6. Permintaan Dadakan

1476 Words
“B-berapa? Sembilan j-jutaan?” aku hampir saja menyemburkan air meniral ketika mendengar penuturan Veve tentang tas yang baru saja aku dapatkan dari Pak Davka. “Kalau ini ori, iya segituan harganya. Sembilan juta lebih dikit setahuku, Ra.” “Kamu tahu dari mana harganya segitu?” “Kamu ini jangan ngeledek, Ra. Emangnya kamu lupa, si Veve ini anaknya siapa?” Rahma semena-mena menoyor lenganku cukup kuat. “Ya tahu, cuma maksudku heran aja Veve sampai hafal harganya.” Aku nyengir. Veve dan Rahma adalah dua teman dekatku di jurusan. Veve ini anaknya orang kaya, lebih tepatnya dia adalah anak pemilik supermarket terbesar di Yogyakarta yang sudah memliki beberapa cabang. Kalau Rahma, dia hampir sama denganku. Kami sama-sama anak orang biasa. “Masku pernah beli yang persis kaya gini soalnya, Ra. Bedanya cuma di warna tulisan balenciaga-nya aja. Punya Masku merah, sementara punyamu putih. Kalau enggak salah harganya sama, atau kalau misal beda ya cuma dikit. Dulu Masku beli sembilan juta tujuh ratusan.” Veve meraih tasku dan merabanya beberapa kali. “Dan kataku ini seratus persen asli. Kerasa aja dari bahannya. Kalau yang KW itu agak kasar.” Mendadak aku merasa super tertekan karena sudah menerima tas ini dari Pak Davka. Memang aku tahu kalau balenciaga itu branded, hanya saja aku tidak menyangka harganya akan semahal itu. Kupikir hanya ratusan ribu, atau maksimal satu jutaan. Kumohon maklumi aku, seumur-umur aku belum pernah beli tas dengan merek ini. Boro-boro beli, meliriknya saja aku tidak pernah. Aku hanya familiar dengan merk-nya, tetapi tidak dengan harganya. Dan ya, kalau benar tas ini ori, itu artinya harganya masih lebih tinggi dari uang saku bulanan beasiswa yang aku dapatkan selama satu tahun full. Oh ya, ampun! “Jujur dong, Ra. Siapa yang ngasih tas ini?” Rahma kembali dengan mode kepo-nya. “Kan aku udah bilang kalau yang ngasih ini orang baik. Kenalan, Ma, kenalan aja. Orang tas bekas, kok. Dia udah enggak pakai lagi.” Ini aku tidak sepenuhnya berbohong, kan? Pak Davka kan tetap masuk list kenalanku. Hehe! Untuk saat ini aku benar-benar tidak berani jujur mengatakan kalau tas ini aku dapatkan dari Pak Davka. Bisa gawat, nanti. Maksudku, aku takutnya jadi muncul gosip yang tidak-tidak. “Masa bekas, sih, Ra? Kok kayaknya masih bagus banget gini?” Veve menunduk, lalu tiba-tiba dia mengendusi tas seperti yang sempat kulakukan tadi. “Tasnya wangi banget, Ra. Eh, tapi kayaknya aku enggak asing sama wangi ini—“ “Ini emang wangi parfum mahal punya orang yang ngasih. Parfumnya laris manis mungkin, jadi banyak yang pakai.” Aku buru-buru memotong kalimat Veve. Tentu saja Veve merasa tidak asing dengan wanginya karena semester ini dia mengulang mata kuliah Pak Davka akibat nilainya jelek. Parfum mahal biasanya menguar kuat dan tahan lama. Iya, kan? “Bener, juga sih.” Aku langsung mengembuskan napas lega karena Veve tidak bertanya lagi. “Eh, ada pacarmu, Ra!” tiba-tiba saja, Rahma menyenggolku dengan sikunya. “Pacar? Siapa— ealah, bukan! Aku sama Iqbal enggak pacaran.” “Ngeles lagi. Lihat aja, suatu saat kalian pasti jadian. Mana ada cowok sama cewek sahabatan mulu. Iya kan, Ve?” “Yoi! Tinggal nunggu waktu aja.” Aku menghela napas panjang karena lagi-lagi Rahma dan Veve selalu saja mengatakan hal yang sama. “Terserah kalian, deh!” *** Malam ini aku mendadak tidak bisa konsentrasi karena sedari tadi menatap tas pemberian Pak Davka yang sudah aku kosongkan. Apa aku kembalikan saja daripada terus merasa tidak enak begini? Aku memang pernah dengar gosip kalau Pak Davka anak konglomerat Jakarta, tetapi itu bukan jadi alasan aku akan merasa baik-baik saja diberi tas semahal ini. Hubungan kami bahkan tidak terlalu dekat, yakni hanya sebatas dosen pembimbing dan mahasiswa bimbingan saja. Dan ini, sembilan juta? Aduh! Seumur hidup aku tidak pernah mimpi bisa memiliki tas yang harganya lebih mahal dari motorku. Meski ini bekas, tetapi tampilannya seratus persen masih bagus dan kelihatan baru. “Ra, makan dulu! Habis ini Bapak sama Ibu mau berangkat ke angkringan.” “Iya, Bu. Tunggu!” Aku buru-buru melompat turun dari ranjang, lalu keluar dan bergabung di meja makan bersama Bapak dan Ibu. Aku cukup terkejut melihat hidangan yang tersaji di meja. “Bu, tumben kok ada cumi-cumi segala?” “Tadi Ibu habis dapat pelunasan pesanan kue yang kemarin itu, Ra. Mana dikasih bonus pula, jadi ibu beli cumi buat kamu. Ada udang juga, soalnya Bapakmu suka.” Ah, Ibu. Di saat beliau lelah karena seharian bikin kue pesanan, yang selalu beliau ingat adalah aku dan Bapak. Jarang sekali beliau memikirkan diri sendiri. “Sekali-kali buat beli daging sapi juga, Bu. Ibu kan sukanya rendang.” “Iya, kapan-kapan kalau ada rezeki lebih lagi.” Setelah selesai makan malam, aku membantu Ibu dan Bapak membawa satu tas besar berisi nasi kucing yang menjadi menu paling laris di angkringan. Aku sering dengar dari tetangga kalau orek tempe dan sambal teri kentang buatan Ibu sangat juara. Dalam semalam, angkringan kami bisa menjual seratus lima puluh bungkus nasi kucing, bahkan kadang bisa lebih. Nasi kucing buatan Ibuku dijual seharga dua ribu, dan biasanya satu orang beli dua sampai tiga bungkus mengingat porsi nasi kucing memang kecil. Untuk jualan yang lain seperti gorengan, sate usus, sate telur puyuh, dan lain-lainnya, itu kadang ada titipan dari tetangga. Ibu biasanya mengambil untung dua ratus sampai lima ratus rupiah tergantung jenis makanannya. Sebenarnya penghasilan dari angkringan sudah cukup untuk biaya sehari-hari, tetapi yang namanya hidup ada kalanya muncul kebutuhan lain yang biayanya tidak sedikit. Meski begitu, Bapak dan Ibu selalu menyempatkan menabung tiap kali ada rezeki lebih. “Udah sana, Ra. Kamu pulang dan jaga rumah.” “Iya, Bu.” Setelah tiba di rumah, aku langsung kembali masuk kamar. Lagi-Lagi, tas sembilan juta ini menyita perhatianku. Aku buru-buru mengambilnya dan meletakkan di meja belajarku. “Udah, udah. Anggap ini rezeki. Jangan dipikirin lagi!” *** Hari ini jadwalku cukup padat untuk ukuran mahasiswa semester akhir. Pagi aku kuliah tiga sks, siang asistensi praktikum satu sks, masih disusul mengoreksi laporan karena nilainya sudah diminta dosen yang bersangkutan. Pak Davka yang tiba-tiba mengabari kalau bimbingan diajukan hari ini terpaksa harus kutolak. Menolak di sini lebih kepada aku mengatakan jujur kalau aku tidak bisa. Aku mengatakannya dengan baik-baik karena di sini akulah yang butuh Pak Davka, bukan Pak Davka yang butuh aku. Dia hanya menyarankan saja, karena bimbingan yang jadwalnya besok harus batal akibat tanggal merah dan lusanya dia harus ke Semarang selama beberapa hari. “Capeknya!” aku menelungkupkan kepalaku di atas meja gazebo fakultas setelah sebelumnya aku menyetorkan nilai laporan praktikum ke ruang dosen. Ini sudah jam setengah empat, dan aku belum sempat makan siang. Aku hanya sempat makan satu bungkus kecil roti bolu yang aku beli tadi pagi di kantin. Saat ini sebenarnya aku merasa sangat lapar, tetapi rasa laparku kalah dengan rasa lelah. Aku akan istirahat sejenak di sini, baru setelah itu cari makan. “Ara ...” “Hm,” “Ara ...” Seketika aku menegakkan badan begitu mengenali suara itu di panggilan kedua. Aku yang tadinya sempat mengantuk, kali ini langsung terjaga. Saat ini, di depanku sudah ada Pak Davka yang berdiri menjulang. Aku reflek menoleh kanan kiri memastikan apakah di sekitar ada banyak mahasiswa atau tidak. Ternyata aman, di area ini hampir tidak ada orang kecuali aku, Pak Davka, dan seorang mahasiswa yang tampak sibuk di gazebo paling sudut. “Ada apa, ya, Pak?” aku buru-buru merapikan rambutku yang sepertinya sangat berantakan. Bukan aku mau cari perhatian, tetapi rasanya tidak pantas kalau aku terlalu cuek dengan penampilanku. “Saya butuh bantuan kamu.” “Bantuan? Bantuan apa, Pak?” tanyaku bingung. “Nanti saya jelaskan di mobil.” “Hah? Kok di mobil?” Aku semakin bingung saja menanggapi kalimat Pak Davka. Bagaimana tidak bingung, Pak Davka tiba-tiba datang seperti jailangkung dan mendadak minta bantuan. Bantuan apa, pula? Kenapa penjelasannya harus di mobil? “Saya tidak ada waktu lagi, Ara. Kali ini saya mohon.” Apa? Aku tidak salah dengar? Pak Davka memohon padaku? Mohon untuk apa, ini? “Saya tidak mau, Pak, kalau tidak jelas—“ “Tenang, permintaan saya tidak melanggar hukum. Kalau kamu mau, sebagai gantinya proposalmu akan saya Acc. Minggu depan kamu bisa seminar.” Mataku reflek mendelik begitu mendengarnya. “Yang benar, Pak? Jangan-jangan nanti bohong.” “Tidak, saya orangnya pantang ingkar janji. Mau atau tidak?” “Ini sogokan, ya?” Pak Davka tampak melirik arlojinya, lalu menatapku lagi. “Saya tidak ada waktu lagi, Ra. Kalau tidak mau ya sudah—“ “Iya, mau, mau. Saya pegang omongan Bapak lho, ya.” Pak Davka mengangguk. “Saya tunggu di luar gerbang fakultas sebelah agar tidak ada yang salah paham.” Setelah mengatakan itu, Pak Davka pergi meninggalkanku begitu saja. Dia berjalan cepat ke arah parkiran sambil sesekali mengangkat arloji di tangan kirinya. Pak Davka kenapa, sih? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD