kepentingan industri pers, pemilik modal, pemimpin redaksi, ataupun wartawan. Bukan! Kebebasan pers adalah hak publik, sebagai pengejawantahan dari hak asasi, sebagai konsekuensi logis dari hak yang bebas untuk mendapatkan akses informasi, sebagai salah satu akar tunjang demokrasi.
Kekuasaan pers semacam itu tidak seharusnya menjadi kekuasaan otokratis, melainkan kekuasaan yang menyadari tanggung jawabnya untuk mendidik dan mencerahkan publik. Seorang pemimpin redaksi bukan pula “diktatur intelektual”, melainkan seorang yang editorialnya berpihak pada kebenaran,keadilan, akal sehat, dan rakyat kecil yang tertindas.
Dengan demikian, maka media pers, begitu pula para pemilik modal, pemimpin redaksi, dan wartawan hanyalah sekedar sebagai pembawa amanat dari hak sipil publik tersebut. Supaya amanat tersebut dapat diemban sebaik-baiknya, maka syarat utamanya ialah: pekerja pers harus bersikap sebagai intelektual yang komitmen dengan profesi kewartawanan, dengan independensi yang teruji, dan dilandai integritas moral yang tinggi.
Hanya dengan sikap seperti itulah, pekerja pers mampu membantu proses pertumbuhan masyarakat sipil yang cerdas, yang mampu menilai dengan akal sehat, yang demokratis dan dinamis. Itulah yang disebut pekerja pers yang memiliki integritas moral yang tinggi. Justru karena memiliki integritas itu pulalah, pers mendapat semacam “hak istimewa” yang secara konstitusional diakui oleh undang-undang yang menjamin kebebasan pers.
Memang, meskipun tak banyak, ada beberapa di antaranya yang merasa “bebas” dalam mengelola media, sehingga pers dianggap bukan lagi sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan umum. Bisa dibilang, bebas yang “kebablasan”. Anehnya, selama ini tak jelas apa yang dimaksud dengan “pers yang kebablasan”. Apa kriteria atau parameternya?
Jika yang dimaksud ialah “kebablasan” dalam mengkritik kekuasaan, tentulah tudingan itu salah alamat. Namun, jika yang dimaksud ialah “pers kuning” yang beritanya insinuatif dan bombastis, sesungguhnya di mana pun dan kapan pun gaya pers semacam itu selalu ada. “Pers kuning” atau “koran kuning” tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai perkembangan pers. Apalagi jika tudingan itu tidak berdasarkan data yang akurat. Meskipun tanpa data, kalaupun ada pers yang dianggap “kebablasan” –apapun parameter atau kriterianya–pasti jumlahnya tidaklah banyak.
Apalagi jika berujung pada pembungkaman. Ketika ada pembredelan, sebenarnya yang harus rugi bukan jurnalis, tetapi masyarakat karena informasi terhambat. Apalagi secara berangsur-angsur publik mulai menyadari hak-hak sipil mereka, antara lain hak untuk mendapatkan akses informasi, hak untuk mengemukakan pikiran,berekspresi, dan berkumpul secara bebas.
Oleh karena itu, semua media, termasuk persma harus bisa membangun kepercayaan publik dengan menyajikan liputan-liputan yang berkualitas. Termasuk persma yang tak jarang mendapatkan intimidasi. Setiap persma harus melakukan proses kerja jurnalistik sesuai kode etik jurnalistik. Lakukan pula secara profesional, jika ragu-ragu tanyakan. Jika terdapat ancaman baik fisik maupun psikis, adukan ke Dewan Pers.
Kendati tidak diterangkan dalam UU nomor 40 tadi, persma pun sebenarnya masih tetap dilindungi oleh undang-undang yang sama dalam hal keterbukaan informasi publik. Juga oleh UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyasar pada kebebasan mimbar akademik.
Persma sendiri lahir dari kampus dan digerakan oleh aktivis kampus, namun kehadirannya belum diperlakukan sama dengan media massa pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa syarat yang mesti dipenuhi, standar perusahaan misalnya, lalu konsistensi penerbitan apakah setiap hari atau tidak, serta bagaimana kompetensi wartawannya.
Jadi penulis kira, menempatkan persma sejajar dengan pers umum merupakan salah satu upaya menempatkan persma agar lebih serius dalam mengelola media. Sehingga persma nantinya mampu mengusung isu yang berbeda dan menjadi bacaan alternatif dari ruang kampus, yang tentu saja akan berbeda dengan pers umum. Persma memiliki peranan penting dalam menentukan dan mengawal arah kebebasan pers bangsa ini ke depan, sebagai media dan wahana berlatih sebelum memasuki dunia pers umum yang semakin ketat dan tantangan yang beraneka ragam. (Aji Setiawan- Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Reformasi Korda Dista Yogyakarta 1999-2002)
https://old.himmahonline.id/2017/01/20/mencari-payung-hukum-pers-mahasiswa/