“Pa, kenapa Papa nggak terus terang? Kenapa Papa nggak bilang lebih awal, kalau Papa ditipu habis-habisan sama mitra barunya Papa, yang bikin Papa terlibat hutang begini besar? Dan, ya ampun, Pa! Papa jaminkan rumah ini sebagai tambahan modal buat proyek yang gagal itu? Begini saja, Pa, aku lebih rela kehilangan semua asset perusahaanku buat menebus rumah ini, buat membayar semua hutang Papa, walau mungkin tidak bisa sekali bayar,” terdengar suara Ray, antara kecewa, sedih, marah, dan bimbang.
Tubuh Ferlita langsung bergetar mendengarnya.
“Om Pedro terlibat hutang? Rumah ini dijaminkan? Lalu bagaimana nasib para karyawannya? Bagaimana nasib orang-orang yang bekerja di rumah ini? Si Mbok, Mbak Esih, Pak Tanu? Tabunganku dari ngajar les selama ini ada berapa? Kira-kira cukup nggak, untuk kasih orang-orang di rumah ini sedikit pesangon? Atau perlu kujual semua perhiasan dan koleksi tas yang kerap dibelikan sama Om Pedro maupun Ray buatku? Ya, rasanya itu perlu segera kulakukan,” gumam gadis itu.
“Jangan, Ray. Ini tanggung jawab Papa. Satu yang Papa minta, jangan sampai Ferli tahu. Rahasiakan ini darinya. Buat sementara, Papa titip dia dulu di apartemenmu. Papa bisa tinggal di rumah kita yang satu lagi, tapi itu kan terlalu jauh dari kampus Ferli. Kita relakan dulu rumah ini. Nanti Papa bereskan satu-persatu keruwetan ini. Ray, resiko dalam bisnis itu selalu ada, jangan menanggapi terlalu berlebihan,” sahut Pak Pedro tenang.
“Enggak, Pa. Papa membangun bisnis Papa dari nol. Mitra Papa itu harus kita laporkan. Aku nggak rela,” balas Ray.
Hening beberapa saat. Yang terdengar hanya helaan napas saja.
“Ray, sudahlah. Dia sudah pergi entah kemana. Dan ternyata, yang ditipu bukan cuma Papa. Banyak. Sebelum kamu lahir dulu, Papa juga pernah hidup susah. Jauh lebih susah dibandingkan sekadar kena tipu dan kehilangan harta benda. Nggak masalah, kalau siklusnya memang harus berulang, ya, itulah hidup. Papa cuma minta bantuanmu untuk cari alasan, kalau sekiranya Ferli tanya, kenapa kita keluar dari rumah ini. Dia nggak boleh hidup susah, Ray. Nggak boleh! Papa sudah berjanji, di depan makam Papanya. Papa sudah janji, akan menjamin segala keperluannya,” kata Pak Pedro.
Ferlita menggigit bibir mendengarnya. Air matanya jatuh. Disandarkannya punggungnya ke dinding, kala merasakan pandangannya memburam.
“Jangan jadikan aku bebanmu, Om. Aku sudah sangat beruntung diadopsi begitu aku kehilangan keluargaku. Nggak ada yang bisa menyaingi ketulusan hati Om di dunia ini, yang tetap bersedia dipanggil ‘Om’ hingga kini, nggak nuntut dipanggil ‘Papa’,” desah Ferlita lirih.
“Enggak, Pa. Papa nggak boleh mulai dari nol atau bahkan minus. Asset yang aku miliki memang nggak banyak. Tapi bisa kujual semua, untuk menutupi sebagian hutang Papa. Sisanya, nanti kita pikirkan. Pokoknya, perusahaan Papa harus tetap survive, dan nggak ada satu orang pun, yang keluar dari rumah ini,” tegas Ray.
“Ray, nggak ada lagi yang perlu diskusikan. Nggak ada orang tua yang mau membebani anak,” terdengar sahutan sang Papa, tak kalah tegas.
“Papa ini ngomong apa? Semua yang Ray punya, itu juga miliknya Papa,” bantah Ray.
“Ray, kamu kerja keras, buat semuanya itu, bahkan semenjak kuliah,” sahut Pak pedro lagi.
“Modal awalnya juga dari Papa. Pa, please, kasih aku rinciannya. Apa-apa yang masih bisa kita selamatkan. Kasih aku kesempatan, Pa, buat jadi anak yang berguna,” pinta Ray dengan nada rendah. Khas nada memohon.
Hening lagi sekian menit. Hati Ferlita berdebar menanti kelanjutannya.
“Ray, kamu mau jadi anak yang berguna? Berjanjilah satu hal ke Papa,” kata Pak Pedro kemudian.
“Apa, Pa?” tanya Ray tak sabar.
“Kalau terjadi sesuatu pada Papa, jaga Ferli dengan baik. Pastikan kuliahnya selesai. Pastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Belikan dia tempat tinggal yang layak, pakai uang asuransi Papa. Sayangi dia, jangan biarkan dia kerja yang berat-berat, kalau bisa jangan sampai bekerja buat orang lain, yang kita juga nggak tahu perlakuannya sebaik apa. Sementara dia belum bisa membuka usaha sendiri, biar dia bantu pekerjaan yang ringan saja, di tempatmu. Jual, ya, semua asset Papa yang tersisa, kamu bagi dua hasilnya, sama Ferli,” ucap Pak Pedro rinci.
“Papa! Papa ini ngomong apa? Tanpa Papa ngomong begitu, aku pasti jaga dan bantu dia, semampuku. Dia itu adikku satu-satunya, tanggung jawabku juga. Mana, Pa, rinciannya, aku harus tahu, supaya aku bisa cepat bereskan, sebelum permasalahannya jadi meluas,” balas Ray.
“Papa belum selesai bicara, Ray. Satu lagi, kamu utamakan, ya, kebahagiaan Ferli. Papa tahu, kamu bukannya nggak suka sama Daniel, kamu hanya takut Ferli terluka. Kamu khawatir, karena menurutmu secara mental, Daniel itu belum stabil. Tapi jangan terlalu frontal, Ray. Kasihan dia. Selama dia masih mau menjalani hubungan dengan Daniel dan dia bahagia, kamu cukup awasi diam-diam, jangan kekang dia. Tapi kalau memang dia terpaksa menjalaninya, dan itu membuat hatinya susah, itu soal lain. Kamu harus bicara tegas sama Daniel. Kalau Ferli cerita, kamu kasih pandangan, tapi jangan pernah melarang-larang atau membuatnya bingung. Daniel sama Ferli itu masih muda, Ray, biarkan dulu mereka berteman. Jalan mereka kan masih panjang. Ya, meskipun Papa kerap pesemis dan khawatir, bahwa hubungan mereka nggak akan kemana-mana. Jangan sampai, mereka putus, karena Papa atau kamu yang meminta,” urai Pak Pedro runut.
Ferlita terenyak.
“Jadi, Ray nggak suka Daniel? Dan Om Pedro sebenarnya juga meragukan Daniel? Namun, bertindak sangat hati-hati demi menjaga perasaan aku?” desah Ferlita penuh sesal.
Ferlita tak sanggup lagi. Diketuknya pintu ruangan kerja Om-nya. Dua orang di dalam ruangan tersebut tampaknya terkejut, sehingga langsung berhenti bicara. Ferlita memutar handel pintu dan menguak daun pintu. Melihat wajahnya, Ray dan Pak Pedro tampak gugup.
“Ferli, kamu sudah datang? Bagaimana kursusnya? Wah, pasti makin lancar bahasa Inggrisnya,” kata Pak Pedro sembari bangkit dari duduknya, menyongsong keponakannya dan memeluknya dengan rindu, membelai rambutnya dengan sayang.
“Iya, Om. Hai, Ray,” sapa Ferlita setelah Pak Pedro mengurai pelukannya.
“Fer, sudah makan? Kamu pasti jetlag setelah long flight. Istirahat dulu, gih. Aku menginap di sini kok, sampai besok. Ada yang mau aku bicarakan sama Papa,” kata Ray.
“Bicara tentang, kita harus keluar dari rumah ini?” Ferlita kelepasan bicara.
Wajah Pak Pedro langsung memucat. Raypun setali tiga uang.
“Ah, kamu ngomong apa? Sana, istirahat dulu. Kamu kan masih capek. Nanti kalau kamu sudah mandi, sudah segar, kita bertiga makan keluar, ya?” ucap Ray. Entah mengapa, Ferlita meradang, merasa dirinya dianggap anak kecil yang tak tahu apa-apa.
“Ray, kenapa bersikap seakan semua baik-baik saja? Om, kenapa aku nggak boleh tahu? Aku ini sudah kelamaan jadi beban Om, kasih aku kesempatan untuk sedikit meringankan permasalahan Om. Aku nggak keberatan tinggal di mana saja, nggak musti tinggal di sini, Om. Yang penting, permasalahan Om cepat teratasi, dan jangan sampai ada apa-apa dengan perusahaan Om,” cetus Ferlita, membuat Pak Pedro dan Ray terperangah.
“Kamu ini ngomong apa, Ferli? Sudah, istirahat saja. Om sama Ray lagi ngobrolin kerjaan, kok. Nggak ada yang serius,” Pak Pedro masih berpura-pura.
Ferlita menggelengkan kepalanya. Hatinya perih dibohongi begini.
“Aku sudah dengar kesulitan yang Om hadapi, biarpun sedikit. Om menjaminkan rumah ini, kan? Dan ada tanggungan hutang dari proyek yang gagal?” tanya Ferlita.
“Kamu nguping, dari tadi?” tanya Ray pelan.
Ferlita menggigit bibirnya. Hatinya pedih, teramat pedih.
“Aku nggak sengaja dengar. Om, Om tolong fokus sama urusan perusahaan dan pegawai Om saja, ya. Aku mau urus untuk pindah ke kelas sore saja, toh tahun depan kuliahku selesai. Aku mau cari kerja mulai sekarang, pasti banyak teman yang mau bantu kasih referensi. Om jual saja mobil yang biasa kupakai, dan ijinkan aku menjual semua perhiasan yang pernah Om dan Ray belikan. Aku nggak memerlukannya. Mungkin, itu bisa sedikit membantu,” usul Ferlita.
Pak Pedro mengelus-elus kepala Ferlita dan berkata pelan, “Kamu ini ngomong apa? ”
“Iya, Fer. Ini urusan aku sama Papa,” tambah Ray lugas.
Ferlita langsung tersinggung mendengarnya. * * Lucy Liestiyo * *