Anakmu bukan hanya satu, Ayah.
Tapi kenapa tingkahmu seakan-akan anakmu hanya satu?
—daffa Malik
•||•
Suasana kantin siang ini lumayan padat. Membuat ke lima cowok itu agak kesusahan untuk mencari adik kelas yang akan disuruh untuk membelikan mereka makanan. Mereka sedang ada di kursi kantin paling pojok. Favorite mereka.
"Eh balik sekolah mabar nyok!" ajak Bani.
"Ah males gua, lagi nggak ada stamina buat mabar." kata Kakha. Cowok berambut keriting itu adalah seorang maniax game. Bagaimana tidak? Setiap hari ia akan menghabiskan waktu 5 jam untuk bermain game online.
"Dih takut kalah lo ya!" Ejek Rifki kepada Kakha. Kakha bersungut-sungut lalu menggeplak kepala Rifki asal.
"Banyak bacot lo pada!" ucap Daffa. Nadanya terkesan ketus ketika mengucapkannya. Entah apa yang menganggu pikiran Daffa.
"Wes kalem bro, kalem. Lo kenapa?"
Daffa hanya menggeleng-gelengkan
Kepala. Kepalanya berputar sebelum memanggil seseorang. "Ricki!"
Ricki, cowok yang dipanggil itu segera menghampiri meja Daffa dan teman-temannya. "Ada apa dap?"
Daffa memberi uang 100 ribuan kepada Ricki, "Tolong beliin nasi goreng 1 sama air mineral 1 terus bawain ke tempat adek gua ya."
"Buat Diffa aja?"
"Iyaa. Eh bentaran. Lo pada mau makan apaan?" Tanya Daffa kepada teman temannya.
"Samain aja dap. Tapi kita minumnya es teh!"
Daffa menghadapkan kembali wajahnya kepada Ricki. "Nih Ki, nasi goreng 4 sama es tehnya 5 buat gua sama yang lain." Kata Daffa sembari ia mengeluarkan kembali uang 50 ribuan dari saku seragamnya.
"Oke bentar ya!"
Ricki meninggalkan Daffa dan teman temannya lalu pergi ke stand penjual nasi goreng. Daffa mengotak atik ponselnya sebelum seseorang menghampirinya dan membuat emosinya memuncak.
"Daffa!"
Daffa menoleh ke arah orang itu. "Ada apa?" Orang tadi terlihat sedang mengatur napasnya yang masih tersegal-segal sehabis lari.
"Itu anjir," laki-laki yang datang menghampirinya itu menarik napasnya yang masih tidak beraturan sehabis berlari. Daffa berdecak. "Yaang jelas woi!"
"Itu kembaran lo, njir!"
Daffa langsung berdiri mengetahui bahwa berita permasalahan yang dibawa laki-laki ceking ini adalah permasalahan adik kembarnya.
"Diffa kenapa?"
"Itu lagi diintrogasi si Freya sama temen-temennya."
"Dimana?"
"Dilapangan!"
Daffa langsung mengepalkan tangannya. Ia kesal setengah mati karna cewek itu. Bukankah Daffa sudah memperingati Reya bahwa jangan pernah menganggu adiknya?
Daffa langsung berlari keluar dari kantin. Membuat ke empat temannya mengikuti Daffa. Daffa berlari ketengah lapangan yang sudah berisikan Freya dan juga teman temannya bersama Diffa dan Caca.
"Freya!"
Freya membalikan badannya. Sedikit tersenyum untuk memikat hati Daffa. Daffa menatapnya dengan datar.
"Lo ngapain adek gue?"
"Duh Daffa, sorry nih ya, gue nggak ngapa-ngapain adek lo, kok. Tapi adek lo-nya yang kegatelan deketin pacar temen gue!" kata Freya. Nadanya terdengar sangat menyebalkan ditelinga Daffa.
"Terus kenapa lo yang marah?" tanya Daffa. Matanya menatap nyalang ke arah perempuan itu.
"Ya jelas gue marah lah, adek lo mau ngegatelin cowoknya Rika. Masa gue harus diem aja?!"
"Gue nggak deketin cowoknya Rika!" Diffa setengah berteriak membuat Daffa menghampirinya dan mengusap punggungnya pelan-pelan. Caca yang disebelah Diffa hanya bisa menggenggam tangan dingin perempuan itu.
"Diffa nggak deketin Razha, Re." Kata Caca. Cewek cantik yang merupakan anak baru itu sepertinya ikut kesal.
Freya tersenyum miring. Membuat Daffa de javu akan sebuah peristiwa dimana senyum itu juga yang menghancurkannya.
"Udahlah. Murahan mah murahan aja."
Daffa semakin emosi ketika adiknya dikatai murahan seperti itu. Ia maju lalu mencengkram rahang reya pelan. Bagaimanapun Reya ini perempuan, dan Daffa anti menyakiti fisiknya.
"Lo nggak usah kebanyakan bacot jadi cewek. Cuma gara gara cowok lo nyakitin hati orang lain. Otak lo dimana?" Nada suara Daffa terdengar dingin. Freya berusaha melepas cekalan Daffa pada rahangnya.
"Aawh Daffa lepasin...." rintih Reya.
Daffa seolah tuli. Ia tidak melepaskan tangannya dari rahang Reya. Sebelum akhirnya ada tangan yang menarik tubuhnya hingga tertarik ke belakang.
Tubuh daffa terpental dan sebuah pukulan telak mendarat pada rahangnya yang tegas.
"Ayaaaaah!" Teriak Freya.
Daffa mematung ketika indera pendengarannya mendengar bahwa Freya menyebut seseorang yang memukulnya tadi dengan sebutan Ayah.
"Kamu diapain?" Farhan bertanya dengan khawatir. Memeriksa tubuh Reya. Daffa masih menunduk untuk menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya.
Farhan yang tidak mendapat jawaban dari Freya pun segera menghampiri Daffa. Tangannya menarik rambut Daffa dengan kencang. Daffa masih saja menunduk.
"Mana wajah kamu? b******k! Berani menyakiti anak saya!" Suara dingin Farhan terdengar menyakitkan di telinga Daffa. Anak saya.
Daffa masih saja tetap dengan pendiriannya untuk tidak menunjukan wajahnya. Membuat Farhan kesal dan langsung menampar pipi Daffa dengan sangat kencang. Seluruh anak anak murid disekolah ini memperhatikan mereka. Dari lantai 1, hingga ke lantai 4. Tak sedikit pula anak-anak yang ada di lapangan.
Daffa masih saja bergeming. Tidak menunjukan wajahnya. "Kamu tuli?" Farhan berkata pedas lagi. Daffa tetap tidak bergerak sedikitpun. Sakit di hatinya lebih mendominasi dari pada sakit pada tamparan juga rambutnya yang ditarik paksa oleh Farhan.
Farhan belum menyadari siapa cowok yang dia pukuli ini. Diffa berada di samping Caca sudah berkaca kaca melihat sosok yang dirindukannya lebih membela anak lain.
"Saya bicara sama kamu b******k! Kamu apakan anak saya?!" Farhan semakin mencengkram rambut Daffa dengan sangat kencang membuat urat urat disekitar kepalanya terlihat.
Rifki, Bani, Kakha, dan Ilham ingin menghampiri Daffa. Namun tak jadi karna dia melihat Diffa yang sudah meneteskan air matanya.
Daffa masih bergeming. Matanya memerah menahan sakit di kepalannya. Demi Allah, Raka bahkan tak pernah melakukan ini kepadanya.
Farhan memberikan tinjunya kepada pipi Daffa. Membuat bibir Daffa kembali mengeluarkan darah segar. "Tunjukan wajahmu b******k! Siapa orang tua mu?!" Tanya Farhan dengan sedikit berteriak.
Akhirnya Daffa mengangkat wajahnya. Menatap Farhan dengan sorot kebencian yang nyata. Emosi Farhan seketika lenyap ketika melihat wajah itu. Wajah yang beberapa menit lalu dia pukul.
Daffa berdiri tegak dihadapan Farhan tanpa mengelap darah di sudut bibirnya yang berdarah. Tulang pipi juga sudut matanya sudah membiru.
Farhan terlihat gemetaran. "Daffa?"
Daffa diam tidak menjawab. "Tadi bapak nanya siapa orang tua saya kan?" Tanya Daffa dingin, membuat Farhan meneguk ludah dengan rasa rasa bersalah yang menghimpit dadanya.
"Ibu saya Nara. Ayah saya Raka. Bapak bisa panggil mereka sekarang juga."
Hati Farhan mencelos. Mendengar bahwa Daffa mengucapkan bahwa Raka adalah ayahnya. Belum sempat Farhan membalas, Daffa sudah pergi dengan menarik Diffa dari tengah lapangan yang juga diikuti oleh caca. Lapangan itu secara tidak sengaja menjadi tempat pertontonan adegan tadi.
Farhan menunduk. Semua murid yang tadi melihat mereka terlihat sudah bubar dan masuk ke kelasnya masing masing. Freya menyentuh bahu ayahnya. "Ayah?"
"Tinggalkan ayah sendiri, Re." usir Farhan. Freya mengerti apa yang diinginkan ayahnya. Ia meninggalkan Farhan sendirian di tengah lapangan.
Farhan menatap tangannya yang baru saja memukul darah dagingnya. Ia mengepalkan tangannya, lalu setetes air mata membasahi pipinya dengan cepat. Tuhan, hukuman macam apa yang kau berikan kepada hamba kali ini?
***