Mendadak Ferlita merinding, mengetahui bahwa Daniel merupakan sang Putera Mahkota dari Bapak Agustin Reynand Sanjaya, tokoh berkharisma namun dikenal membumi itu. Ya, menatap wajahnya di media cetak saja, orang langsung dapat merasakan keteduhan hatinya. Selaksa kebaikan yang ada dalam figurnya seolah terbaca di sana, tanpa harus susah-susah menghiraukan narasi yang menyertainya.
Meresapi perkataan Romeo tentang Daniel barusan, Ferlita tersapa perasaan asing. Selintas gentar yang sulit dimengerti, peringatan keras, seperti tali kuat yang mengikat tangan dan kakinya, demi memastikan supaya dia tidak melangkah barang satu tapakpun. Ingin Ferlita melontarkan protes,” “Ah, apa-apaan ini!” tetapi tak tahu harus protes kepada siapa. Maka Ferlita menggeleng dengan gerakan super minim, berusaha menghalau pemikirannya yang dinilai terlampau jauh. Tetapi dia tak dapat menghindari sejumlah tanya yang memenuhi benaknya.
'Kok, kelihatannya, Daniel kurang cocok sama papanya? Sosok yang amat sangat dipuja khalayak ramai sebab merasa tertolong berkat kebaikannya? Kenapa pula Daniel jarang diekspos? Biasanya keluarga pengusaha sudah seperti selebriti saja, kan? Apa betul disebabkan dia nggak bersekolah di Jakarta seperti diungkapkan Romi? Tapi toh, sekarang sudah jaman digital, berita apapun dari mancanegara amat mudah diakses! Masakan tak seorangpun paparazi tak berhasil meng-candid fotonya? Atau jangan-jangan, aku yang ketinggalan berita?’
Ferlita mati-matian berusaha mengesankan dirinya tidak sedang memikirkan orang yang baru hitungan menit diperkenalkan kepadanya.
“Baik, Dan. Kamu juga, kan? Lagi liburan atau...?” Edward balik bertanya. Sebentar saja memerhatikan penampilan pemuda di hadapannya, memory-nya tentang Daniel terkumpul, persis yang diungkapkan Romeo. Daniel, si anak tengah yang diapit oleh kakak dan adik yang keduanya perempuan. Keadaan yang membuatnya tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang selalu ingin membuktikan eksistensi diri kepada orangtuanya, walau seringkali dengan jalan keliru.
“Iya, escape sebentar, bosan sehari-hari di Singapura. Tinggal wisuda dan nunggu kepastian beasiswa S2,” sahut Daniel.
“Kalau nggak kepaksa karena ada sesuatu yang mau diurus di Jakarta, pastinya dia langsung leha-leha di pulau Moyo dan lanjut ke Labuan Bajo! Terus pulangnya juga belum tentu mampir ke Jakarta. Bablas,” gumam Romeo.
Daniel hanya cengengesan dengan tatapan ‘ah elo tahu aja’. Ya apalagi sekarang, kan? Ada ‘proyek’ super penting yang pakai inisial F!
“Apa kabarnya Brenda? Kapan S2 nya kelar?” sulit dihindari pertanyaan Edward yang satu ini. Brenda, kakak sulung Daniel, pernah menjadi adik kelasnya saat di SMU Internasional dulu. Terpaut dua tahun di bawahnya, tak menghalangi Edward untuk mengenal Brenda sebagai cewek yang terbilang exist di sekolah. Cerdas, aktif dan energik. Prestasi akademik dan non akademiknya sanggup membuat para kakak kelas menoleh padanya.
Mendengar pertanyaan yang tak diharapnya, mau tak mau Daniel terbungkam. Bagusnya, Edward menyadari perubahan air muka Daniel. Dia mahfum, pertanyaannya telah mengusik perasaan sahabat kental adiknya ini.
“Kabar Brenda baik, oya, dia titip salam. Congrats katanya. Sebentar lagi kuliahnya Brenda beres. Dia lagi liburan sama teman-temannya. Jadi, belum bisa pulang ke Jakarta buat ngucapin langsung,” jawab Daniel panjang lebar, berharap pembicaraan menyangkut Brenda selesai sampai di sini. Tersirat keengganan menjadikan pertemuan ini sebagai reuni belaka.
Edward tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lirikan mata Romeo sudah melebihi pesan : “Bro, Enough. No more question about Brenda, please! At least for this time!”
“Jadi, mau kuliah di Tucson Dan? Yakin mau stay di tempat yang dry buat waktu sekitar dua tahun? Warmer places compare to other region in United Stated?” akhirnya Edward menemukan pertanyaan yang tepat demi mencairkan kembali suasana yang terasa tak enak, barusan. Ya, lebih dari dua kali Romeo menyampaikan ini padanya, tanpa menyebut alasannya.
Edward hanya ingat ucapan ringan Romeo, “Kemungkinan paling masuk akal nih, itu College di luar daftar yang disodorin sama Papanya. Sepupu Daniel kan, ada yang kuliah di Boston. Tebakan gue sih, Daniel sudah memprediksi, papanya bakalan lebih setuju dia kuliah di Boston juga. Biar lebih gampang monitoring si Bengal, lewat sepupunya. Makanya, tuh anak sengaja deh, pilih jauh-jauhan sama Sepupunya. Model Daniel, gitu loh! Bahkan kalau ada universitas di kutub selatan yang memungkinkan dia mendaftar, rasanya tujuan dia bakalan kesana deh. Ha ha ha. Bukan sekadar ngeyel ngejar bea siswa lagi, demi bikin papanya speechless.”
Mengenangnya, Edward tersenyum kecil. Ditatapnya wajah Daniel dan Romeo bergantian. Di mata Edward, Daniel dan Romeo itu sudah bagaikan saudara kandung saja. Saling memahami satu sama lain.
“Ditanyain tuh, Bro, beneran yakin sama pilihan elo?” usik Romeo bersamaan sikutan lengannya. Rupanya, dia memang hobby menyikut Daniel.
Daniel memalingkan wajah ke arah Edward.
“Waktu chat sama representatif-nya, dia juga rada kaget sih. Katanya, kok yang ditanya justru kampus di Tucson, bukan di region lain. Wah, malah makin penasaran, deh. Kalau suatu saat perlu informasi soal Tucson boleh tanya dong, Bang? Kan letaknya enggak jauh dari kampus Bang Edo?” tanya Daniel, seolah antusias berat. Padahal, dia rada basa-basi, pasalnya segala info yang diperlukannya sudah lebih dari memadai. Malahan, dia telah mengincar apartemen yang bakal dijadikan tempat huniannya selama di sana.
“Tentu saja. Cuma belasan menit driving,” sambut Edward. Betul, kampusnya di Universitas tertua di Arizona, almamaternya, dengan kampus dari College incaran Daniel sama-sama terletak di kota terbesar dari district tersebut.
Edward mengangguk-angguk lalu mendaratkan tatapannya ke wajah Ferlita. Menikmati diam-diam wajah bening itu melalui kedua bola matanya. Tentunya, hal ini tak sedikitpun luput dari pengamatan Romeo.
“Naaah, bidadari yang satu ini, Ferlita, yang gue sebut di skype tempo hari. Sepupunya Ray, yang organized party ini. Gue makin kenal dia juga karena Ray sering ngajak dia kalau ada event. Sama Ray sudah ketemu kan, tadi? Fer, ini nih, Abangku yang dipestain malam ini,” urai Romeo. Tersirat bangga sekaligus semacam perasaan lega saat mengucapkannya. Daniel menangkap dengan jelas, seiring terbitnya perasaan iri atas keberuntungan Romeo. Membuatnya berandai-andai.
Sendainya dia bebas memilih dan menentukan mau ngapain dan jadi apa, andai ada saudara lelaki yang dimilikinya. Kalau saja aksi Brenda yang selalu total, malahan kadang cenderungrada norak dalam melakukan apapun itu sanggup mengalihkan perhatian yang terhormat Bapak Agustin Reynand Sanjaya padanya, sehingga yang bersangkutan memperhitungkannya secara serius, serta andai-andai lainnya lagi.
Daniel menepis perasaan sentimental yang numpang lewat. Pantang membiarkan rasa nelangsa yang mendesak mengganggunya. Setidaknya untuk detik ini. Tidak! Target utama dari proyek F di depan matanya!
Memerhatikan Ferlita mengulurkan tangannya, Daniel tak dapat membantah kecemasan yang menghinggapinya. Ingat kata Romeo tadi, kan? Ferlita paling diincar sama para kakak kelas? Gimana coba, kalau Edward yang dikenalnya sambil lalu ini, turut berminat pada Ferlita? Kan memang ada sebagian Cewek yang cenderung terkoneksi serta memilih Cowok yang usianya di beberapa tahun atasnya?
Mengamati betapa Ferlita dan Edward saling menatap dan beradu senyum, hati Daniel kontan kebat-kebit. Seperti mendengar alarm kebakaran berbunyi nyaring dan panjang, di telinganya.
“Edward,” ucap Edward menyambut uluran tangan Ferlita. Kesan berwibawa terbias lewat suaranya yang dalam serta sikap tubuhnya.
Kurang ajiaaar!’ maki Daniel dalam hati. Seketika Daniel merasa terpinggirkan! Macam kontestan ajang pencarian bakat yang telah unjuk kebisaan yang berada di momen judging dan diberi tahu oleh sang emsi : posisi kamu tidak aman!
* * LL * *