“Fer, kamu dijemput? Temanmu kelihatannya sudah ngelihatin kamu dari tadi,” kata Bu Edna begitu semua anak SBI telah meninggalkan beranda rumahnya yang luas bak pendopo, usai menyalami dirinya serta Ferlita. Belasan anak usia 6 hingga 8 yang tinggal di sekitaran kompleks perumahan Bu Edna, melewati pagar rumah Bu Edna dengan riang.
Sebagian dari para bocah itu masih menyenandungkan salah satu lagu yang mereka nyanyikan dengan Ferlita tadi secara bersahutan, sambil berjalan beriringan menuju rumah mereka, “Hati yang gembira adalah obat. Seperti obat hati yang senang. Tapi semangat yang patah keringkan tulang. Hati yang gembira Tuhan senang.” Ferlita mengikuti arah pandangan Bu Edna. Bagai mengalami serangan jantung ringan, mendapati Daniel tengah berdiri di sisi mobilnya yang terparkir di pinggir tanah lapang, tepat di seberang rumah Bu Edna. Dari jarak sekitar 8 meter, Daniel tersenyum menatapnya. Ferlita melengos sebal, apalagi melihat Daniel berjalan mantap ke arahnya. Tanpa merasa tak enak hati seenaknya datang ke rumah Bu Edna.
“Teman kamu kan, Fer? Lain kali diajak mampir saja, biar nunggu di dalam. Kasihan kan, nunggu di luar begitu,” kata Bu Edna.
Ferlita mengangguk dengan terpaksa, menghindari pandangan ingin tahu dari Bu Edna. Dia merasa gerah, padahal langit agak mendung sore ini dan angin sepoi juga bertiup membelai wajahnya. Jenis gerah yang sama dengan ketika seseorang mendapati mantannya yang putusnya nggak baik-baik, seenaknya menunjuk dirinya sebagai anggota timnya pada proyek mendatang, di depan semua kolega baru orang itu.
“Saya, eh, kami permisi dulu, ya, Bu. Mau langsung misa sore. Minggu depan, kalau Mbak Pasca atau Mbak Yoan berhalangan, saya bantuin Ibu lagi. Mari, Bu,” ucap Ferlita, demi mengantisipasi pertanyaan apa pun dari Bu Edna. Dilangkahkannya kakinya melewati pagar, diiringi Bu Edna yang berjalan di sisinya.
“Selamat sore. Bu Edna, kan? Saya Daniel, Bu, mau jemput Ferlita,” sapa Daniel yang tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan mereka, bahkan sebelum Bu Edna menyahuti Ferlita.
Bu Edna takjub. Dipandangnya pemuda di depannya, yang tengah mengangguk sopan padanya.
“Hai Daniel. Wah, Ferlita sudah sempat cerita soal saya, rupanya? Katanya kalian mau misa sore?” Bu Edna balik bertanya.
Daniel senyum kecil.
“Sedikit sih, Bu. Wah, anak didiknya lumayan banyak ya, Bu. Setiap minggu berapa kali belajarnya, Bu?” tanya Daniel penuh minat.
Ferlita menahan napas dan menyabar-nyabarkan hati dalam diam.
“Yang di sini hanya usia 6 sampai 8 tahun. Kalau usia 9 sampai 11 tahun, belajarnya di rumah lain. Seminggu sekali saja, Dan, setiap hari Sabtu. Daniel teman kuliahnya Ferli, ya?” tanya Bu Edna lagi.
“Oh, begitu. Semoga semakin banyak, ya, anak didiknya,” kata Daniel setengah bergumam, sengaja tak mengacuhkan pertanyaan di ujung kalimat Bu Edna.
“Amin,” sahutan Bu Edna terluput dari perhatian Daniel.
Meski hanya sekitar satu jam Daniel memerhatikan diam-diam aktivitas anak-anak SBI di pendopo rumah Bu Edna, sudah lebih dari cukup untuk mengenangkannya pada sosok Mamanya, Ibu Rita Delvina Sasikirana, yang telah berpulang kala dia baru dua tahun menjadi murid Secondary School. Ya, Mama yang melepasnya dengan berat hati, untuk bersekolah di negara tetangga. Mama yang rutin mengunjunginya, minimal dua bulan sekali, menengok si bocah bengal di apartemen tante Ann, adik bungsu papanya, di kawasan Orchard Road.
Semasa hidupnya, Sang Mama biasanya menginap beberapa hari, pernah pula sampai dua minggu bila menengoknya. Daniel tahu, walau setengah mati menyangkal, Mamanya yang setia dan sangat mendukung sang Suami memfasilitasi berbagai tempat untuk menampung ide kreatif anak muda serta mempunyai ratusan anak asuh yang dibiayai penuh pendidikannya tersebut, rela menahan perasaannya sendiri, menempatkan diri di antara sang Suami dengan putra tengahnya. Sang Mama jelas berusaha menjembatani ayah dengan anak, meminggirkan perasaannya sendiri yang kerap terluka menyaksikan betapa sang anak jauh lebih lengket dan percaya kepada adik iparnya ketimbang dirinya sendiri.
Ah, ada kalanya Daniel menyesal, kalau mengingat alangkah sering dia sengaja mengabaikan Mamanya, tak peduli kehadiran sang Mama. Niatnya kan cuma ingin menyakiti perasaan sang Papa, melalui Mamanya. Dia tahu sekali betapa dalam cinta Papanya kepada Mamanya, dan sebagai bocah lelaki usia belasan, tentu saja yang terpikir olehnya, kalau dia menyakiti perasaan Mamanya, sama toh dengan menyerang Papanya yang menurutnya hobby mengatur itu? Malah sepertinya, Papanya akan lebih menderita, menyaksikan belahan jiwanya tersakiti oleh buah hati mereka. Itulah pemikiran sesat Daniel.
Kabar duka tentang Mamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, bukan sekadar menghadirkan lubang hitam besar bagi Daniel. Juga tak sebatas kehilangan besar dan perasaan bersalah yang dipendamnya. Bukan, bukan hanya itu. Bila semasa Mamanya ada, seolah sang Mama adalah titian rapuh antara hatinya dan hati Papanya, kini titian itu runtuh sudah. Koneksinya bagai terputus. Keduanya bagai dua sosok asing yang tak saling mengenal, di pemakaman Rita Delvina Sasikirana. Itu pula yang memantapkan dirinya untuk meneruskan pendidikan pada College di Singapura selama dua tahun, sembari berjuang keras, mendapatkan beasiswa program sarjana IT. Siapa menyangka, di dalam raganya yang proporsional, fisiknya yang menawan, otak cerdasnya, kebengalannya, percaya diri yang ditunjukkannya, sikapnya yang suka memberontak, ada satu bagian yang kerap meratap, dan itu adalah hatinya?
“Daniel satu kampus sama Ferli, ya?” pertanyaan Bu Edna terdengar lagi.
Daniel tergeragap.
“Eng.. bukan, Bu. Sahabat saya yang pernah satu SMU sama dia,” cetus Daniel.
Bu Edna manggut-manggut, bak komputer yang tengah memproses inputan untuk memberikan output terbaik. Dua detik, diliriknya Ferlita yang tampak gelisah, jauh dari kesan nyaman.
“Kalian mau berangkat sekarang? Hati-hati di jalan, ya,” ucap Bu Edna bijak.
“Fer, kalau minggu depan atau suatu saat Ibu perlu bantuan kamu lagi, masih bersedia, kan?” tanya Bu Edna kemudian.
“Iya, Bu. Kan hari Sabtu saya nggak ngapa-ngapain. Lagi pula, saya senang misa sore di Kapel ketimbang di Gereja. Suasananya beda,” cetus Ferlita jujur.
Bu Edna mencermati raut wajah gadis itu.
‘Ibu tahu kenapa, Nak. Seperti halnya keenggananmu untuk sepenuhnya membantu di sini, meski Pedro juga terus berusaha mendekatkan kamu kepadaku. Satu hal yang perlu kamu yakini, Nak, bila Tuhan menempatkanmu pada suatu keadaan yang membuatmu merasa tak berdaya, Dia pula yang akan membawamu melalui semua itu,’ kata Bu Edna dalam hati.
“Terima kasih kalau begitu. Nah, sebaiknya kalian berangkat. God bless!” Bu Edna mengusap punggung Ferlita dengan sayang. Sama seperti kemarin-kemarin, Ferlita dilanda perasaan nyaman, disentuh seperti itu. Ingin dipeluknya perasaan itu, selama mungkin, tetapi pengaruh kuat dalam hatinya bagai memberi peringatan tegas, “JANGAN, FERLITA! PUT IT OFF!”
Bu Edna menyertai langkah kaki Ferlita dan Daniel menuju pinggiran tanah lapang di seberang rumahnya. Daniel membukakan pintu untuk Ferlita. Keduanya mohon diri pada Bu Edna. Ketika Daniel memencet pelan klakson mobilnya dan melambaikan tangan, Bu Edna membalasnya.
*
“Fei, memangnya kalau sebelum misa sampai dengan misa selesai dan sampai di tempat parkir begini, harus puasa ngomong, ya? Ini, sekarang sudah boleh ngomong nggak, sih?” tanya Daniel tak sabar, setelah mereka usai menghadiri misa.
Ferlita menatap Daniel sekilas, tangannya menahan pintu mobil yang telah terbuka untuknya.
“Eng.. Dan, aku balik naik taksi saja, ya,” kata Ferlita, seraya membuang pandangan matanya ke samping. Bola mata Daniel seketika berputar, seolah hendak bertanya, “Lho, kemana wajah ceria yang menyanyi dan memeragakan koreo untuk diikuti anak-anak kecil tadi, ya? Apa ketinggalan di rumah Bu Edna, atau di dalam Kapel, mungkin?”
“Heh, kenapa?” tanya Daniel dengan ekspresi orang yang habis dipalak preman. Padahal faktanya dia baru beberapa menit mengikuti misa, juga! * * LL * *