Hening beberapa saat.
Ferlita mengangkat bahu saja, sekuat hati menahan tawa. Dipalingkannya wajahnya ke samping, takut hatinya telanjur luruh memandangi wajah kekasihnya.
“Fei, Sayang...,” Daniel tak tahan lagi. Dia yang duluan menyapa.
“Iya,” sahut Ferlita singkat.
“Hei..., kita bukan pasangan abege yang lagi adu ngambeg, kan? Ingat Fei, hubungan kita sudah ditempa jauhnya jarak dan perbedaan waktu, demi membuktikan pada orang-orang di sekitar kita bahwa kita menjalaninya dengan serius! Bukan sekadar cinta monyet,” Daniel mengingatkan.
Ferlita mengangguk samar.
“Iya, sih. Tapi Dan, aku mau tanya, kira-kira kalau kita berdua lagi rayain ultah kamu, siapa yang bakal kamu kasih potongan pertama kue kamu?”
“Ha ha ha... Fei, memang nggak ada pertanyaan lain? Sayang, kamu udah tahu jawabannya, pasti kamu dong,” sahut Daniel mantap.
“Bener ya? Oke, aku mau potongan pertama kuenya. Sekarang,” Ferlita menunjukkan pisau kue di tangan kanannya.
“Honey...,” Daniel menggantung kalimatnya. Dia tersenyum geli. Daniel memeluk laptopnya, lantas mendaratkan kecupan di wajah sang kekasih, yang terpantul melalui layar laptopnya. Penuh perasaan, membuat Ferlita enggan memperpanjang script-nya.
“So, tetap nggak mau ketemu nih? Sudah ngantuk berat, ya?” tanya Ferlita lagi.
Tawa Daniel meledak.
“Mister Sanjaya belum beliin pesawat jet pribadi buat anaknya yang ini, Fei. Mungkin takut disalahgunakan, selama anaknya belum dalam pantauan radar gps-nya,” nadanya ringan saja, bukan seperti orang yang sedang mengadu lantaran Brenda, sang kakak, justru telah berhasil memaksa sang Ayah membelikan pesawat jet pribadi serta melibatkannya dalam salah satu bidang usahanya. Dan Ferlita lega sekali mendengar Daniel bisa menyebut nama Papanya sebagai bahan guyonan. Diucapkan dalam nada rendah pula.
‘Ah, semoga memang benar Daniel semakin harmonis dengan papanya,’ ucap Ferlita dalam hati. Penuh harap.
“Dan?” panggil Ferlita manja.
“Ya?” sahut Daniel segera.
“Ngantuk, ya? Kata temanku, suara kamu mirip orang baru bangun tidur,” kata Ferlita.
“Lho, kok ngalihin pembicaraan?” tanya Daniel dalam kebingungannya. Bagaimana mungkin secepat itu info yang diberikan orang yang menghubunginya pada Kekasihnya ini? Seingatnya, dia tak membuang waktu terlampau lama untuk mengaktifkan skype-nya.
“Soalnya kalau enggak ngantuk, aku mau ketemu sekarang. Aku mau first slice kue tart kamu. Langsung dari tangan kamu,” ulang Ferlita.
“Mulai lagi, deh! Fei, udahan ah, bercandanya. Ngobrolin yang lain, kenapa?” pinta Daniel.
“Aku serius,” tegas Ferlita.
“Fei..., andai Doraemon di sini, aku mau pinjam pintu kemana saja,” timpal Daniel.
“Ngantuk nggak? Kira-kira bisa konsen nyetir, nggak?” Ferlita tak menghiraukan kalimat Daniel sebelumnya.
“Fei...,” ucap Daniel lirih. Nada suara Daniel mulai putus asa. Ferlita tak tahan lagi. Dia juga begitu ingin bertemu Daniel. Terlebih karena week end ini tidak ada kelas.
“Dan, aku ada di Emerald Apartment. Jauh nggak, dari tempatmu?” tanyanya segera. Enggan membuang-buang waktu percuma lagi.
Mendengar itu, Daniel bagai disengat lebah. Dia pun terkaget-kaget.
“Hah? Fei, kamu serius? Gimana ceritanya?” tanya Daniel pula.
Ferlita hanya tertawa sebagai jawabannya.
“Fei, you are joking, right?” takut dikerjai lagi oleh Ferlita, Daniel menahan gejolak hatinya. Dia takut bakal kecewa menjumpai bahwa sang pujaan hati hanya menggodanya saja.
Lebih dari mengangguk, Ferlita mengangkat laptopnya. Lantas ia menggerakkannya ke segala arah, sampai Daniel terkejut sendiri saat matanya menangkap gambar lobby apartement dan kerlip lampu mega mall SWANISH di kejauhan. Semua sisa rasa kantuk Daniel lenyap tak berbekas. Begitu pula migrain yang sudah dua hari membayanginya.
“Fei, tunggu! Dua puluh lima menit lagi aku sampai di sana!” tanpa menunggu jawaban Ferlita lagi, Daniel buru-buru sign out. Bergegas membasuh wajahnya, menyikat gigi, menyemprotkan penyegar nafas ke mulutnya, menyambar kemeja dan kunci mobilnya. Emerald Apartment hanya berjarak dua belas menit berkendara dari tempatnya, tapi Daniel mendadak kena demam ‘anak baru gede’. Seperti pertama kali mau ketemu sama Cewek idaman. Bercermin berkali-kali.
*
Taxy berhenti di depan rumah asri itu. Sang pengemudi menurunkan koper dari bagasi lalu mengangguk sopan, mengucap terima kasih usai menerima bayarannya. Ferlita memang sengaja menolak dijemput oleh Pak Tanu, supir Pak Pedro dari Bandara hari ini. Dia bahkan merahasiakan hari dan jam kedatangannya pada Pak Pedro.
Sejumlah oleh-oleh untuk Pak Pedro, Ray dan Bu Edna, ada di dalam kopernya, berdesakan dengan segala macam pernak-pernik mungil yang diburunya selamahari-hari terakhir berada di Tucson. Juga sejumlah cendera mata yang dibelikan Daniel untuk dirinya.
Ferlita terkenang bagaimana dia memburu oleh-oleh tersebut.
...
Daniel mengantarkan dirinya kemana-mana di sisa harinya di Tucson. Kadang berdua saja, sering juga bertiga dengan Hani. Daniel mereferensikan sejumlah tempat untuk membeli souvenir, mengajaknya makan malam romantis, mengunjungi tempat wisata di akhir pekan, menyempatkan menjemputnya dari kampus, bahkan tertawa geli ketika memasak bersama, mie instan bawaan Ferlita di dapur flat Ferlita. Daniel bilang, dia selain kangen Ferlita, dia juga kangen sama aroma mie instan yang satu itu.
Hani sampai iri sekaligus salut pada mereka berdua, yang sanggup eldeeran dan jarang bertemu. Hani bilang, buat dirinya saja yang berpisah selama dua bulan ini, rasanya sudah tak tertahan. Mendengarnya, tentu saja Daniel terang-terangan membanggakan Ferlita lagi, membuat Ferlita tersipu, sekaligus... gentar lagi!
“Itu karena Fei yang jadi pacarku, Han. Dia suportif banget. Jadi eldeeran-nya worth it. Kalau Cewek lain, nggak bakal kuat, aku njalaninnya. Kalau bukan dianya yang minta putus, bisa jadi aku yang mutusin, sebelum njalanin eldeeran. Tapi Fei beda, limitted edition. Dari yang deg-degan karena takut dia bakal tergoda sama Cowok lain, makin kemari aku makin yakin, dia memang cinta mati, sama aku. Bayangin, Han, dia itu bisa lho, ambil program yang mulainya bulan Maret, di mana suhu udaranya juga lebih ramah. Tapi karena dia ngepasin supaya pas ulang tahunku, dia sengaja ambil yang mulai bulan Juni. Padahal, tahu sendiri kan, panasnya lagi gila-gilanya? Thankyou ya, Fei sayang,” kata Daniel saat mengantarkan Ferlita dan Hani menuju airport. Tanpa ragu, dikecupnya kening Ferlita di depan Hani. Lantas dipeluknya erat kekasih hatinya. Lama.
Ferlita memejamkan mata sesaat. Hatinya sungguh perih.
“Ya ampun, Dan, stop it! I’m not that good, and I’m not that strong. Kamu nggak tahu kan, aku pernah makan berdua sama Bang Edo. Memang, cuma makan, sekalian bahas kerjaan. Bang Edo juga sopan, nggak mancing omongan yang menjurus ke perasaan. Akunya, Dan, akunya yang makin meragukan perasaanku yang suka ngelantur belakangan ini. Kamu nggak tahu aja, aku malah ngerasa Bang Edo lagi ngejauhin aku sekarang, dengan ngurusin kerjaan di luar kota. Dan aku.. nggak tahulah, rasanya ada yang hilang,” seandainya bisa, ingin Ferlita mengatakan hal ini.
...
Sesudah membuka gembok pagar, Ferlita menutupnya kembali sepelan mungkin. Dia mau memberi kejutan, makanya sengaja membawa kunci gembok segala, bukan cuma kunci rumah dan kamarnya. Dilihatnya, Toyota Vellfire warna graphite metallic milik Ray terparkir di carport, bersebelahan dengan mobil Mercedes-Benz C-Class kepunyaan Pak Pedro.
“Ssst,” Ferlita menempelkan jari di bibirnya, ketika asisten rumah tangga menyongsongnya dan mengambil alih koper yang dibawanya. Dibiarkannya kopernya beralih tangan, sementara dia berjingkat-jingkat melintasi ruang tamu, mengarah ke ruang keluarga, siap mengejutkan Om dan sepupunya. Namun sebelun tiba di ruang keluarga, telinganya mendengar suara percakapan dari arah ruang kerja Pak Pedro.
* * Lucy Liestiyo * *