“Enggak apa-apa,” sahut Ferlita acuh tak acuh.
‘Masa nggak ngerti juga sih, Dan!’ keluh Ferlita dalam hati, setelahnya.
Daniel mengernyitkan keningnya. Sebetulnya, dia tidak terima diperlakukan macam itu oleh Ferlita. Tapi toh, sekarang ini dia tengah dalam misi ‘meraih kesuksesan dalam Project F,’ karenanya ia paham bahwa ia harus banyak sabar.
“Kenapa sih, Fei? Apa aku ganggu kamu? Well, oke, aku mungkin bukan orang yang setaat kamu, ya, dan aku nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Makanya tadi, selama dari rumah Bu Edna kemari dan kamu nggak mau nyahutin aku, aku pikir kamu lagi mempersiapkan hati buat misa. Ya, meskipun, hm, seingatku, keluargaku nggak gitu-gitu amat, sih..,” Daniel menggantung kalimatnya, menyesali celoteh spontannya yang menyebut-nyebut tentang keluarga segala.
Celotehan yang menghadirkan kembali kenangan masa kecilnya. Sang Mama yang senantiasa menyelenggarakan doa Rosario di rumah mereka setiap Rabu malam, di depan Goa Maria yang berada di halaman belakang rumah. Sang Mama yang rutin membangunkan anak-anaknya agar berdoa bersama di pagi hari, sebelum memulai aktivitas masing-masing, dan jelas, mengharuskan mereka mengikuti misa bersama di hari Minggu pagi. Seingat Daniel, mereka tetap mengobrol selama dalam perjalanan, malah Daniel kecil kadang iseng, sering pura-pura ketiduran di dalam mobil, supaya bisa absen. Sama dengan yang dilakukannya setiap pagi, pura-pura tak mendengar gedoran pintu dan bentakan Sang Papa agar keluar kamar, gara-gara tak rela mendapati Sang Istri yang sekian lama mengetuk pintu kamar Daniel serta memanggil-manggil si anak tengah, hingga suaranya serak, tapi hasilnya nihil. Ah, itu saja sudah cukup membuatnya bosan, merasa terlalu tertib dan terkondisikan. Tapi, tadi itu?
‘Ferlita ini apa-apaan, sih!’ gerutu Daniel dalam hati.
“Keluargamu nggak gitu-gitu amat gimana?” tanya Ferlita tiba-tiba. Terdorong untuk tahu lebih banyak tentang Daniel, sebenarnya. Mendengar pertanyaan mendadak Ferlita, Daniel langsung merasa perutnya mual, enggan membahasnya. Ia menggeleng.
“Enggak. Sudah, masuk saja. Kuantar ke rumahmu. Besok jadi, kan?” tanyanya setengah mendesak.
Ferlita menatap ke sekitar. Ia mendapati, ada beberapa pasang mata memandang pada mereka dan mengangguk. Ferlita balas mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil. Nggak, dia sedang enggan berbasa-basi sama siapa pun, saat ini. Dia mau selekasnya sampai di rumah, lalu memblokir nomor Daniel buat selamanya. Dan baru memikirkan untuk melakukannya saja, hatinya sudah dibuat galau seiring suara hatinya yang bagai mengejek dirinya sendiri, “Eh? Kenapa, gitu? Bukannya kemarin senang, dapat teman baru yang menurutmu asyik?”
Saat Daniel berhasil menstarter mobilnya dan melajukannya di jalan raya, dia mengerling setengah kesal. Ferlita masih diam, membeku di tempatnya. Ah, dia mana mau ambil pusing? Ngapain repot-repot tanya Ferlita itu kenapa, mending ke sasaran utama, lah! Itu yang terpikir oleh Daniel kala mengucapkan, “Besok kita makan siang di..,”
“Nggak ada makan siang. Nggak usah,” potong Ferlita dengan kecepatan jambret merampas dompet si korban yang lengah.
Daniel mengernyitkan kening lagi, lalu menggeleng. Yang model begini nih, yang dia nggak suka! Baru saja keluar misa, kok ngeselin hati. Pikirnya, yang hobby-nya membuat kesal dirinya itu cukup satu orang, deh. Itu tuh, si Mister Agustin Reynand Sanjaya, yang sumbangsih group perusahaannya dalam donasi bencana alam serta kegiatan sosial rutin pada beberapa panti asuhan, panti jompo hingga rumah singgah dan bermacam yayasan anak berkebutuhan khusus dianggap sebagai keberpihakan terhadap mereka yang kerap terlupakan itu. Betul, the most loveable Mister Sanjaya yang berkomitmen mensponsori operasi katarak dan bibir sumbing untuk masyarakat kurang mampu setiap semesternya. Yang barangkali amnesia atau nggak lulus pelajaran tentang kemanusiaan dan hak azasi manusia, sehingga berpikir dan mengarahkan dirinya secara paksa untuk menjadi the better quality of the next Sanjaya.
Teringat akan hal itu, Daniel muak luar biasa. Ia kerap bertanya-tanya kala tengah merenung sendirian : Kenapa harus dia? Anak asuh Bapak Sanjaya kan banyak, arahkan saja toh, satu di antaranya, sebagian atau mereka semua? Atau.... hm, Brenda?
Ya, ya, Brenda itu adalah sosok mengesalkan lainnya buat Daniel.
Pada detik ini yang ada di dekat Daniel bukanlah duo Sanjaya melainkan ‘Fei tersayang.’ Tetapi yang membuatnya terusik, adalah sikap Ferlit ayang membuatnya kesal barusan. Membuatnya tak habis pikir : Bagaimana caranya sikap mengesalkan bisa ditularkan oleh orang-orang yang bahkan nggak pernah ketemu, coba?
“Nggak jadi gimana? Yeee, kamu kan, sudah janji!” cemooh Daniel pelan.
Ferlita mengernyitkan alis dan memalingkan wajah pada Daniel.
“Janji?” tanya Ferlita bernada protes.
“Ya. Kamu kan sudah janji, besok kita makan siang bareng. Belum 24 jam loh, kamu ngucapin itu,” kecam Daniel super mantap.
“But you broke a promise first!” sahut Ferlita datar.
“Hah?” Daniel mengerem mendadak. Untung saja di belakang mereka tidak ada kendaraan lain. Tapi tetap saja, badan Ferlita sempat terlonjak sesaat, membuatnya jengkel. Kalau saja dia tidak mengenakan safety belt, mungkin badannya sudah membentur dashboard.
“Dan, apa-apaan sih! Sembarangan, main berhenti begitu aja! Kalau ada kendaraan lain di belakang, gimana coba?” omel Ferlita. Gusar dia.
Daniel mengangkat bahu dengan santai, tanpa merasa bersalah. Lantas ia melajukan kembali kendaraannya.
“Maksud kamu apa, Fei? Aku ingkar janji apa? Coba, ngomong yang jelas supaya aku nggak menebak-nebak dan ternyata salah!” Daniel menurunkan intonasi suaranya.
Ferlita mendesah kesal. Daniel hampir menggelengkan kepala, dilanda gemas.
‘Ah, ah, bukan mau menghakimi kamu, Fei sayang!’ kata Daniel dalam hati, tatkala secara mendadak dia melihat bayangan wajah yang terhormat Bapak Sanjaya dalam sosok Ferlita. Benang merahnya jelas, sama-sama membuat dirinya bete.
Daniel mengembuskan napas sepelan mungkin, menyebar-nyabarkan hatinya.
Belum genap satu jam mengawasi dari seberang jalan, ketulusan, kesabaran serta keceriaan Ferlita ketika berada di tengah anak-anak kecil, adalah suatu pemandangan indah yang dipikir Daniel, layak dibingkai dalam sesuatu bernama kenangan. Sepanjang misa sore yang berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam, Cewek itu juga terlihat khidmat. Mana mungkin gambaran indah dan menyentuh perasaan begini terlewat begitu saja? Tapi hei, lihat sikapnya sekarang? Apa bedanya dengan Bapak Agustin Reynand Sanjaya, yang dipuja khalayak ramai, tapi tak pernah mau peduli keinginannya, kan? Di mata Daniel, Bapak satu itu suka sekali mengatur setiap sisi kehidupannya, nggak bedanya meletakkan sejumlah barang di tempat masing-masing. Andai saja bisa dan cukup punya nyali untuk terang-terangan membantah, maunya Daniel melawan dan berkta dengan sinis kepada sang Papa, “Eh, kenapa sih? urus Brenda saja deh, ya, dia anak pertama lho, dan sudah setengah mati bersaing sama si anak tengah, dalam berbagai hal, demi menjadi pusat perhatian semua orang. Stay away from me! Berhenti mengatur hidupku. Aku ini orang, bukan barang. Aku punya nyawa dan kehendak bebas.”
Mati-matian Daniel mengusir bayangan Papa dan kakaknya yang muncul silih berganti, menyesaki pikirannya. Malangnya, malah ungkapan sebal bercampur keputusasaan dari Brenda yang terngiang di telinganya, seolah menyesali mengapa dirinya terlahir sebagai anak perempuan, yang menjadikannya kurang dianggap oleh sang papa. * * LL * *