Kali ini Daniel merasa tubuhnya sangat lemas, seperti tak bertulang saja. Ucapan Triyono jelas merupakan bentuk pengusiran secara halus kepadanya. Dan dia tak berminat menunjukkan sikap temperamennya saat ini. Dia sedang malas ribut sama orang, betapa pun dia ingin berteriak sekerasnya untuk melampiaskan kemarahannya saat ini. Tapi pada siapa? Triyono?
Alangkah recehnya apabila dia mencari gara-gara pada Sang satpam yang jelas-jelas tak mempunyai masalah pribadi dengannnya bukan?
“Masa kamu hilang begitu saja, Fei? Nggak mungkin. Fei, dimana kamu sekarang? Apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi sebenarnya? Aku nggak yakin kamu bisa melupakan aku secepat ini,” gumam Daniel kala dirinya telah duduk di belakang kemudi kendaraannya.
Daniel langsung mengarahkan kendaraannya menuju satu tempat lagi, rumah Bu Edna. Malangnya, menurut keterangan dari salah satu anak kost, Bu Edna sedang menghadiri pernikahan salah satu keponakannya di Jogjakarta. Tatkala Daniel meminta nomor telepon Bu Edna, anak kost tersebut enggan memberikannya. Sekali lagi, Daniel tak tertarik mencari musuh baru dengan cara memaksa si anak kost.
Daniel mencoba menghubungi nomor ponsel Romeo. Satu kali, dua kali, tiga kali. Tidak berjawab. Di menit ke tujuh, sebuah pesan teks masuk ke ponselnya.
From : Romeo Hendardi Laksana
Bro, sorry, lagi ada pasien nih. By the way, selamat atas kelulusannya. Masih betah di Singapura? Kapan-kapan kalau balik ke Jakarta, bilang, ya. Siapa tahu pas gue juga bisa balik ke Jakarta.
Daniel mengeluh dalam hati. Tidak berniat untuk basa-basi. Dikirimnya sebuah pesan balasan pada sahabatnya.
To : Romeo Hendardi Laksana
Let me know how to contact Ferlita, Rom.
Tidak ada jawaban lagi. Entah karena Romeo sibuk menangani pasiennya, atau memang enggan menjawab. Daniel melampiaskan kesalnya dengan memukul-mukul setir mobilnya. Diingat-ingatnya kawasan yang pernah disebut Ray sebagai kantor event organizernya. Dilajukannya kendaraannya ke arah sana.
Apa daya, fakta yang ditemuinya di sana, semakin membuat kepalanya bertambah berat. Rukan gandeng tiga lantai tempat Ray berkantor dulu, kini telah berubah wajah, menjadi sebuah toko waralaba yang lumayan luas.
“Kantor event organizer? Wah, setahu saya nggak ada, di kompleks rukan ini, Pak,” jawab tukang parkir yang ditanyai Daniel.
“Mas baru, jadi tukang parkir di sini?” korek Daniel dengan menahan kesan meremehkan.
“Enggak, Pak. Saya sudah tahunan. Oh, ya, ya, saya ingat, dulu ada kantor event organizer yang lumayan ramai, di sini. Punyanya Pak Ray, pak Raymond itu ya nama panjangnya. Tapi rukannya sudah lama dijual, Pak. Dengar-dengar, mereka pindah kemana, gitu deh. Mungkin sekarang nyewa atau gimana,” jawab di tukang parkir.
“Pindah ke mana, Pak? Ada yang tahu?” tanya Daniel, yang sudah siap-siap menyelipkan lembar uang ke tangan tukang parkir.
“Maaf, nggak ada yang tahu. Maaf ya, Pak, ini lagi ramai parkirannya. Saya mau kerja dulu,” tukang parkir itu menolak uang yang diberikan Daniel. Huh, detik ini tangan Daniel sudah mengepal sebenarnya, siap melayangkan bogem mentah.
‘Jangan, Daniel. Kuasai diri kamu. You promised,’ seakan sebuah suara membisikinya.
Suara seseorang yang sungguh mau menjadi ‘seseorang’ baginya. Yang menyadarkannya, bahwa masih ada hati yang lembut, yang peduli akannya, yang mau mengerti tentangnya dan menerima kelemahannya, beban yang diembannya. Seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya, dan ‘mengajar’nya akan arti kata ‘tanggung jawab’.
Daniel mendengkus kesal dan membuka pintu mobilnya. Dia sudah nggak sanggup berlama-lama di sini. Dia kecewa, sekaligus terluka. Parah sekali.
“Nggak usah ngomong apa-apa lagi, deh, Fei. Kamu tuh, cuma bisa teori, cuma nuntut aku buat janji ini itu. Kamu nyadar nggak, kamu juga punya janji, ke aku! Faktanya, kamu yang tega hancurin hati aku, kan? Apa kamu enggak ngerti betapa mahal arti sebuah kepercayaan? Enggak kebeli, tahu nggak?” gerutu Daniel sendirian, sembari memukuli lagi setir mobilnya dengan gemas.
...
“Hei, Dan, kok malah di sini, sih? Ini, kenalin, yuniorku waktu kuliah S1 dulu. Inge, ini Daniel, adikku. Daniel, ini Inge,” kemunculan Brenda yang lagi-lagi, sok akrab dan sok hangat menepuk pundak Daniel dan memperkenalkan seorang gadis pada Daniel, memutus lamunan Daniel.
Daniel mengamatinya. Seorang gadis cantik berparas indo. Alis yang tebal, hidung bangir, tulang pipi yang tinggi, sepasang mata yang menatap penuh percaya diri serta bibir yang ranum itu terpampang di depan mata Daniel. Rambut panjang gadis itu dibiarkan tergerai melewati bahu. Sedikit ikal di ujung rambut, memberikan kesan eksotis lagi sexy. Tubuhnya proporsionalnya sungguh memenuhi standard model, bila kata ‘ceking’ terlampau kasar untuk disematkan. Senyum segar gadis itu terkembang kala mengulurkan tangan pada Daniel.
“Hi, Inge, nice to meet you,” sapa Daniel sambil menjabat tangan yang terulur padanya.
“Hi, Daniel, nice to meet you too. Congrats buat kelulusannya, ya. Selamat datang kembali di Jakarta. Brenda banyak cerita soal kamu. Kelihatannya bangga banget, jadi kakakmu,” sahut Inge, nyaris membuat Daniel dan Brenda saling menatap dengan perasaan canggung dan aneh.
‘Bangga? Bangga sama saingannya?’ pikir Daniel yang saking bingung mendapati fakta bahwa Brenda membanggakan dirinya, sampai membuatnya lupa mengucap terima kasih ke Inge.
“Eh, Dan, tahu nggak, Papa dan Mamanya Inge, ternyata juga datang ke pesta ini. Papa yang ngundang,” dengan kecerdasan supernya, Brenda buru-buru mendistraksi keadaan agar sang adik tidak terlalu geer, lantaran diam-diam dibanggakannya selalu. Di belakangnya, tentu saja.
“Oh, ya?” Daniel tak punya kata lain, selain itu.
Brenda tertawa riang.
“Iya! Dunia sempit, kan? Tahu nggak, Inge ini siapa? Dia putri tunggal Om Victor Harison Wijaya, rupanya. Padahal Om Victor sama Papa sudah beberapa kali terlibat dalam proyek kerja sama, lho. Jadi lucunya, tadi itu Inge cerita, dia sama orang tua nya sama-sama kaget, pas ketemu di sini. Soalnya mereka kan, berangkat masing-masing..,” tutur Brenda.
“Oh, ya?” Daniel mengulang kata yang sama.
“Iiiiya! Jadi, Inge itu sudah diajak sama Om dan Tante, untuk menemani mereka kemari, tapi dia menolak, alasannya karena sudah telanjur ada janji sama aku, mau menuhin undanganku. Dia memang belakangan datangnya. Ih, kamu nggak tahu sih, adegan dia ketemu sama orang tua nya tadi, kocak, tahu, nggak! Papa sama tante Ann sampai ikut ketawa geli. Terus, Om Victor sampai bilang, bisa-bisanya mereka nggak bilang mau menghadiri pesta siapa. Kalau tahu dari awal, kan bisa berangkat bareng,” lanjut Brenda dengan semangat.
“Oooo,” kali ini Daniel memangkas kalimatnya.
Brenda langsung mencebik sebagi reaksinya.
“Ye, garing! A, o, a, o melulu! Nah, kalian ngobrol berdua dulu, di sini. Aku ketemuin teman-temanku yang lain dulu. Sabar ya Nge, adikku ini kelihatannya aja ngomongnya ngirit. Tapi soal hati, sih, selembut salju, dia. Terus yang terpenting, he is single, available, and loveable. Kutinggal dulu, ya,” Brenda mengedipkan matanya pada Daniel, tak peduli paras Inge sedikit memerah mendengarnya terang-terangan menyodorkan sang adik padanya.
Melihat Inge tampak agak rikuh mendengar kalimat promosi yng dilontarkan oleh Brenda, Daniel terdorong mengambil peran sebagai tuan rumah yang baik. Diajaknya Inge mengobrol di dekat kolam renang, sedikit menjauh dari keramaian pesta.
Dan Inge, ouh, sama sekali tak menolak. Suka cita seketika membuncah di hatinya. Dari sebelum bertemu Daniel saja, dia sudah mengagumi sosok yang kerap disebut-sebut Brenda sebagai si ‘otak encer’ dan ‘nggak kebanyakan gaya’ itu, pada selaksa acara ngopi-ngopi mereka. Siapa sangka, pertemuan pertama saja sudah begini lancarnya, kan?
Keceriaan Inge, wawasannya yang luas serta tatapan memujanya yang dua tiga kali dipergoki oleh Daniel, diam-diam membuat Daniel sedikit terlupa kekesalan hatinya akan hilangnya Ferlita, juga sebuah email panjang yang dikirimnya sebagai harapan terakhir untuk mendapatkan titik terang. Yang, sayangnya, buntu. Tak terjawab.
Lalu kini ada gadis secantik Inge, yang mampu mengimbangi percakapannya.
Daniel menimbang-nimbang dalam diamnya beberapa saat.
Hingga ia tiba pada satu keputusan yang dirasanya penting untuk kedamaian hatinya.
‘Ah, sudahlah! Kalau kamu masih bisa tersenyum, mengapa harus cemberut, kan? Nikmati saja acaranya, nikmati obrolan menyenangkan ini,’ pikir Daniel menghibur diri.
Mereka berdua tidak tahu, ada sejumlah pasang mata yang tengah tertuju pada mereka berdua. Mata yang mengamati bahasa tubuh mereka, dan menabur harapan yang sama. Mata milik Pak Agustin, Pak Victor dan istrinya, Bu Chelsea yang berdarah Rusia itu, tak ketinggalan tante Ann dan Brenda.
* * * Lucy Liestiyo * *