Lebih dari menunjuk ke suatu tempat, Romeo mendahului melangkah ke arah pintu samping ruang keluarganya yang berisik, menuju paviliun rumah. Kedua ruangan tersebut memang bersebelahan, terhubung sebuah connecting door unik, yang tersamar keberadaannya sebab dicat senada dengan warna tembok serta tak berkusen. Bila dilihat sepintas, tak seorangpun menyangka ada sebuah ruangan di balik pintu tersembunyi itu.
Wajar jika saat ini daun pintu sengaja dibuka. Pasalnya, sebentar lagi ruang keluarga nan luas itu bakal dijadikan sebagai tempat berlangsungnya acara syukuran atas kembalinya Edward Mahendra Laksana, kakak sulung Romeo. Edward belum lama meraih gelar master dari sebuah perguruan tinggi di Tucson, Arizona. Dengan berat hati ia meninggalkan pekerjaan paruh waktunya di kota tersebut. Kepulangan Edward disambut kehangatan keluarga di samping rasa bangga mereka. Dan sebagaimana umumnya putera sulung dari sebuah keluarga berada, Edwardpun segera ditodong untuk menetap di Jakarta.
Arahnya sudah jelas, tentu tidak seberapa lama lagi, Edward bakal dipersiapkan menerima tongkat estafet kepemimpinan perusahaan keluarga yang kini tengah dipegang oleh papanya. Romeo sudah mencium gelagat ini. Maka, jauh hari sebelum kepulangan abangnya, sengaja dikirimnya offline message singkat via skype, untuk menggoda Edward. Usai mengirim pesan, sengaja dia tidak online berhari-hari.
"Escape from bad reaction,," kata Romeo geli, kala itu.
From : Romi
Bro, udah puas kan, main-mainnya? Pasti deh, sebentar lagi dikaderisasi sebagai penggantinya papa. Wellcome to Jakarta, My Bro! Selamat jadi anak manis! Nggak usah deh berusaha extend terus. Sudah lulus kuliah dari kapan tahu, juga! Ha ha ha…siap-siap ya, menyambut bujukan Mama yang notabene penyambung lidah papa : Edo sayang… kapan kamu mulai ngantor di tempat Papa? Kapan saja kamu siap Sayang, Papamu sudah mempersiapkan ruangan kerja yang bakal bikin kamu betah, kok.
He he he… I miss you Bro, cepetan pulang ya, party hebohnya sudah gue siapkan. Tenang, party-nya santai, nggak ada formal-formalan. You tinggal undang teman-teman you. Dress code nya juga kasual, ya. Selebihnya, percaya dong, sama Adikmu yang paling cermat sedunia ini? Ada temen event organizer yang oke. Sudah lulus dua tahun lalu dia. Beda fakultas, tapi namanya lumayan populer di kampus karena sering dikasih job untuk menangani acara teman-teman dulunya, juga event kampus. Dan meskipun awalnya berduaan sepupunya doang dalam menangani event-nya, hasil kerjanya super mantul. By the way, sepupunya ternyata adik kelas gue, sewaktu SMU dulu. Lucu kan? Soalnya sewaktu gue sudah kuliah dan dia naik kelas tiga, baru tahu satu sama lain, pas kebetulan aku ke SMU buat mengurus sesuatu. Nanti dikenalin deh, orangnya asyik, kok. See you soon.
Romeo cengar-cengir sendiri, mengingat pesan yang dikirimnya sebelum kepulangan sang Abang.
“Nggak salah nih, main giring gue sama Ferlita ke sini? Maksudnya, mau mengisolir atau apa ini?” lirih suara Daniel di telinga Romeo. Berlagak kurang suka, padahal hatinya justru bersorak gembira. Malah maunya sih, menari bak Sinchan, tontonan di masa kecilnya, begitu menyadari hanya terdapat sedikit orang yang ada di paviliun. Daniel menengarai, kemungkinan besar mereka adalah kerabat dekat keluarga Romeo.
Karenanya, Daniel yakin, bakalan lebih enak mengobrol dengan Ferlita sekaligus melakukan tindak nyata ‘pedekate’ pada cewek tersebut. Dalam setiap ayunan langkahnya dari ruang keluarga barusan, tak sedetikpun dibuangnya percuma, demi mengorek sebanyak mungkin informasi menyangkut diri Ferlita.
“Ups, sorry,” sebuah suara hasky terdengar di telinga Ferlita, bersamaan tersenggolnya lengan Ferlita oleh seseorang yang turun dari tangga.
Ferlita menengadahkan wajahnya. Seorang cowok bertubuh atletis, mengenakan kemeja santai lengan pendek berwarna biru muda dipadu celana kain warna gelap, tahu-tahu telah ada di sisinya. Cukup tinggi buat ukuran orang Indonesia. Ferlita yang tergolong tinggi dan sengaja memakai wedges untuk perayaan malam ini saja, ternyata cuma sedagu cowok itu.
Ferlita melirik warna kulit Cowok itu. Terlihat jauh lebih gelap dibandingkan Romeo dan Daniel, seakan merupakan efek telah berada di daerah dengan siraman sinar matahari yang diobral. Namun hati kecil Ferlita tak hendak menyangkal, warna gelap itu malahan menambah kesan macho di diri sang Cowok. Apalagi suara hasky-nya barusan.
Walau hanya memiliki sedikit waktu untuk mencuri-curi menatap pada Cowok itu, Ferlita melakukannya juga. Spontan Ferlita menengarai, Cowok yang tak sengaja bersenggolan dengannya itu tentu seorang deep thinker.
Di luar perkiraan Ferlita, seulas senyum simpatik dari wajah yang terkesan cool itu menebarkan sebuah perasaan yang sulit diterjemahkan olehnya. Untung saja dirinya tidak gugup. Ferlita segera mengangguk santun, membalas senyum si Cowok.
Dia terlambat memergoki, sang Cowok terpukau menatapnya. Menelusuri wajah cute-nya. Meresapi dalam-dalam sensasi indah dari sentuhan kulit lembut Ferlita barusan. Meski sekejap dan tanpa sengaja, rasanya belum kunjung memudar. Kalau yang barusan adalah scene film, dia berharap sang sutradara tidak puas dengan hasilnya dan menyuruhnya retake berulang kali.
‘Oh, I don’t mind to be the willing victim. I will do it with all my heart! Again and again. Kalau perlu sengaja sok canggung, biar hasilnya jelek,’ pikir Cowok itu.
“Lho, Bro, kok lewat sini sih? Tamunya sudah pada datang dari tadi. Tapi kebetulan banget, ayo gue kenalin sekalian sama teman gue,” suara Romeo terdengar.
“Oh, iya,” sahut Edward pendek. Entah mengapa, Ferlita merasakan suara Edward menenangkannya. Mengingatkannya pada satu sosok, yang telah direnggut darinya. Ferlita buru-buru mengenyahkan kenangan buruk yang melintas. Nggak, itu nggak sopan! Dia sadar benar akan hal itu. Mana boleh dia menampilkan kesedihan yang dipendamnya? Di depannya ini pasti saudaranya Romeo, yang memercayakan acara ini pada Ray. Sedangkan dia, datang kemari mendampingi Ray, sang penyelenggara. Memang sih, cuma mendampingi, sebab Ray membawa timnya.
“Masih ingat tampang pemberontak ini kan, Bro? Ini Daniel, tetangga kita, si tukang ngabur, penderita penyakit aneh dan langka yang belum ditemukan obatnya, alergi akut, kalau dekat-dekat papanya. That’s why, suka banget sekolah jauh-jauh. Kabar paling gres yang gue dengar, dia menolak kelulusannya dipestain sama Papanya. Padahal mah, dia kesayangan Mr. Sanjaya sekaligus anak mami tulen,” ucap Romeo tanpa tedeng aling-aling sembari menunjuk pada hidung Daniel.
“Ups, sorry to remind you about your late Mom. Beneran nggak ada maksud untuk itu," sesal Romeo cepat, menyadari dia kelepasan bicara, pakai menyebut-nyebut tentang Mama Daniel.
Daniel tersenyum samar. Selintas gurat kesedihan yang sempat muncul, terusir sempurna. Tetapi tak sesederhana itu di mata Ferlita yang mengamatinya. Tanpa dikehendakinya, mencuatlah pikiran liar dari kepalanya. Merasa terkoneksi oleh sebuah jembatan rapuh bernama kehilangan.
‘Mungkin dia cuma sekali mengalami, beda denganku yang berkali-kali sampai merasa sudah khatam beberapa siklus serupa. Tapi setidaknya dia pernah, kan? Pasti tahu rasanya juga, dong?’ batin Ferlita yang mendadak merasa berada di satu frekuensi dengan Daniel.
Tangan Daniel terulur.
“Hai, Bang Edo, apa kabar?” sapa Daniel usai menyempatkan mendelik penuh protes atas komentar Romeo sebelumnya, meski hati kecilnya mengakui, tiada sesuatu pun yang keliru dari komentar Romeo atas dirinya.
Suatu gambaran yang jauh lebih halus dibandingkan realitanya. Faktanya, bukan sekali dua kali dia menyusahkan hati papanya. Daniel sering bikin onar saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, selalu berusaha agar berseberangan sikap dengan papanya, baik secara terbuka ataupun diam-diam. Salah satunya, seakan sengaja hendak menampar wajah sang Papa dengan berjuang mendapatkan beasiswa untuk program sarjananya yang baru usai. Seolah dengan begitu, dia dapat mengurangi keterlibatan Papanya untuk mengatur-atur hidupnya.
Mata Daniel mengerling pada Ferlita, mencari tahu adakah yang berubah pada air muka gadis itu atas cap miring tentang dirinya tadi. Namun, bak permukaan air di danau nan luas, wajah Ferlita tetap saja setenang sebelumnya. Tiada setitikpun riak yang terbaca di sana. Teduh, namun menyimpan misteri yang tak terukur kedalamannya. Dalam diam, Daniel mensyukurinya.
Daniel tidak tahu saja, sejatinya, nama Sanjaya yang menyapa indra pendengaran Ferlita barusan, sukses menggetarkan hati gadis itu sekian detik lamanya. Memangnya ada berapa fam Sanjaya, yang mungkin pernah bertetangga dengan keluarga Laksana? Ferlita tidak mungkin tidak tahu. * * LL * *