Pesta penyambutan Daniel yang digagas secara kompak oleh tante Ann, dan Brenda, berlangsung meriah. Para kerabat, rekan bisnis sang Papa, hingga tamu-tamu yang Daniel kenal saja tidak, memberi ucapan selamat datang pada Daniel sekaligus memuji prestasinya yang luar biasa. Daniel kerap memergoki betapa sumringah wajah Papanya tercinta, setiap kali memperkenalkannya kepada rekan-rekan bisnis yang diundangnya malam ini.
Ini merupakan malam ketujuh Daniel kembali ke Jakarta, tepatnya waktu yang direncanakan malam terakhir dirinya menginap di rumah sang Papa. Sejak sebelum tiba kedatangannya, dia sudah bernegosiasi dan mengajukan sejumlah syarat pada Papanya. Dia bersedia segera berkantor di salah satu perusahaan Papanya, asalkan tidak tinggal lagi di satu atap dengan sang Papa.
Nggak. 24 jam dalam sehari, dia harus berinteraksi dengan Papanya, serta harus menghadapi Brenda yang, entah kenapa, sekarang kian sok akrab padanya (selama tiga setengah bulan sejak Daniel mengulur-ulur waktu kepulangannya ke Jakarta dengan berliburan ke sana kemari dan mondar-mandir nggak jelas di Singapura kurun waktu tersebut, Brenda rajin menghubungi dan bahkan sesekali menghabiskan weekend di apartemen tante Ann, menemaninya), diprediksinya bakal menguras semua energi positif di dalam dirinya.
Maka, tinggal di apartemen adalah pilihan Daniel. Dan apa susahnya sih, bagi seorang Agustin Reynand Sanjaya yang tengah dilanda suka cita besar itu untuk memberinya sebuah unit apartemen baru yang full furnished, berisi tiga kamar tidur di Rosalinda Penthouse, yang hanya berjarak 15 menit berkendara dari gedung di mana Daniel akan berkantor nanti? Dia tinggal membawa koper pakaian, esok pagi.
Daniel sengaja tak mengundang satu pun temannya dalam pesta ini. Dan herannya, Papanya serta Tante Ann setuju saja. Pendeknya, kembalinya Daniel ke rumah mungkin dianggap kembalinya si anak hilang, sehingga mereka menuruti saja semua kemauannya.
Pada satu momen di mana Daniel dapat sedikit melepaskan dari posisi sebagai si pusat perhatian, mendadak rasa itu datang lagi. Rasa hampa bercampur rindu, akan sesuatu yang takkan terjangkau. Ingatannya melayang kepada seseorang gadis berwajah innocent, yang dikenalnya dalam sebuah pesta semacam ini.
Seseorang, tempatnya menitipkan hati, yang lewat tatap matanya, bahasa tubuhnya, senantiasa mengisyaratkan : Everytime you need someone to talk, to share, to hear something from you, to take care about you… I always here, be with you. Seseorang, yang kemudian mematahkan hatinya. Seseorang yang membuatnya bertanya-tanya dalam diam, mungkin benar mereka berdua tidak punya cukup cinta dan alasan untuk memperjuangkan hubungan mereka. Diingat-ingatnya, betapa sepihaknya hubungan mereka dulu. Dia sibuk berkisah tentang dirinya, permasalahannya, tanpa memperhitungkan semua itu berpotensi menyesaki pikiran Ferlita. Lalu bodohnya, dia juga selalu bilang, takkan memaksa gadis itu untuk berbagi kisah padanya, selama belum siap.
“Itu bukan wujud pengertian dan kesabaran, melainkan egois dan egosentris! Semua-mua selalu soal aku, aku, dan aku! I’m sorry, Fei!” desah Daniel pelan.
Daniel teringat kejadian dua hari lalu, sewaktu dia tak dapat menahan diri lagi untuk menemui Ferlita. Beberapa hari di Jakarta, cukup sudah baginya untuk membiarkan dua kepentingan berperang dalam benaknya. Antara sakit hati dan rindu. Gengsi versus ingin tahu. Harga diri melawan hasrat minta penjelasan atas kisah yang belum usai, setidaknya baginya.
...
Daniel tertegun di depan pagar rumah yang tampak agak kusam. Di sini, dulu, pertama kalinya dia berani memegang tangan Ferlita, saat mengantar gadis itu pulang dari kediaman keluarga Laksana. Ah, membayangkan senyum gadis itu saja sudah membumbungkan rasa kangennya setinggi langit. Kangen yang mungkin tidak akan pernah tuntas, sampai kapan pun.
Papan bertulis ‘Bangunan ini disita’ yang disertai nama sebuah bank di bawahnya, membuat lambung Daniel bak tertohok. Rumah yang dulu asri ini, sekarang tampak merana, tak terawat. Tanaman sedikit meranggas. Hati Daniel mencelos. Matanya mencari-cari siapa gerangan yang bisa ditanyakan mengenai keberadaan para pemilik rumah.
Sayangnya, tak seorangpun terlihat di sekitarnya. Sebagaimana kompleks perumahan yang cukup elit, rumah-rumah sekitarnya yang semua pun berpagar tinggi seakan minim kegiatan di dalamnya. Sulit mengetahui apakah ada penghuni atau tidak di dalamnya. Dan dia tak mungkin juga, bertingkah bagai orang gila, dengan membunyikan bel tetangga, tentunya.
Lama Daniel menanti, berharap ada kendaraan yang melintas, atau para asisten rumah tangga yang mungkin tengah keluar membuang sampah atau apa dan bisa ditanyainya. Dua jam berlalu. Sia-sia. Kompleks perumahan ini seperti kota mati saja.
Akhirnya Daniel memutuskan untuk meninggalkan kompleks perumahan tersebut. Ketika mengambil kartu pengenalnya di pos satpam, Daniel bertanya pada satpam muda yang tadi menyimpan kartu pengenalnya.
“Pak, pak Pedro dan keluarganya pindah kemana, ya? Rumah mereka keliatannya kosong,” tanya Daniel.
“Blok apa pak? Oh, tadi bapak bilang mau ke jalan Krisan blok B nomor 5 kan, ya?” tanya satpam muda itu, mengingat-ingat. Tampaknya mudah baginya, sebab tak banyak orang yang keluar masuk kompleks pada waktu-waktu begini.
“Siapa?” sela seorang satpam senior yang tampaknya baru kembali dari toilet.
“Pak Pedro, Pak, Jalan Krisan blok B nomor 5,” sahut Daniel.
Satpam senior yang bernama Triyono itu mengingat-ingat sebentar.
“Keluarga pak Pedro sudah hampir setahun, mungkin, enggak tinggal di sini lagi, pak. Enggak lama setelah Pedro meninggal dunia,” terang Triyono.
“Meninggal?” tanya Daniel, tersentak.
“Iya, Pak. Itu juga dengar-dengar dari pembantu yang dulu pernah kerja di rumahnya. Kebetulan pembantu itu berteman sama istri saya,” sahut Triyono.
“Dimana sekarang mereka tinggal, pak? Maksudnya, anak-anaknya pak Pedro?” kejar Daniel tak sabar.
“Enggak ada yang tahu, Pak,” jawab Triyono, mematahkan asa Daniel.
Daniel memejamkan mata dan menggelengkan kepala dengan hati berat.
“Boleh saya minta alamat asisten rumah tangga yang Bapak maksud?” tanya Daniel.
“Maaf, saya enggak tahu. Mbak Karsinah itu sudah lama pulang kembali ke kampungnya, bersamaan dengan pindahnya anak-anak Pak Pedro dari rumah itu. Waktu itu dia sempat pamit ke rumah, ke istri saya,” jelas Triyono.
“Kampungnya di mana, Pak?” kejar Daniel.
“Celakanya, kita enggak ada yang tahu, Pak,” jawab Triyono.
Bahu Daniel melemas mendengarnya, dicarinya kejujuran di mata Triyono, dan dia memang melihatnya dengan nyata. Satpam itu tidak bohong. Ya, setidaknya Triyono tidak seperti Ferlita, yang menutup-nutupi apa yang menimpanya.
“Pak, itu rumahnya Pak Pedro disita, kenapa ya?” tanya Daniel lagi.
“Eng.., nggak tahu, Pak. Lagian, seandainya tahu pun, nggak sopan kalau dibahas,” kali ini raut wajah Triyono sudah mengisyaratkan dia tak mau diganggu lebih lanjut. Sungguh terang benderang di mata Daniel. Dia pun merubah strategi.
“Di mana pak Pedro dimakamkan?” ini pertanyaan pamungkas Daniel. Pikirnya, dari sana dia pasti dapat ditelusurinya keberadaan Ferlita berada. Bila dia sering mengunjungi makam pak Pedro, bukan tak mungkin kan, suatu saat akan bertemu dengan Ferlita? Atau setidaknya, dia dapat menelusuri alamat mereka dari cattan administrasi yang ada. Itulah harapan yang terbersit di benaknya.
“Maaf, kami enggak ada yang tahu. Kalau sekiranya sudah tidak ada keperluan lagi..”
Ucapan itu terhenti sampai di sana.
* * Lucy Liestiyo * *