Aku Ara. Arabella Nindya Arum. Aku adalah mahasiswa Teknik Informatika semester tujuh. Banyak orang mengenalku sebagai gadis yang kuat, tetapi sebenarnya mereka salah besar. Aku hanyalah gadis biasa yang mudah sekali menangis.
Seperti sekarang contohnya. Air mataku kembali menetes, sedikit demi sedikit, sama sekali tak bisa kubendung.
“Ra, Ibu enggak kenapa-napa, lho...”
Tangan keriput Ibu meraih sebelah tanganku yang gemetaran. Aku mencoba tersenyum, tetapi yang ada justru aku semakin menangis.
“Bu, apa aku berhenti kuliah aja, ya? Aku nemenin Ibu di rumah, soalnya Ibu enggak boleh capek-capek.”
“Jangan! Jangan sampai kamu berhenti kuliah hanya karena Ibu sakit. Ini infeksi biasa, kata dokter enggak parah. Enggak harus operasi, yang penting Ibu harus sering minum air putih, dan makan makanan yang sehat. Iya, to?”
“Tapi, Bu—“
“Ra, kamu itu udah semester akhir, bentar lagi lulus. Kalau kamu tiba-tiba berhenti kuliah karena takut Ibu enggak bisa berobat, takut Ibu kecapekan, kamu salah besar. Ibu masih bisa bekerja bantu Bapakmu. Tenang saja, Ibu bakal sering istirahat. Sayang waktumu selama ini, juga sayang beasiswamu. Meski beasiswamu belum mencukupi semuanya, tapi kita sangat terbantu. Kamu punya tanggung jawab sama pemerintah. Kamu harus sukses. Ingat itu!”
Ibu benar. Aku yang kalut, mudah sekali berpikir dangkal. Saat ini aku hanya terlalu khawatir, tidak lebih. “Bu... tapi kata dokter infeksinya bisa tiba-tiba parah kalau—“
“Sudah, ya, sudah! Jangan dibahas lagi. Ibu yakin bakal cepet sehat.” Ibu berdiri, lalu mengambil botol tupperware yang aku beli sejak aku kuliah semester satu. “Ini sudah Ibu isi, sana bawa ke kampus. Nanti dosenmu marah kalau kamu telat. Nanti kamu dicap mahasiswa enggak disiplin.”
Aku akhirnya berdiri, setelah sebelumnya memasukkan botol itu ke dalam tas ransel warna hitam yang sudah agak pudar dan terdapat lubang di beberapa bagian. “Jangan minum kopi, jangan makan pedas. Awas aja, nanti aku marah beneran, loh, Bu!”
“Iya, iya. Sudah, kamu cepet berangkat sana!” Aku keluar rumah setelah mengecup punggung tangan ibu, lalu bergegas ke kampus dengan motor matic yang dua tahun lalu Bapak beli second dari tetangga.
Kalau saja siang ini bukan bimbingan pertamaku dengan Pak Davka, aku tidak akan ke kampus. Semester tujuh aku hanya kuliah dua makul, tetapi jadwalku jadi sedikit padat karena asistensi praktikum adik tingkat. Aku ke kampus hari senin sampai rabu, sisanya kalau ada janji saja.
Sesampainya di kampus, aku segera memarkirkan motor di parkiran fakultas. Aku melirik arloji hitam harga dua puluh lima ribu yang aku beli di pasar beringharjo.
“Kok udah jam segini? Cepet banget!” aku sempat melongo kaget begitu tahu kalau saat ini ternyata sudah pukul satu lewat sepuluh menit.
Saat itu juga, aku mempercepat langkahku agar segera sampai di lantai dua, lantai di mana ruang dosen berada. Saking buru-burunya, aku bahkan hampir saja menabrak salah satu mahasiswa yang sedang makan sate sambil berdiri.
Tok tok tok!
Aku mengetuk pintu ruangan dosen pelan-pelan. Napasku sedikit ngos-ngosan, juga aku merasa ada keringat yang mengalir di pelipis.
“Mbak Ara, cari siapa?” aku reflek menoleh ketika seseorang menyapaku. Ternyata Bu Umi, salah satu dosen yang mengenalku cukup baik.
“Pak Davka, Bu. Beliau ada di dalam, kah?”
“Meja Pak Davka udah pindah di lab, Mbak.”
“Lantai berapa kalau boleh tahu, Bu?”
Bu Umi tersenyum. “Lab lantai satu, ruangannya ujung sendiri.”
“Oh iya, Bu, terimakasih banyak.”
“Sama-sama, Mbak Ara.”
Setelah pamit, aku kembali turun ke lobi fakultas, lalu berjalan cepat menuju laboratorium yang letaknya di gedung sebelah. Aku masuk dengan tergesa, sambil mengeja plakat nama dosen yang ada di atas pintu.
“Oh itu, dia!”
Aku berlari ke sudut lorong, dan ternyata pintunya sedikit terbuka. Aku mengetuk pelan, dan hanya dalam dua kali ketukan, seseorang di dalam sudah menyahut menyuruhku masuk.
“Siang, Pak...” sapaku sambil menyembulkan kepala.
“Telat lima belas menit, awal yang buruk buat kamu.”
Deg!
Aku mengusap keringat dengan sapu tangan, sebelum akhirnya masuk dengan kepala menunduk. “Saya minta maaf, Pak. Tadi saya habis mengantar Ibu ke rumah sakit.”
“Ya sudah, sekarang duduk.” Pak Davka mengisyaratkanku agar duduk di kursi yang berada tepat di depannya.
Aku melihat Pak Davka berdiri, lalu mengambil satu bendel kertas putih. Aku tebak itu adalah proposal skripsiku yang minggu lalu dia minta supaya ditaruh di ruang dosen lantai dua.
“Arabella Nindya Arum.”
“Iya, Pak?”
“Saya sudah periksa proposal kamu kemarin. Silahkan perbaiki lagi sesuai instruksi saya, sudah saya catat kekurangannya.” Pak Davka menyerahkannya padaku, dan aku segera menerimanya. “Bu Anis kan belum lama ini diangkat jadi dekan, jadi beliau super sibuk dalam beberapa bulan ke depan. Beliau sudah pasrah sama saya, tapi beliau minta kamu jangan sungkan menghubungi untuk menanyakan waktu luang.”
“Baik, Pak.” Aku mendongak, dan untuk pertama kalinya aku menatap Pak Davka dari jarak sedekat ini. Ternyata benar kata teman-teman, Pak Davka memang setampan itu kalau dilihat dari dekat.
“Bu Anis banyak memujimu, tapi itu justru membuat saya semakin kecewa.”
Alisku bertaut bingung. “Maksudnya, Pak?”
“Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi buat kamu yang katanya mahasiswa kesayangan banyak dosen dan memiliki IPK 3,9.” Aku cukup kaget begitu mendengar ucapan Pak Davka.
Apa maksudnya bilang begitu?
“Ee... saya—“
“Hari ini cukup dulu. Kamu boleh keluar sekarang, soalnya jam setengah dua saya ada ngajar. Saya tunggu revisinya besok lusa.” Pak Davka tiba-tiba berdiri, memakai kacamatanya, lalu meraih satu buku tebal dan map berwarna hijau muda.
“I-iya, Pak.” Aku ikut berdiri, lalu menunduk sekilas ketika Pak Davka berjalan melewatiku dan keluar lebih dulu.
Aku menyusul keluar beberapa saat kemudian, dan kusempatkan untuk menutup pintu. Setelah itu, aku segera duduk di kursi panjang yang ada di lobi laboratorium.
Sebelum mengecek revisian dari Pak Davka, aku meneguk air mineral yang Ibu bawakan. Suasana siang ini memang membuat siapa saja mudah merasa haus. Matahari terlalu sombong di atas sana.
“Oke, mari mulai!”
Tepat ketika aku baru membuka lembar pertama, aku langsung dibuat terdiam lama sekali. Aku merasa seperti tertampar kanan dan kiri begitu melihat coretan tinta merah hampir memenuhi lembar itu. Aku terus membukanya, dan ternyata semuanya hampir sama.
Tanpa sadar, mataku memanas dan tanganku mengepal erat. “Jadi ini maksud dia bilang aku enggak memenuhi ekspektasi?”
***
PEONY- 01/01/22