5. Tas Baru

1239 Words
Bimbingan kali ini aku merasa suasana di antara aku dan Pak Davka agak berbeda. Aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan kejadian tadi, atau memang Pak Davka sedang banyak pikiran. Sejak tadi Pak Davka jarang sekali menatapku, padahal biasanya dia selalu dengan percaya diri menatap lawan bicaranya. Malahan aku sendiri yang terkadang tidak berani menatap balik matanya karena merasa ciut. “Ara, harus berapa kali saya bilang kalau bagian ini jangan pakai landasan teori di jurnal awal? Saya kan sudah kasih jurnal baru. Di sana lebih kuat.” Pak Davka menyodorkan bendel skripsiku dan memperlihatkan bagian yang dia lingkari dengan tinta merah. “Ah, iya ya, Pak? Saya lupa mengeditnya.” “Kamu sebenarnya niat atau enggak mengerjakan revisian dari saya?” “Ya niat, Pak, tapi—“ “Selalu saja kamu pakai kata tapi. Sering sekali saya harus mengatakannya lebih dari sekali. Bukannya kamu yang katanya memiliki IPK—“ “Stop, Pak, saya mohon.” Sepertinya kali ini aku tidak tahan lagi kalau hal itu selalu diungkit tiap kali aku melakukan kesalahan. “Bukannya manusia itu tempatnya salah dan lupa ya, Pak? Saya hidup tidak hanya untuk mengerjakan skripsi saja. Saya sudah mencoba yang tebaik, tetapi selalu saja salah dimata Pak Davka. Oke, saya salah, dan saya terima karena saya juga masih belajar. Tapi bisa kan, Pak, jangan ungkit tentang IPK saya?” “Kenapa kamu keberatan dengan itu? Bukannya IPK tinggi adalah sebuah kebanggaan?” “Iya, itu memang sebuah kebanggan. Tapi sejak saya jadi mahasiswa bimbingan Pak Davka, saya justru merasa kalau IPK saya yang tinggi selalu Bapak jadikan sebagai alasan saya tidak boleh membuat kesalahan. Seolah mahasiswa dengan IPK tinggi harus selalu benar dan serba bisa.” Kali ini Pak Davka menatapku lurus-lurus. “Bukankah itu hal yang wajar? Dosen berani memberi nilai tinggi karena mahasiswa dianggap bisa. Daripada kamu marah-marah, lebih baik kamu merenung dan memikirkan kenapa saya selalu mengungkit tentang IPK-mu itu. Sudah saya bilang banyak dosen yang berekspektasi tinggi padamu, dan itu termasuk saya, Ara.” “Saya bukannya marah-marah, Pak.” “Lantas?” Aku diam. Aku bingung harus memilih kata apa yang paling tepat untuk menjelaskan perasaanku sekarang. Dibilang marah, mungkin iya, tetapi tidak sepenuhnya. Bagaimana, ya? Aku kesal dan merasa tertekan. Ini bukan sekali atau dua kali Pak Davka mengungkit tentang IPK-ku. Ujung-ujungnya, kalimat yang dia lontarkan sering membuatku merasa inferior. Cara Pak Davka memperlakukanku benar-benar jauh berbeda dari dosen yang lain. Kalau mereka sering memujiku, sementara Pak Davka justru sebaliknya. Aku bukannya haus pujian, tetapi aku merasa sangat syok dengan segala kritik pedas yang Pak Davka sampaikan padaku. Ibaratnya, memuji sekali, tetapi mengritik bisa sampai lima kali. Bukankah itu sangat kejam? “Saya minta maaf, Pak,” ucapku akhirnya dengan suara pelan. Sepertinya aku harus menahan diri untuk tidak mengeluarkan uneg-uneg di depan Pak Davka lagi. Sebelum semakin panjang dan aku semakin kalah, aku akan berhenti. Oke, aku harus sabar dan sadar. “Ara ...” “Iya, Pak?” “Dunia kerja itu jauh lebih keras daripada dunia anak kuliahan. Kamu perlu mental yang kuat untuk menghadapinya. Pujian tidak bikin kenyang, malah kalau terlalu banyak pujian bisa membuat orang lupa diri. Sesekali kritikan itu perlu agar sadar kalau banyak orang yang kapasitasnya jauh di atas kita. Paham?” Sesekali kritikan, Pak Davka bilang? Sesekali apanya! “Iya, Pak.” “Saya yakin sekali, seluruh kritikan yang pernah saya berikan padamu pasti jauh lebih sedikit daripada seluruh pujian yang pernah kamu dapatkan selama ini. Kritikan dari saya bisa menjatuhkanmu atau bahkan bisa membuatmu lebih kuat, itu tergantung seperti apa kamu menyikapinya.” Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kali ini aku benar-benar kehabisan kata-kata karena lagi-lagi aku merasa kalah. Kalah di sini bukan kalah dalam konotasi ‘menang-kalah’ di sebuah pertandingan, tetapi lebih kepada ujungnya aku merasa kalah karena sadar kalau apa yang Pak Davka katakan itu memang benar adanya. “Bimbingan hari ini cukup sampai di sini. Saya enggak mau membimbing mahasiswa yang sudah kehilangan konsentrasi. Itu hanya membuang waktu saya saja karena ujungnya apa yang saya katakan tidak akan sampai ke otak.” “Saya minta maaf, Pak. Bimbingan berikutnya saya usahakan lebih baik lagi.” “Ya.” Aku segera mengemasi jurnal dan laptopku, lalu memasukannya ke dalam tas. Namun, baru saja aku menarik resleting untuk menutup tas, tiba-tiba benda mungil itu putus dan lepas. Aku reflek menoleh ke arah Pak Davka, dan ternyata dia juga melihatnya. “Hehe.” Aku hanya bisa nyengir kikuk. Sebenarnya aku tahu kalau resleting tasku ini sudah rusak, tetapi kemarin-kemarin masih bisa aku betulkan. Aku belum ada uang untuk beli tas baru karena biaya rawat jalan Ibu sudah membuat keuangan keluarga sangat mepet. Beasiswaku juga belum turun karena aku dengar periode ini akan ada sedikit keterlambatan. Aku masih sibuk mencari cara bagaimana mengakali resleting tasku, ketika tiba-tiba aku melihat Pak Davka menunduk mengambil sesuatu dari laci mejanya. Detik berikutnya, dia mengeluarkan tas ransel hitam bertuliskan ‘Balenciaga’. “Pakai Itu. Itu sudah jarang sekali saya pakai.” “Tapi, Pak—“ “Kamu mau membiarkan tas kamu menganga seperti itu?” Lagi-lagi aku hanya bisa meringis kikuk. “Ya tidak sih, Pak. Ya sudah, saya pinjam dulu. Besok kalau sudah saya cuci bersih, akan segera saya kembalikan—“ “Itu buat kamu, tidak usah dikembalikan. Saya juga sudah jarang pakai.” Pak Davka mendorong tas itu ke arahku. “Tapi tasnya masih bagus, Pak. Apa tidak sayang?” “Jadi mau atau tidak?” Aku menatap prihatin tasku yang menganga, lalu menatap tas hitam milik Pak Davka cukup lama. Dengan kondisi aku yang membawa banyak barang, tidak mungkin aku membiarkan tasku menganga seperti ini. Kalaupun aku kasih peniti, tetap saja akan kelihatan berlubang dan memalukan. “Atau kamu tidak suka modelnya—“ “Bukan, Pak. Bukan begitu.” Aku reflek menutup mulut setelah tanpa sadar memotong ucapan Pak Davka. “Saya beri waktu lima menit untuk memindahkan barang-barangmu, atau kalau memang tidak mau, kamu boleh keluar sekarang. Saya banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Setelah mengatakan itu, Pak Davka berdiri dan tampak mengambil setumpuk kertas putih serta beberapa buku. Aku menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya meraih tas hitam itu dan mulai memindahkan barang-barangku. Setelah selesai, aku melipat tasku yang sudah rusak dan memasukkannya ke dalam tas ‘baru’ yang baru saja Pak Davka berikan. “Terimakasih banyak, Pak.” “Ya.” “Saya permisi.” Pak Davka tidak menyahut, tetapi dia mengangguk. Detik berikutnya, aku segera keluar dari ruangan Pak Davka dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan senang karena mendadak dapat tas ‘baru’, tetapi ada juga perasaan bersalah karena tadi aku sudah berani melawan kalimat Pak Davka. Pak Davka memang sering membingungkan. Terkadang dia baik, tetapi terkadang dia bisa terlihat begitu menakutkan. Setelah dari ruangan Pak Davka, aku duduk sejenak di bangku lobi yang biasanya. Untuk beberapa saat lamanya, aku mengamati tas ‘baru’ dari Pak Davka. Tas ini benar-benar masih terlihat bagus. Masa iya, tas sebagus ini sudah jarang dipakai? Entah dorongan dari mana, tiba-tiba aku mendekatkan wajah untuk mencium tas itu. Mataku seketika mengerjap begitu merasakan wangi yang sama dengan yang aku rasakan tadi pagi ketika tidak sengaja menubruk Pak Davka. Memang tidak sekuat yang tadi, karena wangi di tas ini hanya tercium samar-samar. Karena aku terlalu fokus dengan duniaku sendiri, aku sampai tidak sadar kalau saat ini sudah ada dua orang berdiri di dekatku. “Ra, kamu kenapa ngendus-ngendus tas itu sambil senyum-senyum?” “Hah?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD