Aku maradang menatap coretan tinta merah yang masih memenuhi proposal skripsiku. Aku kembali menangis, karena baru kali ini aku merasa sebodoh ini. Aku tiba-tiba malu dengan IPK yang aku miliki.
Ini sudah ketiga kalinya aku bertemu Pak Davka, tetapi coretan tinta merah masih juga mendominasi. Ada saja yang menurutnya kurang tepat dan harus segera diperbaiki. Aku sudah mengikuti instruksinya, meski di beberapa bagian aku memutuskan untuk membubuhkan hal baru. Iya, hal baru yang justru berujung revisi.
Apa seburuk ini proposalku, sampai warna hitam dan merah terlihat hampir imbang?
“Pak Davka!” aku menggeram tertahan, lalu menghela napas beberapa kali. Oke, aku harus segera merevisinya secepat mungkin, atau aku akan semakin diremehkan.
Aku memasukkan bendel proposalku ke dalam tas, lalu bergegas pergi dari sudut laboratorium. Hari ini harusnya aku ada kuliah nanti sore, tetapi dosen yang bersangkutan sudah memberi kabar kalau kuliah kosong dan diganti tugas.
“Ara!” tanpa menoleh pun aku tahu, itu suara Iqbal. “Habis ketemu Pak Davka, ya? Gimana? Lancar?”
Aku ingin mengumpat, tetapi yang ada justru air mataku keluar lagi. Namun, aku buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan.
“Loh? Kok nangis, sih, Ra?” Aku menggeleng pelan, lalu pergi meninggalkan Iqbal tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Aku tahu, Iqbal membuntutiku di belakang, tetapi kali ini aku sedang tidak ingin dia ajak bercanda. Aku sedang lelah, baik fisik, otak, maupun hati.
“Ra, ke McD Kotabaru yuk? Aku traktir sepuasnya, deh. Atau mau ke Yamie Panda dekat Amplaz?”
Begitulah Iqbal. Tiap kali dia tahu suasana hatiku sedang tidak baik, dia pasti akan menawariku makan dan mentraktir sepuasnya. Sayangnya, hari ini aku sedang tidak ingin makan. Aku sedang tidak selera melakukan apa pun.
“Ra...”
“Bal, kalau aku berhenti kuliah dan kerja di rumah makan Ayahmu aja, gimana? Mau bagian apa aja, deh. Aku ambil yang malem, bantu nego.”
Satu sentilan pelan mendarat di dahi. Iqbal meraih tanganku, lalu menarikku menuju gazebo fakultas. Dia membuka tasnya, lalu mengeluarkan seluruh cemilan yang dia bawa.
“Nih, kesukaanmu!” Iqbal memberiku lima butir coklat berbentuk bola-bola. Aku mengambil satu dan melahap seluruh bagian. “Mau cerita atau enggak, Ra? Kalau iya, aku dengerin. Kalau enggak, ya udah. Makan tuh semua jajan yang aku bawa.”
Aku meraih teh poci milik Iqbal, membuka tutupnya, lalu meneguknya sampai habis separuh. “Bal, terlepas dari aku ini sahabatmu, Arabella yang kamu tahu itu seperti apa, sih?”
“Hah? Pertanyaan macam apa itu?”
“Please, jawab. Kesampingkan dulu persahabatan kita. Menurutmu, dan mungkin menurut temen-temen yang lain, aku tuh seperti apa?”
Iqbal tampak menarik napas panjang, lalu menatapku dengan ekspresi serius. “Ara yang aku kenal, dia mahasiswi kesayangan hampir seluruh dosen Teknik Informatika. Siapa yang enggak kenal Arabella? Dia bahkan digadang-gadang jadi mahasiswa lulusan terbaik wisuda periode depan.”
“Beneran enggak, nih?”
“Terserah, deh!”
Aku meraih tas, lalu mengeluarkan proposal sekaligus sepenggal pembahasan yang tadi habis kubawa ke Pak Davka. Kening Iqbal langsung mengkerut begitu di halaman pertama pembahasan sudah ada coretan tinta merah.
“Ra?”
“Tahu enggak sih, Bal, mulutnya Pak Davka tuh pedes banget. Mie Gacoan level enam, lewat! Tiga kali aku bimbingan sama dia, kalau ngomong nyakitin mulu. Ada aja yang bikin aku ngerasa inferior. Aku jadi mikir, apa aku layak punya IPK 3.92, kalau bikin proposal sama tema pembahasan aja enggak becus?”
“Ra—“
“Ini udah ketiga kalinya, dan aku ngerasa stuck di situ. Memang coretan merahnya udah enggak sebanyak yang pertama, cuma aku jadi mikir kalau selama ini aku belum dapetin apa pun. Masih bodoh banget.”
Iqbal menepuk pundakku beberapa kali. “Sebelumnya kamu pernah dengar enggak sih, kalau Pak Davka emang perfeksionis banget?”
Aku mengangguk. “Pernah, tapi aku enggak nyangka kalau dia seperfeksionis itu. Bahkan sampai ukuran gambar, besar kecilnya dia atur detail.”
“Mau aku kenalin sama Mbak Alma?”
“Alma siapa?”
“Kakak kelas kita. Dulu, dia juga dibimbing Pak Davka. Malah Pak Davka pembimbing satu-satunya. Kalau kamu kan ada Bu Anis. Ya... meski Bu Anis sibuk terus akhir-akhir ini.”
“Boleh, deh, Bal.”
“Oke, nanti aku kasih nomor dia.”
Aku mengangguk, lalu mengabiskan coklat terakhir. “Makasih ya, Bal.”
“Ya...”
***
“Nak Iqbal itu pasti repot-repot kalau main ke sini.” Ibu membawa satu kresek besar berisi jajanan kering, juga dua kresek sedang berisi martabak telur.
“Lagi nyogok, Bu, biar bisa dijadiin mantu.”
Iqbal langsung terbahak ketika aku melemparnya dengan kulit kacang. “Sontoloyo!”
“Aku kan ganteng, Ra. Kurang apa, to?”
“Kurang waras!”
Sebelumnya, kumohon jangan ada yang menganggap perkataan Iqbal itu serius. Kami sudah berteman dekat sejak SMA, dan berlanjut sampai detik ini. Itu artinya, kedekatan kami sudah lima tahun lebih, dan dari dulu dia memang selalu seperti itu.
Umurku dan Iqbal beda satu tahun, jadi aku sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Dia yang berasal dari keluarga berada, tidak pernah gengsi berteman denganku yang dari kelurga biasa-biasa saja, bahkan cenderung kurang.
Bapak dan Ibukku membuka angkringan kalau malam, sedangkan kalau siang, ibu membuat kue pesanan dari orang-orang sekitar. Meski keluargaku pas-pasan, aku sama sekali tidak merasa kekurangan. Kasih sayang dari mereka yang melimpah ruah, membuat kekurangan yang lain jadi tertutup.
Ngomong-ngomong, posisiku saat ini hanyalah anak angkat. Aku diadopsi mereka ketika aku masih bayi, dan aku selalu bersyukur akan hal itu. Lewat Bapak dan Ibu, aku jadi bisa merasakan kasih sayang orang tua secara utuh.
Aku lebih bersyukur lagi mereka tidak pernah menutupi fakta kalau aku bukan anak kandung mereka. Meski awal dengar terasa sangat menyakitkan, tetapi itu lebih baik. Bagaimanapun juga, aku ini perempuan. Cepat atau lambat aku harus tahu, karena Bapak tidak akan pernah bisa menjadi wali nikahku.
“Ra, Ibumu kelihatan sehat gitu. Beneran sakit, kah?” tanya Iqbal ketika Ibu sedang sibuk di dapur, sementara Bapak tidak ada di rumah sejak tadi siang.
“Penyakit dalam itu kan enggak kelihatan langsung, Bal. Ya kalau enggak lagi kumat, bisa kelihatan sehat banget, tapi kalau lagi kumat bikin aku ketar-ketir.”
“Ya udah, kamu banyak doa yang baik.”
Aku mengangguk pelan. “Iya, itu pasti...”
Iqbal akhirnya pamit ketika jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Dia bilang habis ini mau futsal, sudah janjian dengan teman-temannya.
“Jangan pikirin terus ucapan Pak Davka, Ra. Mungkin cara dia membimbing mahasiswanya emang gitu, cara kasih semangatnya lewat kata-kata pedas. Siapa yang tahu?”
“Iya, ih. Berisik!”
“Udah ya, aku pulang. Jangan kangen.”
“Batu di sebelah motormu kayaknya keras, deh, Bal?”
Iqbal meringis. “Sadis bener, Mbak!” Aku terkekeh, sementara Iqbal segera naik motor besarnya, lalu pergi dari halaman rumahku.
Setelah Iqbal pergi, aku segera masuk rumah dan menyusul Ibu ke dapur. Namun, tiba-tiba saja aku melihat ponselku yang kuletakkan di atas meja makan menyala. Ternyata ada pesan dari Pak Davka.
Boncabe Level 50:
Besok ketemu saya jam sepuluh pagi di ruang biasanya, lusa saya ada acara.
Suaraku seketika terasa seperti tercekat di tenggorokan. “Besok banget? Wah! Orang ini semena-mena bukan main!”
***